Jika setiap ada orang yang berkelakuan buruk, lalu Anda emosi, maka berapa kali Anda harus emosi dalam satu hari, lalu dalam satu minggu, satu bulan dan satu tahun, silakan hitung sendiri! Kemudian, jika orang yang seperti Anda itu ada dua saja dalam rumah tangga, lalu berapa dalam satu RT, RW, pedukuhan, desa, kecamatan dan terakhir satu Negara yang 200 juta jiwa lebih ini. Sekarang bayangkan, efeknya kepada kesehatan, kedamaian, keamanan, pendidikan, dan kedalam perilaku dan relasi-relasi sosial yang lainnya.
Kehadiran orang lain yang tidak sesuai dengan yang kita inginkan di sekitar kita, mesti diterima sebagai kenyataan hidup duniawi. Caranya, jadikan diri kita menjadi pribadi yang siap menghadapi itu semua. Api jangan dihadapi dengan api, emosi dan kekerasan tidak pernah bisa menyelesaikan persoalan. Justru bisa menimbulkan persoalan baru. Karena itu, Allah swt. menggambarkan para calon ahli surga dengan firman-Nya “… dan orang–orang yang menahan amarah dan mengampuni kesalahan orang lain, dan Allah mencintai orang–orang yang melakukan kebaikan“. [Ali Imran: 134]
Selanjutnya, coba Anda simak penuturan Anas bin Malik ini, ”Aku berjalan bersama Rasulullah dan beliau mengenakan selendang yang kasar pinggirnya, tahu-tahu ada seorang A’rabi (orang Arab pedalaman) membuntutinya lalu menarik selendang beliau dengan tarikan yang keras sampai belahan pundak beliau terbuka dan tampaklah bekas goresan selendang tersebut padanya. Kemudian A’rabi itu berkata, ”Hai Muhammad, berikan kepadaku harta Allah yang ada pada dirimu!”. Maka beliau menoleh kepadanya dan tersenyum, lalu memerintahkan untuk memberi kepada orang tersebut“. [HR.Bukhari dan Muslim]
Sungguh luar biasa. Bayangkan saja, seorang sekelas Nabi Muhammad saw. yang diagung-agungkan oleh Allah , Malaikat, dan seluruh umatnya sama sekali tidak merasa terhina mendapatkan perlakuan yang amat tidak senonoh dari seorang Arab ndeso. Kita yang bukan apa-apa ini malah sering terlalu tinggi menghargai diri sendiri dari pada menghargai orang lain, lalu jadi mudah tersinggung dan naik pitam. Cara Nabi merespon perlakuan A’rabi tadi tidak menurunkan martabatnya, justru semakin membuktikan bahwa beliau memang seorang Nabi, memiliki keluhuran budi, memahami kultur masyarakatnya, terutama yang di pedalaman dan wong cilik.
Kesimpulannya, bisa mengerti manusia dan bisa memanusiakan manusi. The Akhlak’s Award dari Allah swt. yang dinyatakan, ”Sesungguhnya engkau, Muhammad, niscaya di atas budi pekerti yang agung“. [QS. Al-Qalam: 4]. Memang pantas diterima olehnya.