Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) merasa bertanggung jawab untuk berperan dalam pelestarian satwa. Keluarnya Fatwa MUI Nomor 4 tahun 2014 tentang pelestarian satwa itu dinilai monumental dan strategis bagi Indonesia dan umat manusia.
Dalam peluncuran Fatwa MUI itu di Pusat Primata Schmutzer, Rabu (12/3), Ketua MUI Din Syamsuddin mengatakan Komisi Fatwa MUI merasa ikut bertanggungjawab menjadi bagian solusia atas punahnya satwa akibat perburuan, pembunuhan, perdagangan dan tindakan ilegal lain yang memunahkan satwa.
Oleh sebab itu, komisi fatwa mengumpulkan landasan Alquran dan hadis yang mendukung harmoni kehidupan manusia, satwa, dan tumbuhan. Fatwa ini juga sekaligus jadi jawaban komisi fatwa kepada pihak yang meminta fatwa.
“Di tengah kerusakan kumulatif global, ini langkah awal perbaikan, penyelamatan dan pelestarian satwa,” kata Din. Din menekankan, selain pendekatan moral agama melalui fatwa, penegakan hukum pun harus tetap berjalan.
Ia juga berpesan kepada Menteri Kehutanan, agar perdagangan satwa menjadi konvensi internasional untuk tidak hanya menghukum negara penyuplai tapi juga negara yang terdapat para pemesan.
Din mengutip ayat Alquran yang menyatakan tidaklah burung dan binatang melata yang hidup di bumi berbeda dengan manusia. ”Maka hewan juga memiliki hak hidup dan hak kesejahteraan serta keselamatan dari ulah manusia,” kata Din.
Demikianlah berita yang ditulis oleh Republika. Sebenarnya apa yang diputuskan oleh MUI ini bisa disebut lambat, bahkan sangat lambat. Mengingat persoalan kemusnahan hewan-hewan langka yang disebabkan tangan jahil manusia bukanlah persoalan baru. Seharusnya sudah sejak dulu MUI mengeluarkan fatwanya, terlebih pemerintah sudah lama mengeluarkan UU yang berhubungan dengan perlindungan satwa ini, yaitu UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Walaupun demikian, tetap apa yang dilakukan MUI perlu diapresiasi. Setidaknya mereka tidak melupakan hal ini.
Secara spesifik—sepanjang pengetahuan kami—persoalan satwa langka belum dibahas dalam hukum islam atau fiqh. Tapi kita bisa menjumpai perhatian islam pada hewan secara umum. Ini diwujudkan dalam beberapa hal. Misalnya, larangan untuk kencing di lubang, karena di dalam lubang itu dimungkinkan menjadi tempat hewan. Misalnya juga Kewajiban memberi makan hewan yang dipelihara. Dan masih juga banyak yang lain.
Dengan demikian, ini menunjukkan pelestarian satwa juga harus diperhatikan. Sebagai khalifah di bumi, pengrusakan harus dijauhkan, terutama pada satwa langka. Kita biarkan salah satu ciptaan Allah itu hidup lestari beriringan dengan manusia.
Sebagai renungan, mari simak firman Allah berikut, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya”. (QS. Al-A’raf: 56)