Pendidikan menduduki posisi penting dalam kehidupan manusia. Karena kemajuan suatu bangsa dan negara sangat bergantung terhadap sejauh mana tingkat pendidikan yang dikembangkan dalam negara tersebut.
Salah seorang pembicara, K.H. Dudi Muttaqien mengatakan, tulisan sebenarnya memiliki kekuatan untuk menggiring sebuah bangsa atau generasi menuju kemajuan, selama dibuat bertanggung jawab dan tanpa motif pribadi. Dudi mengatakan, masa kejayaan Islam di waktu lampau bisa diraih dengan semangat menulis dan membaca, karena saat itu umat Muslim menghayati perintah Allah di dalam Al-Qur’an.
Setiap orang muslim wajib mencari ilmu. “Tulisan dapat menguatkan mental dan moral suatu bangsa. Di dalam Alquran sendiri tersirat suatu makna, orang-orang yang angkuh mereka yang tidak mau membaca. Sejarah membuktikan, setelah turunnya surat Al-Alaq, barulah di dunia ini ada tradisi menulis secara konstruktif, suatu pola yang dikembangkan oleh umat islam. tegas Dudi. Ia mengatakan, kemunduran peradaban Islam juga diakibatkan makin ditinggalkannya budaya mencari ilmu oleh umat Islam sendiri.
Sementara ilmu yang dikembangkan oleh cendekiawan Islam terdahulu, justru dimanfatkan oleh umat nonmuslim dari peradaban barat. Sehingga mereka bisa mengklaim sebagai peradaban dunia. “Sayang semangat menulis dan membaca kita sangat rendah. Masyarakat kita andai pun menulis lebih suka membawa tulisannya ke arah yang tidak bertanggung jawab, seperti menulis cerita horor, perbintangan dan lain-lain. Menulis seharusnya dilakukan dengan ikhlas tanpa motif pribadi, kecuali untuk tujuan membangun masyarakat ke arah yang lebih maju. Ujarnya. Pembicara lain, Ikhwan Fawzi (mantan redaktur majalah Islam, Sabili) mengatakan, umat Islam jangan segan untuk meyakini kebenaran sejarah yang diungkapkan di dalam Alquran dan hadis. Dalam kaitan dengan budaya menulis dan membaca, dunia sejarah konvensional meyakini, budaya menulis pertama kali ada pada zaman bangsa Sumeria dan Babylonia, yang diikuti bangsa Mesir kuno, india, dan cina. Tapi di dalam keyakinan Islam, budaya menulis itu sebenarnya dimulai zaman Nabi Idris AS, di masa awal turunnya manusia di bumi. Karena makna nama Idris itu sendiri berarti orang yang memberi pelajaran. “Jika ditarik lebih jauh, kemampuan manusia untuk belajar dan mencari ilmu sudah dimulai sejak pertama kali Nabi Adam AS diciptakan, ketika ia diajarkan oleh Allah tentang nama-nama benda yang ada di alam semesta. Seperti juga Dudi Muttaqien, Ikhwan Fauzi menekankan, budaya tulis menulis sangat dianjurkan di dalam ajaran Islam.
Ikhwan mengutip pendapat Prof. Dr. Quraish Shihab tentang makna kata iqra. Kata itu tidak hanya berarti membaca secara tekstual, tapi juga berarti menghimpun. Sehingga dari ”menghimpun” itu lahir aneka ragam makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu dan membaca, baik teks tertulis maupun tidak tertulis. Ikhwan melanjutkan, jika umat Islam ingin kembali berjaya, mereka harus kembali menghayati surat Al-Alaq itu. “Kelemahan kita kebodohan dan kemalasan, mental kita telalu lemah, selain adanya faktor penghambat dari luar seperti diterapkannya budaya barat, yang tidak sesuai dengan keislaman kita.
Orang yang membaca adalah orang yang terbuka pada informasi, dan siapa yang menguasai informasi akan dimudahkan kehidupannya. Itulah dalil abad informasi ini yang mau tidak mau harus dipahami setiap orang untuk bisa survive meraih kemajuan dan kesejahteraan hidup.
Author: Farasy
Membaca, menulis, dan belajar
adalah kebutuhan primer bagi umat
yang ingin bangkit, maju dan meningkat.