Dalam sejarah, perempuan tercatat sebagai sejarah yang paling buruk. Sebab, posisi perempuan ketika itu mengalami keterpurukan yang amat sangat. Di kalangan elit Yunani perempuan diposisikan sebagai makhluk tahanan “disekap” dalam istana. Kalangan bawahannya memperlakukan perempuan sebagai barang dagangan yang diperjualbeliakan. Bila sudah menikah, para suami berkuasa penuh terhadap istrinya.
Peradaban Romawi memposisikan perempuan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya. Setelah dia kawin, kekusaan pindah pada tangan suaminya. Kekuasaan ini sangat mutlak, termasuk kewenangan untuk menjual, mengusir, menganiaya, dan membunuh. Fakta pahit tersebut terus berlangsung pada abad ke-6 Masehi.
Masyarakat Hindu praabad ke-7 Masehi sering menjadikan perempuan sebagai sesajen bagi para dewa. Hak hidup perempuan yang bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya: istri harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar.
Sedang dalam masyarakat Cina terdapat petuah-petuah kuno yang tidak memanusiakan perempuan. Ajaran Yahudi menganggap perempuan sebagai sumber laknat karena ia yang menyebabkan Adam tereliminasi dari surga. Ayah berhak menjual anak perempuan kalau ia tidak memiliki anak laki-laki.
Dalam tradisi Nasrani pun nasib perempuan sangat menyedihkan dan memperhatinkan. Dalam sebuah konsili yang diadakan pada abad ke-5 Masehi dinyatakan bahwa perempuan tidak memiliki sifat-sifat yang suci. Pada abad ke-6 sebuah konsili menyimpulkan bahwa perempuan adalah manusia yang diciptakan semata-mata untuk melayani laki-laki.
Tradisi Arab Jahiliyah menghalalkan dibunuhnya seorang bayi hanya karena terlahir sebagai perempuan. Pada acara pernikahan, para tetamu membrikan ucapan mempelai dengan bil hanna’ wal-banin (selamat, semoga memperoleh keturunan laki-laki). Setelah menikah, perempuan menjadi hak penuh suami dan kelurganya. Ketika suaminya meninggal, ia tidak bisa menjadi pewaris melainkan benda yang diwariskan.
Catatan-catatan sejarah di atas menggambarkan kepada kita betapa perempuan selalu diperlakukan secara nista. Seolah perempuan merupakan bahan praktik kekerasan dan hinaan, alat pemuas ketika ego memuncak, dan sebagai tumbal ketika nafsu birahi tak lagi dapat dikendalikan. Dari itu, sehingga banyak klaim bahwa catatan-catatan sejarah di atas merupakan bukti kongkrit untuk menghukumi (menobatkan) perempuan adalah manusia setengah manusia, manusia kelas bawah, makhluk pelengkap, dan manusia tak merdeka.
Sungguh keberadaan perempuan (saat itu) selalu termarjinalkan di berbagai sudut kehidupan, seperti tak ada celah bagi mereka untuk menampilkan sedikit ekspresi yang mereka miliki. Kebahagian, keberuntungan, kesuksesan, kegembiraan dan semua rasa yang seharusnya mereka raih dan miliki sangat sedikit dan terbatas untuk mereka nikmati, seakan tidak ada waktu dan ruang bagi mereka agar semua itu singgah di kehidupan mereka.
Lalu pertanyaannya, mengapa ketika itu posisi perempuan berada dalam keterpurukan yang amat sangat? Jawabanya hanya satu, yaitu ketika itu perempuan tidak memiliki kesempatan (atau memang tidak diberi kesempatan) untuk menampilkan potensinya dan mengekspresikan kreatifitasnya.
Jawaban tersebut mungkin cukup tepat. Bandingannya sama dengan orang ingin mengatakan sesuatu tapi ia tidak memiliki kesempatan, sehingga apa yang ingin dikatakan tidak tersampaikan. Begitu juga dengan perempuan ketika itu, sesungguhnya mereka ingin menampilkan potensinya, mengekspresikan kreatifitasnya dan bahkan mencipta karya. Tetapi semua keinginan itu hanya dapat menjadi mimpi belaka tidak pernah menjadi nyata, karena terbunuh oleh klaim bahwa perempuan adalah manusia kelas bawah, makhluk pelengkap, dan manusia tak merdeka, dimana klaim itu menjadi paradigma ‘konyol’ yang sangat kuat ketika itu.
Catatan-catatan sejarah yang kelam di atas jangan sampai terulang, cukup dijadikan pelajaran. Oleh karena itu, sudah saatnya dan seharusnya perempuan menampilkan potensinya, mengekspresikan kreatifitasnya, menunjukkan kehebatannya, dan memperjuangkan martabatnya. Dengan cara, perempuan aktif di lembaga-lembaga pendidikan yang ada (sekolah/kuliah), guna mengasah nalar demi mengembangkan potensi dan kreatifitasnya serta berperan-aktif di berbagai organisasi demi mengangkat martabatnya dan menunjukkan kehebantannya di hadapan publik lebih-lebih di hadapan laki-laki.
Dengan demikian, perempuan tidak akan menjadi bahan praktik kekerasan dan hinaan dan tentu posisi perempuan tidak lagi berada di pinggir atau di bawah. Akhirnya sejarah perempuan tercatat sebagai sejarah yang terbaik.