Hidup kita sebenarnya sebuah kesempatan yang diberikan Sang Pencipta kepada kita semua. Kesempatan ini telah ditentukan sejak kita masih dalam kandungan. Sayangnya, kita tidak pernah tahu berapa lama waktu yang disiapkan untuk kita. Pemain sepak bola, bisa tampil ideal dengan penuh kekompakan sejak wasit meniupkan pluit tanda dimulainya permainan. Team-team sepak bola, bisa langgung menggebrak dari menit pertama. Akan tetapi juga bisa mengatur ritme permainan dari menit kemenit atau dengan pola bertahan pada 15 menit pertama, kemudian berputar pada 15 menit kedua dan menyerang pada 15 menit terahir atau pola yang lain karena waktu permainan sudah jelas, yaitu 2X45 menit.
Namun, tidak demikian dengan hidup kita. Kita inginnya hidup masih seribu tahun lagi. Tapi apa mungkin. Kita terkadang berandai-andai bahwa berbuat baiknya besok kalau sudah tua saja. Apa pasti kita sampai tua?. Mungkin hampir semua orang berdoa panjang umur. Setiap hari kita minta kelancaran rizqi: yang berlimpah ruah, halal dan barokah. Yang senang jabatan, juga tiada hari tanpa mencari jabatan sekaligus doanya karena jabatan dianggap sebagai pintu untuk mendapatkan uang. Yang sedang menuntut ilmu, belajar tanpa mengenal lelah karena dengan ilmu yang tinggi bisa mudah mencari pekerjaan, juga uang melimpah. Begitu seterusnya. Hidup sudah terpola untuk mengarah kepada suatu tujuan, yang sebenarnya bukan tujuan.
Bukan bermaksud untuk anti dunia, uang, jabatan atau kemewan dunia yang lain. Hanya perlu kita sadari, semua itu bukan tujuan. Maka yang mesti kita kejar dengan kekuatan penuh adalah makna dari keberadaan kita di dunia. Apa dampak baik terhadap sesama dari keberadaan kita. Harta, jabatan, bahkan ilmu sekalipun sebenarnya sesuatu yang bersifat “baru datang” kepada diri kita.Kita mesti memiliki “komitmen makna”, sehingga semuanya itu bisa bermakna bagi manusia dan kemanusian bahkan terhadap seluruh isi alam. Nabi Muhammad SAW diutus untuk menjadi rahmat bagi seluruh isi alam[1]. Pengikutnya tidak boleh jauh dari komitmen tersebut.
Harta yang datang kepada orang yang tidak memliki “komitmen makna” bisa menjadi petaka bagi dirinya dan lingkungan sekitarnya. Kejahatan yang dilakukan oleh orang berduit bisa berdampak lebih besar daripada yang dilakukan oleh orang miskin. Maka, jangan sekali-kali menjadikan kaya sebagai tujuan. Bahaya sekali. Jabatan yang diberikan kepada orang yang sama, akan merugikan orang lain bahkan menyengsarakan rakyat banyak, merusak negara,menghancurkan hukum, politik, ekonomi karena dibelokkan kepada tujuan yang berlawanan dengan tujuan hakikinya, yaitu kemaslahatn semesta. Ilmu yang dimiliki oleh orang yang tidak ber”komitmen makna”, akan mendorongnya seangkuh iblis, sikap arogan, menang sendiri dan merasa pinter sendiri. Kecerdasannya tidak bermanfaat kepada masyarakat banyak, justru bisa sebaliknya , sebagai alat mengelabui, memanipulasi, dan membodohi lingkungannya.
Materi dan makna sama-sama penting, akan tetapi makna lebih penting. Anda boleh berusaha keras untuk menjadi kaya,asalkan kontribusi anda kepada sesama sepadan dengan harta yang anda miliki. Kita tidak dilarang mengejar jabatan yang setinggi-tingginya, asalakan jabatan tersebut menjadi jalan anda untuk bermanfaat kepada sesama secara maksimal. Anda boleh mengejar ilmu,bahkan sampai kenegeri Cina[2], asalkan dengan ilmu itu anda semakin besar kontribusinya kepada kehidupan ummat manusia.
Begitu juga dengan umur, usia yang panjang bisa lebih baik jika dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan manusia, kemanusiaan dan kehidupan alam semesta. Akan tetapi, jika sebaliknya , jangan, jangan,jangan. Janganlah anda memburu harta, jika kelak akan memaksimalkan efek keburukan anda kepada lingkungan. Janganlah mengejar jabatan, jika jabtan itu menjadi alat anda untuk berbuat dhalim kepada sesama. Janganlah menuntut ilmu yang banyak-banyak, jika ilmu itu anda gunakan untuk merusak kehidupan.Sekali lagi jangan, anda akan dimaki semua manusia dan kelak dikubur jadi santapan ular dan kala jengking, selanjutnya akan kekal didalam neraka. Na’udzu billah.
Menurut Abi Bakrah, suatu ketika pernah ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah SAW,” siapakah orang yang terbaik, wahai Utusan Allah?”, maka beliau menjawab, “ sebaik-baik manusia adalah orang yang panjang usianya dan bagus tindak tanduknya. Sedangkan orang yang terburuk adalah orang yang panjang usianya dan buruk perilakunya”[3]
Usia yang sebentar dengan banyak manfaat, lebih baik daripada usia yang panjang dengan banyak membawa madlarat kepada orang lain. Harta yang pas-pasan dengan tetap melakukan kebaikan kepada sesama, lebih baik daripada harta berlimpah yang diikuti dengan keburukan yang berlimpah juga.Tidak memiliki jabatan lebih afdlal daripada pejabat yang korup dan mendhalimi rakyat. Kerendahan ilmu anda bisa jadi lebih baik daripada ketinggian ilmu dari para pencetus senjata pembunuh missal dan berbagai teknologi yang merusak alam. Jadi yang terpenting adalah kontribusinya kepada sesama.
Rasulullah SAW bersabda,”sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling besar kontribusi positifnya kepada sesame manusia”[4]. Jika dengan jabatan, kekayaan atau ilmu yang dimiliki, kita bisa berkontribusi positif secara maksimal kepada sesame, maka kejarlah itu semua. Akan tetapi jika dengan semuanya itu, justru kita akan berkontribusi negatif, maka sebaiknya jauhi saja.Mulai sekarang marilah kita melihat segala sesuatu dari segi manfaatnya, bukan materinya. Mungkin itu juga yang dimaksud dengan firman Allah,” semalam (lailatul qadar), lebih baik daripada seribu bulan”. Coba renungkan.
Author: Muzammil, Yogyakarta