Beberapa hari yang lalu para siswa kelas akhir telah menempuh UN. Hari itu merupakan hari yang paling menegangkan bagi mereka. Semua upaya dilakukan hanya untuk mengfokuskan diri demi keberlangsungan UN dengan baik dan sukses. Kesibukan lain yang tidak berkaitan dengan UN sementara diparkir dulu. Entah kesibukan itu apa karena belajar atau karena hal yang lain.
Sekarang, momen itu telah berlalu dengan menyisakan harapan. Yang pasti harapan itu tidak lain adalah “lulus”, walauapun sebagian harapan itu ada yang pupus. Dari itu, setiap do’a-do’anya mereka selipkan kata “lulus, lulus, dan lulus”.
Namun, ketika harapan itu terjadi sering kali mengarah pada ketidakberuntungan. Yang awalnmya mereka berpikir, dengan kelulusan, mereka akan meraih keberuntungan, tetapi justru sebaliknya. Disadari atau tidak, hal demikian sudah menjadi kenyataan. Kenapa hal itu bisa terjadi? pernahkah mereka bertanya, kenapa mereka tidak beruntung padahal mereka sudah lulus?
Perlu diketahui, sesunguhnya berharap “lulus” saja itu kurang atau bahkan salah. Karena, jika berharap lulus saja, yang terjadi hanya sebatas lulus, tidak bisa berharap pada yang lainnya. Dari itu, jangan menyalahkan siapa-siapa jika setelah lulus tidak mendapat keberuntungan atau bahkan menjadi pengangguran. Karena harapannya hanya lulus.
Oleh sebab itu, jangan berharap lulus saja, tetapi berharaplah “lulus yang barokah dan manfa’at”, agar setelah lulus tidak hanya sebatas lulus, namun juga mendapatkan keberuntungan dan tidak menjadi pengangguran. Sebelum terlambat, mulai sekarang berharaplah “lulus yang barokah dan manfa’at”, bukan “lulus saja”.
Bentuk syukur kelulusan UN
Setelah kelulusan UN, para pelajar yang menerima surat kelulusan langsung mengadakan pesta corat-coret baju seragamnya. Asumsinya, sich, sebebagai bentuk rasa syukur dan kebahagiaan karena telah lulus. Jika begitu asumsinya, itu kurang tepat. Bahkan dengan mencorat-coret baju seragamnya, itu sebagai pelecehan pada almamaternya sendiri.
Jika ingin menunjukkan rasa syukur dan bahagia, bagaimana jika seragam-sergam itu dihadiahkan kepada pelajar yang tidak mampu membeli seragam. Semisal, dalam suatu lembaga mengadakan acara pemberian hadiah baju seragam pelajar yang sudah lulus kepada pelajar yang tidak mampu membeli seragam yang masih dalam masa pendidikan, dalam rangka sebagai perwujudan rasa syukur dan bahagia karena telah lulus UN. Bukankan itu suatu perbuatan yang sangat mulia?
Sebenarnya, pesta corat-coret baju seragam setelah kelulusan termasuk budaya yang tidak menghormati almamater, budaya yang tidak bermoral, dan budaya yang tidak berpendidikan.