1. Mashlahah dipandang dari Penilaian Syari’ (Tuhan dan Rasulnya)
Pembagian mashlahah menurut pandangan ulama ushul fiqh sangat luas, karena mashlahah mempunyai banyak sisi yang berbeda-beda. Dalam kitab Abdul Wahhab Khallaf dijelaskan mashlahah dipandang dari sisi penilaian syari’ ada dua bagian, yaitu mashlahah mu’tabarah dan mursalah.
Mashlahah yang mu’tabarah (diperhatikan) adalah mashlahah dimana Syari’ (tuhan) mensyari’atkan hukum-hukum untuk mewujudkan mashlahah tersebut, dan Syari’ menunjukkan atas diperhatikannya bahwa mashlahah itu sebagai illat (alasan) bagi sesuatu yang Dia syari’atkan (hukum).
Sedangkan Mashlahah Mursalah adalah mashlahah dimana Syari’ tidak mensyari’atkan hukum untuk mashlahah tersebut, serta tidak ada dalil yang memperhatikan mashlahah itu sebagai pertimbangan lahirnya sebuah hukum atau mengabaikannya.[1]
Pembagian di atas berbeda dengan pembagian mashlahah menurut beberapa pakar ushul, ulama’ membagi mashlahah menjadi tiga, Pertama, Mashlahah Mu’tabarah menurut syar’i adalah mashlahah syar’iyah yang ada dalil sebagai terwujudnya mashlahah tersebut, baik dari al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ atau Qiyas. Seperti shalat dan puasa.
Kedua, mashlahah mulghah (sia-sia) adalah mashlahah yang dipandang oleh seorang hamba –dengan pandangannya yang terbatas– sebagai suatu mashlahah. Tetapi keberadaan mashlahah tersebut diabaikan, disia-siakan serta dianggap tidak ada oleh syari’, bahkan ada dalil syar’i yang mencegah terwujudnya mashlahah tersebut. Sedangkan yang melarang mashlahah tersebut adalah al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Seperti mashlahah yang terdapat pada khamar, anggur, bir, sabu-sabu, dll yang dapat memabukkan.
Ketiga, mashlahah mursalah, yaitu kemashlahatan yang tidak terkait dengan dalil yang memperbolehkan atau melarangnya, contoh untuk mengatasi merajalelanya pemalsuan hak milik atas barang-barang berharga atau pemalsuan isteri agar dapat bebas kumpul kebo maka atas pertimbangan mashlahah boleh diadakan ketentuan kewajiban mencatat dan keharusan mempunyai keterangan yang sah setiap terjadi akad jual beli, nikah, hibah dan lain sebagainya[2]
Dalam istilah penamaan pun ulama masih bersilang pendapat, Malikiyah memberi nama mashlahah mursalah (المصلحة المرسلة). Imam Ghazali memberi nama Istishlah (الاصتصلاح). Ulama’ Kalam Ushuli memberi nama al-Munasib Mursal Mulaim (المناسب المرسل الملائم). Sebagian dari mereka memberi nama al-Istidlal Mursal (الاستدلال المرسل). Imam Haramain dan Ibnu Sama’ani memberi nama dengan al-Istidlal (الاستدلال) saja. Syaikh Wahbah Zuhaili, lebih condong dengan istilah mashlahah mursalah (المصلحة المرسلة)
2. Mashlahah dari Sisi Kualitasnya
Pembagian mashlahah dipandang dari sisi kualitasnya tebagi menjadi tiga: pertama, mashlahah dhoruriyat[3] (kebutuhan primer/pokok) adalah tingkat kebutuhan yang harus ada. Apabila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi maka keselamatan ummat manusia akan terancam, baik di dunia maupun di akhirat. Ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini yaitu perlindungan agama, jiwa, kehormatan, keturunan dan harta. Untuk memelihara lima hal pokok inilah syariat Islam diturunkan. Dalam setiap ayat hukum apabila diteliti akan ditemukan alasan pembentukannya yang tidak lain adalah untuk memelihara lima hal pokok di atas. Seperti kewajiban qishash:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu hai orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Baqarah; 179)
Dari ayat ini dapat diketahui bahwa disyariatkannya qisas karena dengan itu ancaman terhadap kehidupan manusia dapat dihilangkan dan kehidupan manusia bisa berjalan dengan adil dan tentram. Disanksinya mubtadi’ (ahli bid’ah) yang mengajak pada ke-bid’ah-annya (perlindungan agama). penyanksian terhadap orang yang melakukan perzinahan, karena demi menjaga keturunan agar tidak terjadi kerancuan nasab (perlindungan keturunan).
Kedua, mashlahah al-Hajiyat,[4]adalah kebutuhan sekunder. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi keselamatan manusia tidak sampai terancam. Namun ia akan mengalami kesulitan. Syariat Islam menghilangkan segala kesulitan tersebut. Adanya hukum rukhshah (keringanan) Merupakan contoh kepedulian syariat Islam terhadap kebutuhan ini. Pembolehan tidak berpuasa bagi musafir, hukuman diyat (denda) bagi seorang yang membunuh secara tidak sengaja, penangguhan hukuman potong tangan atas seseorang yang mencuri karena terdesak untuk menyelamatkan jiwanya dari kelaparan.
Ketiga, Mashlahah al-tahsinat, adalah kebutuhan yang tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima hal pokok tadi dan tidak pula menimbulkan kesulitan apabila tidak terpenuhi. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, hal yang merupakan kepatutan menurut adat-istiadat menghindari hal yang tidak enak dipandang mata dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak, dalam berbagai bidang kehidupan seperti ibadah muamalah, dan uqubah. Tuhan telah mensyariatkan hal yang berhubungan dengan kebutuhan tahsinat. Misalnya:
1) Ibadah, seperti menutupi aurat, bersuci dari hadats, serta menjauhi barang-barang kotor dan jenis.
2) ‘Adah (hukum kebiasaan), seperti tata cara makan-minum yang baik, menjahui minuman-minuman kotor dan menjijikkan, serta tidak berlebihan dalam mengonsumsi makanan dan minuman.
3) Mu’amalah, seperti larangan melakukan transaksi jual beli barang haram dan dilarangnya perempuan mengawinkan dirinya tanpa perwalian.
4) Jinayah (pidana), seperti dilarangnya membunuh rakyat sipil (khususnya anak kecil, perempuan, kaum bertapa, dan orang yang tua renta) dalam peperangan.[5]
3. Mashlahah dipandang dari segi Ketercakupannya
Pembagian mashlahah dipandang dari sisi Ketercakupannya terbagi menjadi tiga bagian :
- Mashlahah Umum, yaitu kemaslahatan ummat manusia secara keseluruan yang wajib diwujudkan dan ditegakkan bersama. Seperti memelihara benteng-benteng akidah, memelihara keutuhan al-Qur’an sebagai sumber ajaran suci, dan pemeliharaan tempat-tempat ibadah dan tempat suci yang lain. Termasuk juga dalam bingkai mashlahah jenis ini adalah berbagai bentuk transaksi yang mesti dilakukan oleh lembaga pemerintahan demi kepentingan umum, baik dalam level domestic, hubungan bilateral, maupun multilateral antarnegara.
- Mashlahah yang berkaitan dengan mayoritas ummat manusia. Contoh dari mashlahah jenis ini adalah keharusan mengganti rugi bagi tenaga kerja yang berbuat kesalahan atau pelanggaran, dalam sebuah perusahaan, karena memperhatikan mashlahah para pemilik saham beserta elemen organik perusahaan lainnya secara keseluruhan.
- Mashlahah Individual, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan perorangan dan hanya terjadi pada peristiwa maupun keadaan tertentu, seperti kemaslahatan yang terkandung dalam upaya men-fasakh (pembatalan dalam bentuk perceraian) perkawinan istri yang ditinggal pergi lama oleh suaminya serta tidak diketahui kabar beritanya.[6]
4. Mashlahah dipandang dari Elastisitasnya
Mashlahah dipandang dari sisi elastisitasnya menghadapi perubahan zaman dan lingkungan sosial terbagi menjadi dua bagian :
- Mashlahah yang berwatak konstan, tidak dapat berubah hanya karena perubahan zaman dan lingkungan sosial. Sperti mashlahah yang terkandung dalam pengharaman berbuat zalim, pembunuhan, pencurian, zina dan kufur.
- Mashlahah yang bisa beradaptasi dengan perubahan zaman dan lingkungan sosial. Seperti mashlahah yang terdapat dalam hukum-hukum kebiasaan. Menutup kepala bagi laki-laki atau makan dijalan umum, misalnya, dianggap sebagai aib (tidak muru’ah) oleh sebagian komunitas masyarakat disuatu daerah atau Negara, tetapi di daerah dan tempat lain, hal itu bisa dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan tidak termasuk harga diri seseorang.[7]
[1] Lihat, Abdul Wahhab Khalaf, op.cit, h. 84, Musa Ibrahim al-Ibrahimy, al-Madkhal Ushul Fiqh, (Mesir: Dar al-‘Ammar, 1989), cet I, h.76.
[2] Peunoh Dali, Menelusuri Pemikiran Mashlahat dalam Hukum Islam, dalam Iqbal Abdurrauf Saimina (ed), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), h 153.
[3] Lihat Abdul Wahab Khalaf, op.cit, h. 200, Musa Ibrahim al-Ibrahimy, op.cit. h. 68.
[4] Ibid, h 202
[5] Dr. H. Abu Yasid, LL. M, Islam Akomodatif :Rekontruksi Pemahaman Islam sebagai Agama Universal, (Yogyakarta: LkiS, 2004).h. 97
[6] Ibid. h. 97-98
[7] Dr. H. Abu Yasid, LL. M, Nalar dan Wahyu. (Jakarta; Erlangga, 2007),h 132-133