Di tengah sakit yang mendera pada 25 Desember 2009, seperti biasanya Gus Dur masih menyempatkan diri menelepon untuk mengucapkan “selamat Natal dan Tahun Baru”, sekaligus menyampaikan salam kepada Romo Kardinal dan teman-teman sejawat lainnya. Demikian tulisan pembuka Romo Antonius Benny Susetyo, Pastor dan Aktivis dalam buku berjudul: Damai Bersama Gus Dur .
“Saya menanyakan kondisi beliau yang oleh beberapa media sudah dikabarkan sakit. Beliau menjawab bahwa dirinya sehat-sehat saja dan saat itu berposisi di kantor PBNU (juga sudah menanyakan sudah makan bubur),” kata Romo Benny yang juga pendiri Setara Institute, itu.
Cerita Romo Benny itu cukup menggambarkan betapa Gus Durmasih teguh memegang prinsip toleransi antar umat beragama di negeri yang majemuk ini. Sikap Gus Dur itu ada baiknya diingat kembali ketika sekarang sedang ribut-ribut komentar ulama di Aceh yang mengharamkan umat Islam mengucapkan selamat Natal dan memperingati Tahun Baru Masehi.
Sebelumnya, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kota Banda Aceh mengharamkan umat Islam di ibu kota Provinsi Aceh merayakan tahun baru masehi. Alasannya, perayaan Tahun Baru Masehi itu bukan aqidah Islam. “Karena itu, kami melarang umat Islam merayakan Tahun Baru masehi,” kata Ketua MPU Banda Aceh Tgk HA Karim Syeikh di Banda Aceh, Jumat (13/12). Demikian dikutip dari antara.
Dalam beberapa artikel, Gus Dur juga mengatakan, menjadi kemerdekaan bagi kaum Muslimin untuk turut menghormati hari kelahiran Nabi Isa, yang sekarang disebut hari Natal (oleh orang Kristen). Mereka bebas merayakannya atau tidak, karena itu sesuatu yang dibolehkan oleh agama.
“Jika penulis ( Gus Dur ) merayakan Natal, itu adalah penghormatan untuk beliau (Isa) dalam pengertian yang penulis yakini, sebagai Nabi Allah SWT. Penulis menghormatinya, kalau perlu dengan turut bersama kaum Kristiani merayakannya bersama-sama,” kata Gus Dur dalam artikel di Suara Pembaruan pada 2003 silam berjudul: Harlah, Natal dan Maulid.
Baca berita sebelumnya: Ini pendapat Gus Dur soal perayaan Natal
Sampai kini perayaan Tahun Baru Masehi memang masih menuai pro dan kontra di kalangan ulama Islam. Ada yang berkukuh melarang, ada pula yang membolehkan. Bagi sebagian ulama yang membolehkan bisa dilihat dari berbagai kegiatan malam Tahun Baru Masehi yang digelar di Indonesia, misalnya kegiatan zikir nasional.
Contohnya zikir nasional untuk menyambut Tahun Baru Masehi yang diadakan pada malam hari setelah salat Isya. Acara itu dipandu oleh Ustaz Muhammad Arifin Ilham bertempat di Masjid At-Tin Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Acara zikir berjamaah itu menjadi salah satu warna tersendiri dalam menggambarkan kiprah kaum Muslim di Indonesia dari masa ke masa.
Jadi, apakah anda sepakat dengan sebagian ulama yang mengharamkan perayaan Tahun Baru atau justru sepakat dengan yang membolehkan? Hal itu merupakan kemerdekaan anda sebagai muslim dalam memilih sikap. “Gitu aja kok repot..!!!” (merdeka)