Diantara kesalahan yang sering kita lakukan, tidak bisa menghadapi manusia secara utuh sebagai manusia. Kita ambil sepotong – potong sesuai kebutuhan dan kepentingan sesaat saja. Ketika kita melakukan transaksi ekonomi misalnya, yang ada dalam benak kita hanyalah kepentingan dan target ekonomis. Yang sedang berhadapan hanyalah dua orang pelaku ekonomi, mono dimensi dan membuang semua dimensi manusia yang lainnya. Akhirnya perekonomian nihil dari nilai – nilai kemanusiaan, religiusitas dan budaya. Kalaupun nilai – nilai tersebut disentuh, bukan sebagai basis, tetapi sebagai alat atau instrumen guna mempermulus tujuan utamanya. Slogannya, yang penting untung, wis. Kejujuran, kesantunan, kelembutan, kemanusiaan bahkan agama bisa diabaikan dan dikalahkan oleh ambisi ekonomis.
Alangkah indahnya jika pada saat melakukan transaksi itu, kita tetap memperlakukan mitra kita secara utuh sebagai manusia yang butuh dimanusiakan. Alangkah anggunnya, jika kebiasan menanam dan menaruh bunga – bungaan didepan toko, dimeja kasir dan ruang tamu, diikuti dengan pemaknaan “ bunga “ dalam perilkau ekonomi dan transaksinya. Coba lihat bagaimana para kondektur atau makelar bis menarik – narik pakaian calon penumpang di terminal – terminal, ditempat – tempat pemberhentian kendaraan umum, bagaimana pengusaha – pengusaha besar mengekploitasi alam dan tenaga kerja, produsen periklanan yang menebarkan manipulasi dan mengekploitasi fisik wanita, bagaimana pula para calo TKI dan TKWI memper” jual – beli “kan anak bangsa demi segepok dolar dan real, yang masih aktual, bagaimana persoalan kemanusiaan korban lumpur LAPINDO BERANTAS yang menjadi komoditas politik belaka tanpa menghiraukan penderitaan para korbannya dan lain sebagainya….! Jika bunga ada di depan toko, dimeja direktur, diatas laci kasir didepan sopir dan didepan kantor LAPINDO BERANTAS, kenapa tidak ada didalam hati ?
Rasulullah SAW bersabda,” Allah merahmati seseorang yang ramah dan pemurah disaat menjual, membeli dan menagih haknya atau mengembalikan haknya kepada orang lain “[1]. Ramah ketika menjual berarti tidak pelit, tidak manipulatif dan tidak menaikkan harga diatas batas yang wajar atau bersikap kasar kepada pembeli. Ramah disaat membeli, berarti menunjukkan kehangatan , tidak banyak menawar, berjiwa pemurah, lebih – lebih apabila sipembeli lebi have dibandingkan si penjual. Sedangkan ramah dalam menagih hak, adalah menagih dengan lemah lembut dan jika orang yang ditagih sedang dalam kesulitan, tangguhkan dulu sampai dia mampu. Rasulullah menceritakan bahwa,” ada seseorang yang banyak menghutangi orang lain, Lalu dia berkata kepada anaknya, “jika menemukan orang yang dalam kesulitan, lewati saja ( maafkan ) orang tersebut, semoga Allah juga memaafkan kita”. Maka setelah berpulang kehadlirat Allah , Allahpun memaafkan dosa – dosa orang tersebut “.[2].
Ramah dalam membayar, adalah mengembalikan atau membayar tanggungannya kepada orang lain dengan sebaik – baik cara pada waktu yang telah disepakati. Imam Bukhari meriwayatkan sebuah kisah dari Abu Hurairah,” bahwa ada seorang laki – laki datang kepada Nabi untuk meminta keputusan hukum mengenai hutangnya kepada orang lain.Terjadilah perdebatan panas antara beliau dengan orang tersebut, sampai ada sahabat yang gemes dengan perilaku orang tersebut. Maka Nabi SAW berkata,” biarkan orang ini, sesungguhnya setiap orang yang punya hak, berhak untuk berbicara”. Kemudian Rasulullah berkata,” berikan kepada orang ini unta yang sama umurnya “.Para sahabat menjawab,” kami tidak menjumpai kecuali yang lebih bagus usianya wahai Rasulullah “. Maka Rasulullah SAW berkata,” berikan kepadanya, sesungguhnya sebaik – baik kamu adalah yang terbaik pembayarannya “. Laki – laki itu lalu berkata, ” Engkau telah membayarkan hutangku, semoga Allah membayarmu “[3].
Author: Muzammil, Yogyakarta