……. وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ } [آل عمران: 134]
“……. dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”.
Berangkat dari pemahaman ayat di atas, dijelaskan bagaimana seorang muslim yang baik, seorang muslim yang berpegang teguh pada prinsip Islam. Mereka adalah orang-orang yang berkriteria mampu menahan amarahnya dan mudah memaafkan. Pemahaman Sayyid Alawi bin Sayyid Abbas al-Maliki al-Hasani tentang orang yang menahan amarahnya dan memaafkan –berdasarkan ayat di atas-, orang yang menahan amarahnya adalah orang yang menahan diri untuk tidak menunjukkan amarahnya padahal dia mampu untuk melakukan itu (ma’a al-qudrati ‘ala dzalika). Sementara orang yang memaafkan adalah orang yang meninggalkan pembalasan kepada orang yang menzhalimi dirinya (at-tarikina ‘uqubah).
Menggarisbawahi pemahaman Sayyid Alawi
[Tentang ungkapan “padahal dia mampu melakukan itu”]
Pemahaman Sayyid Alawi tersebut, ada yang perlu dan penting digarisbawahi, yaitu tentang “padahal dia mampu melakukan itu” dan “meninggalkan pembalasan”. Ungkapan “padahal dia mampu melakukan itu” merupakan titik tekan untuk seseorang yang benar-benar mampu menahan amarahnya atau emosinya. Karena ada orang yang seolah mampu menahan amarahnya atau emosinya, padahal karena dia tidak mampu untuk menunjukkan itu. Ketidakmampuannya mungkin karena posisi atau kapasitas dirinya ataupun kondisi sekitar. Semisal karena dia sebagai bawahan, sehingga untuk menunjukkan emosinya dia masih berpikir dua kali. Andai saja dia seorang atasan atau orang yang memiliki posisi yang tinggi, dia pasti akan dengan gampang menunjukkan amarah atau emosinya, kemudian disusul dengan tindakan yang sesuai dengan emosi dan amarahnya.
Atau, mungkin karena kondisi sekitar. Semisal karena tempatnya bukan wilayahnya sendiri atau karena ada orang yang membuat dirinya tidak nyaman untuk menunjukkan amarah atau emosinya. Sehingga, ketika amarah atau emosinya memuncak, dia tahan karena mempertimbangkan kondisi sekitar. Andai saja kondisinya memungkinkan dirinya gampang menunjukkan amarah atau emosinya, dia pasti langsung menunjukkannya dengan seenaknya saja, sesuai tingginya amarah dan emosinya.
Padahal yang dimaksud orang yang benar-benar mampu menahan amarah atau emosi adalah orang yang mampu mengontrol atau mengendalikannya, meski dalam kapasitas atau posisi apapun dirinya atau kondisi sekitar. Dia mampu menahan amarah atau emosinya bukan karena faktor X, melainkan karena memang dari diri sendiri (faktor in). Sesuatu yang kuat dari dalam akan tetap kokoh ketika diterjang oleh sesuatu yang datang dari luar (faktor X).
Cirri-ciri orang yang tak mampu menahan amarah atau emosinya, selain gampang menunjukkan kemarahannya, juga mudah cepat-cepat melakukan tindakan, tanpa memikirkan atau mempertimbangkan resiko, akibat, atau konsekwensinya. Dengan kata lain, gegabah. Orang yang gegabah melakukan sesuatu sesuai amarah atau emosinya, tidak berhati-hati, seenaknya sendiri.
Suatu usaha, upaya, atau aktifitas yang didorong oleh perasaan gegabah, akibatnya rawan tidak maksimal, tidak baik, bahkan bisa gagal dan hancur dan menjadi malapetakan. Oleh sebab itu, ketika usaha, uapaya, atau aktifitas gagal atau hancur, jangan sampai menyalahkan orang lain, salahkan diri sendiri yang tidak mau berpikir dua kali dalam melakukan sesuatu. Tapi, terkadang orang yang berkarakter tidak bisa menahan amarah atau emosi, lebih sering menyalahkan orang lain ketika dia gagal melakukan sesautu.
[Tentang ungkapan “meninggalkan pembalasan”]
Memaafkan merupakan salah satu sifat mulia dalam Islam. Sebagai seorang muslim yang baik tentu harus memiliki sifat pemaaf. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam ayat di atas, bahwa salah satu prinsip Islam gampang memaafkan kesalahan orang lain. Menurut pemahaman Sayyid Alawi, ‘memaafkan’ adalah meninggalkan pembalasan kepada orang yang berbuat zhalim pada diri kita.
Arti meninggalkan pembalasan, seseorang yang memaafkan tidak hanya sekedar kata saja, tetapi juga ada wujud konkrit dari suatu sikap, yaitu tidak membalas dengan tindakan serupa yang telah dilakukan. Memang berat sekali memaafkan kesalahan orang lain, labih-lebih ketika kesalahan orang telah membuat emosi memuncak tinggi. Sehingga, tidak jarang orang begitu saja memaafkan, meski memaafkan dengan ungkapan, masih saja emosi berkorbar. Akibatnya rasa dendam untuk melakukan reaksi tetap membara dan kemudian diwujudkan dengan tindakan yang sama atau bahkan lebih parah.
Dari pemahaman Saayid tersebut, sebenarnya maksud utama dalam memaafkan adalah menghilangkan rasa benci dan melupakan kesalahan orang lain yang telah terjadi. Kebencian yang muncul karena kesalahan orang lain, jangan sampai dipelihara dengan cara mengincar orang tersebut untuk melakukan reaksi. Melupakan kesalahan orang lain merupakan solusi ketika hidup ini terasa tidak nyaman karena kesalahan orang lain. Salah satu sebab kenapa seseorang kadang hidupnya terasa tidak nyaman, selalu saja ada masalah yang muncul, adalah karena sulit memaafkan kesalahan orang lain.
Memaafkan sebenarnya kunci utama untuk menjalani hidup dengan tenang, baik, dan indah. Kenapa hidup ini kadang tak pernah damai, karena kita sendiri tidak mau damai dengan orang lain. Atau lebih tepatnya, karena tidak mau mengajak hati sendiri untuk berdamai. Sehingga, hati yang seharus damai, tapi tidak merasakan itu, karena dalam hati masih ada rasa benci dan dendam pada orang lain. Hati yang damai itu lepas dari rasa benci dan dendam.