Dalam kitab sahihnya, Imam Muslim mengutip hadist berikut ini: Ubay bin Ka’ab melaporkan bahwa ketika Nabi berada dekat lokasi Bani Ghiffar, malaikat Jibril datang dan berkata: “Allah telah menyuruh kamu untuk membaca al-Qur’an kepada kaummu dalam satu dialek“, lalu Nabi bersabda: “Saya mohon ampunan Allah. Kaumku tidak mampu untuk itu“, lalu Jibril datang lagi untuk kedua kalinya dan berkata: “Allah telah menyuruhmu agar membacakan al-Qur’an kepada kaummu dalam dua dialek“, Nabi Muhammad lalu menjawab: “Saya mohon ampunan Allah. Kaumku tidak akan mampu melakukannya“, Jibril datang ketiga kalinya dan berkata: “Allah telah menyuruhmu untuk membacakan al-Qur’an kepada kaummu dalam tiga dialek“, dan lagi-lagi Nabi Muhammad SAW berkata: “Saya mohon ampunan Allah, kaumku tidak akan mampu melakukannya“, lalu Jibril datang kepadanya keempat kalinya dan menyatakan: “Allah telah mengizinkanmu membacakan al-Qur’an kepada kaummu dalam tujuh dialek, dan dalam dialek apa saja mereka gunakan, sah-sah saja“[1].
Ubay bin Ka’ab juga melaporkan, Rasulallah bertemu malaikat Jibril di batu Mira’ (di pinggiran Madinah, dekat Quba) dan berkata kepadanya: “saya telah diutus kepada suatu bangsa buta huruf, diantaranya, orang tua miskin, nenek-nenek, dan juga anak-anak“, Jibril menjawab: “Jadi suruh saja mereka membaca al-Qur’an dalam tujuh dialek (ahruf)”[2].
Lebih dari dua puluh sahabat telah meriwayatkan hadist yang mengukuhkan bahwa al-Qur’an telah diturunkan dalam tujuh dialek. Ada empat puluh pendapat ilmuwan tentang makna ahruf (secara literal: huruf-huruf). Beberapa dari mereka mengartikannya begitu jauh, tetapi kebanyakan sepakat bahwa tujuan utama adalah memberi kemudahan membaca al-Qur’an bagi mereka yang tidak terbiasa dengan dialek orang Quraisy.
Dialek yang berlainan ini telah memicu perselisihan pada dasawarsa selanjutnya, dimana mempercepat langkah Ustman menyiapkan sebuah mushaf dalam dialek orang Quraisy. Akhirnya, seluruh pembaca yang ditugaskan mengajar al-Qur’an wajib mengikuti teks mushaf tersebut dan meneliti sumber otoritas darimana mereka mempelajari bacaan sebelumnya. Zaid bin Tsabit, orang yang begitu penting dalam pengumpulan al-Qur’an, menyatakan bahwa “Seni bacaan (qira’at) al-Qur’an merupakan sunnah yang mesti dipatuhi dengan sungguh-sungguh“.[3]
Sejak zaman sahabat sudah muncul beberapa tokoh dengan predikat tertinggi. Satu pencapaian atas mereka yang tidak mungkin terpenuhi tanpa semangat dan kecintaan mendalam. Semua tokoh tersebut tentu memiliki mahabbah maupun suhbah kepada Nabi di atas segala-galanya. Az-Zarqoni memilih beberapa nama sahabat yang hafal al-Qur’an dan mengajarkan cara membacanya seperti Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas’ud, Abu Darda’, Abu Musa al-Asy’ary sebagai murid Nabi yang berhak duduk di jajaran ini[4].
Semua Sahabat ini di kemudian hari memiliki murid sebagai generasi penerus perjuangan. Mulai dari sini pada dasarnya sudah banyak wajah-wajah baru yang menghiasi belantika akademi al-Qur’an. Seiring berjalannya waktu di tiap-tiap kota terdapat sekolahan baru sebagai regenerasi ajaran Rasul. Said bin Musayyab, Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman bin Yasar, Atho’ bin Yasar, Zaid bin Aslam, Muslim bin Jundub, Ibnu Syihab az-Zuhri, Abdur Rahman bin Hurmuz al-A’raj, Muadz bin al-Harits sebagai jebolan sekolah Madinah. Mekkah sebagai tempat kelahiran Nabi juga melahirkan generasi-generasi baru. Para pemuda di sini pun turut meramaikan kancah belantika disiplin ilmu qira’at. Sebut saja Atho’ bin Abi Rabbah, Ikrimah, Mujahid, Thowus, Ibnu Abi Mulaikah, dan Ubaid bin Umair. Tidak ketinggalan kota Bashrah. Di sini lahir sosok semisal Amir bin Abd al-Qois, Abu al-Aliyah, Abu Raja’, Nashr bin ‘Ashim, Yahya bin Ya’mur, Jabir bin Zaid, al-Hasan, Ibnu Sirin dan Qotadah. Tidak jauh dari Bashrah adalah Kufah. Nama-nama semisal Alqamah, al-Aswad, Masruq, Ubaidah, Rabi’ bin Khaitsam, al-Harist bin Qais, ‘Amr bin Syuhrabil, ‘Amr bin Maimun, Abu Abdur Rahman as-Sulamy, Wazir bin Habisy, Ubaid bin Fadhlilah, Abu Zurah bin Amr, Said bin Jubair, an-Nakhai, asy-Sya’by. Sejak dulu dua kota ini memiliki sejarah kebudayaan maju, bahkan saat Islam masuk di sana meski terkenal dengan ilmu Nahwu namun dua kota tersebut mampu menunjukkan eksistensinya dalam bidang Qira’at. Tempat studi paling jauh di era ini adalah Syam. Salah satu sahabat Nabi yang sempat menjadi imam di sini adalah Abu Darda’. Bersama dengan murid-muridnya yang siap mengangkat panji-panji suci kalam ilahi semisal Mughirah bin Syihab al-Makhzumy yang merupakan santrinya Utsman bin Affan dan Kholifah bin Said yang notabene santri Abu Darda’[5].
Seiring berjalannya waktu, penerus-penerus mulai bermunculan. Hal ini sebagai akibat gairah keilmuan yang tinggi terutama dalam bidang qira’at. Mereka memiliki perhatian yang tinggi tehadap ilmu qira’at terutama yang berkaitan dengan kualitas qira’at (dabth al-qira’at). Sampai pada akhirnya di antara mereka ada yang unggul dan mendapat pengakuan dari masyarakat untuk menjadi imam mereka dalam bidang qira’at serta sebagai tempat rujukan[6].
Beberapa tahun kemudian, sudah tidak terhitung debutan-debutan baru. Debutan tersebut memiliki anak didik yang berkembang pesat. Namun ada juga anak didik yang tidak memiliki kualitas seperti gurunya. Riwayat-riwayat yang tidak kuat sangat mungkin keluar dari mereka. Entah karena kurang kuatnya hafalan atau mugkin karena faktor-faktor lain. Bahkan sangat mungkin sesekali terjadi campur aduk antara sahih dengan dhoif, mutawatir dan ahad, meskipun tidak menafikan kemungkinan yang sama pada dekade sebelumnya.
Tidak salah jika pada masa sesudahnya lahirlah unifikasi qira’at. Terlalu banyaknya pembebasan dalam al-Qur’an serta merebaknya bacaan-bacaan syadz menyulut ruang kontroversi yang sangat tajam bahkan sangat mungkin tidak menafikan adu fisik antara beberapa macam aliran. Upaya meredam pertumbuhan darah harus menjadi solusi atas perpecahan umat Islam. Namun yang terjadi justru adalah pemahaman orang tentang terbatasnya bacaan hanya kepada tujuh Imam. Theodore Noeldeke beransumsi munculnya pembebekan membaca pada masa sekarang dimulai dari saat itu. Uraian analisanya membuahkan dua kesimpulan periodesasi keberlangsungan kajian qira’at.
Pertama, periode taklid. Ibnu Mujahid sebagai tokoh negara serta salah satu pakar agama memiliki pengaruh besar atas berlangsungnya variasi bacaan. Dengan didukung kekuasaan, Ibnu Mujahid mencoba menetapkan standarisasi baku disahkannya sebuah qira’at. Kemudian lahirlah tujuh qira’at yang terbagi menjadi tujuh Imam plus dua rawi di antara satu Imam. Qira’at yang sah adalah Qira’at yang bersumber dari guru dan harus ada persetujuan dari ulama lain serta memiliki kredibilitas (tsiqoh) diakui. Konsep ini pada dasarnya menguatkan tiga syarat utama tentang penerimaan Qira’at, yakni: a) bersumber dari rawi-rawi yang tsiqoh dengan mata rantai sampai kepada Rasulallah SAW; b) berlaku (sesuai) dalam bahasa Arab; c) terdapat kesamaan dengan mushaf Utsmani. Secara otomatis, perundangan Qira’at ini menepikan pemahaman-pemahaman lain seperti yang digaungkan oleh Ibnu Muqsim. Efek aturan ini terbukti pada kisah populer yang terjadi atas diri Ibnu Syanbudzy, salah satu tokoh Qira’at terkemuka. Dengan pengetahuannya yang mumpuni suatu hari Ibnu Syanbudzy sholat dengan menggunakan bacaan selain Qira’at sab’ah. Karena pengetahuan secara umum bahwa ahruf sab’ah terbatas pada Qira’at sab’ah maka tindakan tersebut dianggap syadz hingga pada akhirnya Ibnu Syanbudzy harus menerima hukuman sebagai pelajaran.
Kedua, periode pengukuhan. Sudah menjadi kebisaaan bahwa terbingkainya pola pikir secara umum harus mendapat pembenaran supaya kuat. Upaya membangun sebuah opini agar diterima masyarakat umum perlu mendapat pendapat yang sejalan dari tokoh-tokoh lain. Noeldeke menganggap maraknya taklid dalam mengenal qira’at pada saat itu didukung sebagian cendekiawan seperti Abu Abid dan Abu Hatim al-Sijistani. Meski agak sedikit berbeda dalam penyampaian masyarakat, tapi pendapat tersebut memiliki kesamaan secara umum di mata masyarakat. Sesaat kemudian opini yang terbentuk pada masa mereka berdua mungkin sudah meluas sampai pada masa Ibnu Mujahid. Secara otomatis, deskripsi ahruf sab’ah di mata kaum awam langsung diarahkan ke Qira’at sab’ah.
Ilmu Qira’at adalah ilmu yang lahir pada masa yang sebelumnya tidak pernah disebut-sebut. Orang yang pertama menyusunnya adalah Abi Ubaid al-Qosim Ibnu Sallam, Abu Hatim as-Sijistani, Abi Jafar at-Tabari dan Ismail al-Qodi. Qira’at sab’ah menjadi populer di seluruh negara Islam pada permulaan abad kedua hijriyah. Di Basrah orang membaca menurut Qira’at Abi ‘Amir dan Ya’qub. Di Kufah menurut Qira’at Hamzah dan Ashim, sedangkan di Syam menurut Ibnu Amir, di Mekkah menurut Qira’at Ibnu Katsir, dan di Madinah menurut Qira’at Nafi’. [7]
[1] Muslim, Sahih Muslim, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiah, Indonesia, tt., juz I, hal. 327
[2] Al-Turmudzy, Sunan al-Turmudzy, Maktabah Syamilah, juz 11, hal.159
[3] Di masa Ustman bin Affan ra, pemerintahan Islam telah sampai ke Armenia, dan Azerbaijan di sebelah timur dan Tripoli di sebelah barat. Maka dengan itu, kaum muslimin telah tersebar ke Mesir, Syiria, Irak, Persia, dan Afrika. Kemana mereka pergi dan dimana mereka tinggal, al-Qur’an tetap menjadi imam mereka, dan diantara mereka itu banyak yang hafal al-Qur’an. Dan diantara mereka juga mempunyai naskah-naskah al-Qur’an. Namun naskah-naskah yang mereka punyai itu tidak sama dari segi surahnya.
Disamping itu, diantara mereka itu terdapat perbedaan tentang bacaan (qira’at) al-Qur’an itu. Pada asalnya. Perbedaan bacaan ini ialah karena Rasulallah sendiripun memberi kelonggaran kepada kabilah-kabilah Arab Islam yang berada di masanya untuk membaca dan melafadzkan al-Qur’an menurut lahjah (dialek) mereka masing-masing. Kelonggaran itu diberikan oleh nabi Muhammad supaya mudah bagi mereka untuk menghafal al-Qur’an itu.
Tetapi nampaklah tanda-tanda bahwa bila perbedaan tentang bacaan al-Qur’an ini dibiarkan, akan mendatangkan perselisihan dan perpecahan yang tidak diinginkan dalam kalangan kaum muslimin. Orang yang mula-mula memperhatikan hal ini ialah seorang sahabat yang bernama Huzaifah bin Yaman. Ketika beliau turut serta dalam pertempuran menaklukan Armenia dan Azerbaijan. Dalam perjalanan, beliau mendengar pertikaian kaum muslimin tentang bacaan beberapa ayat al-Qur’an, dan juga pernah mendengar perkataan seorang muslim kepada temannya, yaitu: “Bacaanku lebih baik dari bacaanmu“. Keadaan ini membuat Huzaifah gundah. Maka ketika beliau telah kembali ke Madinah, beliau menemui Khalifah Usman bin Affan ra dan beliau menceritakan apa yang dilihatnya mengenai pertikaian kaum muslimin tentang bacaan al-Qur’an itu. Huzaifah berkata kepada Sayyidina Ustman: “Susulilah umat Islam itu, sebelum mereka berselisih tentang al-Kitab, sebagaimana perselisihan Yahudi dan Nasara“.
Maka Khalifah Ustman ra meminta kepada Hafsah binti Umar ra akan lembaran-lembaran al-Qur’an yang telah dikumpulkan, yang ditulis di masa Abu Bakar ra, yang disimpan oleh Hafsah. Maka lembaran-lembaran tersebut diserahkan kepada Ustman ra oleh Hafshah. Kemudian Ustman membentuk satu panitia yang terdiri dari Zaid bin Tsabit sebagai ketua, Abdullah bin Zubair, Sa’id Bin ‘Ash dan Abdurrahman bin Harist bin Hisyam. Panitia ini diberikan tugas untuk memberikan al-Qur’an, yaitu menyalin dari lembaran-lembaran tersebut, seterusnya menjadi buku (dijilid). Dalam menjalankan tugas ini, khalifah Ustman menasihatkan supaya: (a) mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal al-Qur’an; (b) kalau ada pertikaian diantara mereka tentang bahasa (bacaan, qira’at), maka haruslah ditulis menurut dialek suku Quraisy, sebab al-Qur’an diturunkan menurut dialek mereka.
Setelah tugas yang diamanahkan kepada panitia itu selesai, maka mushaf al-Qur’an yang dipinjamkan daripada Hafsah itu dipulangkan semula kepada beliau. Al-Qur’an yang dibukukan itu dinamakan “al-Mushaf” dan seterusnya oleh panitia itu dituliskan lagi 5 buah al-Mushaf. Empat buah diantaranya dikirimkan ke Mekkah, Syiria, Basrah, dan Kuffah, agar ditempat-tempat tersebut disalin pula dari masing-masing mushaf itu. Sedangkan satu buah lagi ditinggalkan di Madinah, untuk Ustman sendiri, dan itulah yang dinamai dengan ” Mushaf al-Imam”.
Setelah itu, khalifah Ustman memerintahkan semua lembaran-lembaran al-Qur’an yang lain, yang ditulis (selain daripada al-Mushaf) dikumpulkan dan dibakar. Maka dengan itu, dari mushaf yang ditulis di jaman khalifah Utsman itulah, kaum muslimin di seluruh pelosok menyalin al-Qur’an itu. (Hotarticle.org)
[4] Az-Zarqoni, Manahilul Irfan, Dar al-Fikr, Bairut, hal 414. Adz-Dzahabi dalam kitab Tabaqat al-Qurra’nya menyatakan banyak sahabat yang membaca al-Qur’an kepada Ubay bin Ka’ab semisal Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Abdullah bin Sa’ib. Ibnu Abbas juga mengambil bacaan al-Qur’an dari Zaid bin Tsabit. (As-Suyuti, al-Itqon, Dar al-Fikr, Beirut, tt., hal. 75)
[5] As-Suyuti, Op.cit.
[6]Di Madinah terdapat nama Abu Ja’far Yazid bin al-Qo’qo’, Syaibah bin Nasho’ dan Nafi’ bin Nuaim yang populer dalam bidang qira’at. Sedangkan di Mekkah, Abdullah bin Katsir, Humaid bin Qoes al-A’raj dan Muhammad bin Abi Muhaishin yang menjadi tokohnya. Di Kufah ada Yahya bin Watsab, ‘Ashim bin Abi an-Nujud, Sulaiman al-A’masy, Hamzah dan al-Kisa’i. Kota Basrah diimami oleh Abdullah bin Abi Ishaq, ‘Isa bin ‘Umar, Abu ‘Amr bin al-‘Alai, ‘Ashim al-Jahdari, dan Ya’qub al-Hadhramy. Ulama’ qira’at yang populer di kota Syam antara lain: Abdullah bin ‘Amir, ‘Athiah bin Qoes al-Kilaby, Ismael bin Abdullah bin al-Muhajir, Yahya bin al-Harits adz-Dzammary, dan Syuraih bin Yazid al-Hadhramy. (ibid.)
[7]Diunduh dari Media Fas Mesir.blog.com