Saat ini negara kita tengah dipersibuk dengan beragam persoalan. Utamanya masalah yang melilit media televisi. Berbicara panayangan sinetron remaja di media Televisi sangat menarik kita kaji. Dimana-mana televisi saat ini jadi wacana segar yang tidak kunjung selesai. Kerapkali hal ini dinilai negatif yang membawa virus terhadap keterbelakangan pendidikan anak bangsa. Bayangkan saja acara sinetron yang ditampilkan cukup padat, hampir + 24 jam non-stop (full day) mustahil tidak berefek pada pola kehidupan remaja masa kini. Antara lain waktu belajar mereka banyak tersita hanya diisi dengan permainan dan kesenangan secara terus-menerus.
Menurut hemat penulis, ini merupakan strategi budaya barat yang terus membabi buta warga Indonesia khususnya terhadap kaum remaja. Salah satu taktik mereka yaitu melalui penayangan sinetron yang tidak dibatasi waktu dan sedikit mengandung nilai-nilai sosial-agama yang mampu mempengaruhi karakter kaum remaja Indonesia menuju kehidupan yang lebih baik. Berbagai upaya dan solusi telah dilaksanakan oleh pemerintah secara maksimal, akan tetapi tetap saja tidak ada hasil yang memuaskan. Justru problem tambah menjadi-jadi sampai terbengkalai hingga sekarang. Prestasi para remaja Indonesia menurun drastis hingga pendidikannya gagal hanya gara-gara media teknologi-informasi yang berkembang pesat saat ini. Entah bagaimana hasil evaluasi UNAS Â nanti. Asumsi penulis hal ini merupakan problem besar yang tidak bisa dibahas secara spontan dan serampangan.
Penulis berasumsi bahwa kaum missionaris barat untuk menghancurkan Islam kira-kira melalui 3.F perlu kita perhatikan, dan telaah ulang secara mendalam. Pertama, Fashion (model berpakaian) yakni gaya pakaian ala barat yang saat ini cukup ngetren disebut you can see shirt, bahkan pakaian yang sebelumnya dikatakan busana islami (tertutup) sekarang bergeser menjadi baju ketat dengan lekuk tubuh yang transparan. Kedua, Food (makanan) yaitu suguhan yang berimplikasi pada percepatan umur manusia hingga menyebabkan lumpuh di usia muda, setengah baya, atau stroke, dan cepat tua.
Seperti halnya minum-minuman keras yang telah banyak dikonsumsi para remaja Indonesia merupakan perlakuan konkrit mereka yang jelas-jelas mengganggu kesehatan jiwa dan merusak akal. Ketiga, Fun (kesenangan) adalah hidup bergaya semata-mata mencari kenikmatan belaka, berfoya-foya dan berlebih-lebihan. Cara yang terakhir ini populer disebut dengan istilah hedonism culture (doktrin budaya yang mengatakan bahwa kebaikan yang pokok dalam kehidupan adalah kenikmatan).
Tak cukup dari itu, mereka juga merancang strategi lain yang lebih komplit sebagai tambahan virus budaya yang telah menyebar di dunia yaitu terkenal dengan istilah (5. S); Sex, Style, Song, Sport, dan Snack. Semua ini apresiasi nyata kebencian mereka terhadap umat Islam sejak pertama kali. Dimana tujuan mereka ingin mengajak kita untuk mengikuti pemahamannya dan membumi hanguskan pemahaman yang kita yakini benar.
Selain sinetron sebagai tontonan yang menyimpan makna pengetahuan secara global, baik pula bila penayangan sinetron ini ditilik dari segi sosial (social knowledge) secara khusus yang merujuk pada proses pembentukan hidup seseorang yang baik, sederhana, dan sejahtera secara makro utamanya harmonis dalam miniatur keluarga secara mikro. Sinetron semestinya tidak banyak menayangkan tindakan anarkhis seperti pertandingan smack down, atau menakut-nakuti yang dapat mengkerdilkan kejantanan pemikiran anak bangsa seperti film horror, setan ghaib atau yang serupa dengannya. Ini sangat sedikit sekali nilai pendidikannya. Lebih dari itu, Televisi harus menjauhi tayangan-tayangan yang tabu, vulgar, dan berbau porno, terlalu feminis atau maskulin yang gampang merubah karakter dan mental anak bangsa menjadi abnormal atau berlebih-lebihan.
Solusinya adalah film sinetron Indonesia harus berupa kisah yang nyata (non fiksi), karena film sangat besar pengaruhnya terhadap daya tangkap, pola pikir maupun sikap anak sejak dini. Bagaimana visi-misi televisi berorientasi pada pemberdayaan dan pengembangan pendidikan anak bangsa, pembentukan sikap positif, psikologis, kecerdasan berpikir, idealisme hidup dan rangsangan mereka untuk melakukan hal-hal yang inovatif dari tayangan sinetron tersebut.
Penting dihayati dan direalisasikan isi GBHN ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/1999-2004 tentang Komunikasi, Informasi, dan Media Massa; yang bunyinya yaitu, “meningkatkan pemanfaatan peran komunikasi melalui media massa modern dan media tradisional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa; memperkukuh persatuan dan kesatuan; membentuk kepribadian bangsa, serta mengupayakan keamanan hak pengguna sarana dan prasarana informasi dan komunikasi”. Makna ini harus kita pegang utamanya para penyensor film sendiri yang harus melakukan renovasi dan siap menjalankan ketetapan yang sudah mapan tersebut.
Idealnya televisi dalam konteks pendidikan, pantas dikatakan sebagai madrasah anak bangsa yang amat berarti menuju transformasi pola pikir mereka di masa yang akan datang. Dengan kisah-kisah sinetron yang bernuansa sosial-keagamaan harus tetap dipertahankan dan diamalkan. Dengan ini para remaja Indonesia bisa memadukan teori keilmuan yang telah didapat di bangku sekolah dan mampu mengaplikasikannya, terutama dalam term khusus sosial-budaya dan keagamaannya. Sebab kita tahu bahwa televisi memiliki nilai-nilai seni yang sangat dominan dan menarik perhatian dibandingkan dengan media pembelajaran lainnya.
Selanjutnya langkah pemerintah yang harus ditempuh adalah menyensor, atau menyeleksi film itu sendiri, selain juga mengadakan pengawasan dan pengontrolan secara intensif. Upaya pemerintah dalam menjalankan UUD harus benar-benar terbukti dimata masyarakat sebagai pengatur arus per-filman global Indonesia, seperti “menyiarkan pada waktu yang tepat dan mencantumkan klasifikasi khalayak sesuai isi siaran” yang disenyalir dalam pasal 36 ayat (3) UU Penyiaran No. 32/2002, harus dipertegas kembali secara konkrit misalnya lewat sidang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Artinya masa anak-anak disuguhkan film yang layak untuk mereka pula, begitu juga dengan orang dewasa dan seterusnya. Semua itu, langkah tindakan preventif, dimana dikhawatirkan akan mengakibatkan perbuatan buruk yang tidak diinginkan.
Oleh: Ahmad Mu’takif Billah