Oleh : Ahmad Mu’takif Billah
Keragaman beragama yang merebak di Indonesia, harus disikapi hati-hati dan lebih waspada lagi. Akhir-akhir ini klaim takfir (peng-kafir-an) dan tadhlil (pen-sesat-an) cukup marak dan amat sangat mudah untuk diucapkan, baik di lingkungan para mufti agama pada khususnya lebih-lebih kaum awam pada umumnya.
Dampaknya amat memprihatinkan kalangan bawah, mayoritas dari mereka cenderung bertindak keras bahkan ada yang sampai perang (Qitaly). Ini barangkali problem yang amat tidak berprikemanusiaan (amoral), yang harus disikapi dengan sikap tegas (hujumy) bila mereka menentang, dan sikap toleransi bila mereka memilih berdamai di tengah keberagaman.[1]
Memang pada dasarnya kita tidak dapat mengelak timbulnya perbedaan, namun ini tujuan manusia diciptakan di muka bumi. Dalam al-Qur’an telah tegas disenyalir: “ Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah menciptakan mereka. “.(QS : Surat Hud : 118-119).
Karena perbedaan itulah, Imam ‘Atha’ salah seorang mufassir berpendapat, maksud persinggungan tersebut tak lain agar mereka mendapat rahmat Allah. Yakni rahmat yang telah dinobatkan kepada sebagai orang-orang yang menempuh shirat mustaqim, jalan yang lurus (hanif). Demikianlah komentar sama yang juga dilontarkan oleh Ibnu Jarir ath-Tabrani, Ibnu Katsir, dan Syaikh ‘Abdurrahman bin Sa’di dalam kitab-kitabnya.[2]
Hikmah sebuah perbedaan dimunculkan, agar seorang hamba mengerti arti sebuah keadilan ataupun hikmah terselubung yang harus digali melalui ijtihad atau mujadalah al-Ahsan (debat sehat). Misalnya diskusi mencari keputusan mana yang baik dan mana yang buruk dan lain sebagainya.[3] Oleh sebab itulah, perbedaan harus dikelola dengan ramah, penuh toleran yang menguntungkan pada semua kalangan tanpa ada yang dimarginalkan. Kebijaksanaan dalam bergaul ditampakkan pada sikap toleransi (al-Tasamuh), adil (al-‘Adalah), demokrasi (al-Tawassut), konsisten (istiqamah) dan bijak-arif dalam mengambil sebuah keputusan (qadiyah) di tengah keragaman sosial.
Apalagi umat Islam kini dihadapkan pada dimensi teologi yang memanas, yakni kelompok agama secara mudah menobatkan kafir atau sesat pada kelompok lain, di satu pihak terlalu menutup diri–pintu takfir dan tadhlil. Pada akhirnya kondisi menjadi labil dan timbullah banyak kekerasan, terorisme, kekafiran merajalela, dan tersebarnya fitnah dimana-mana. Untuk membendung problem sosial-teologi ini, hematnya pintu takfir maupun tadhlil harus diputuskan lebih dinamis dan elastis; berada diposisi tengah (wasathiyyah). Tidak ekstrim kiri dan kanan.
Ada statemen yang menyatakan “man kaffara musliman fahuwa kafirun”, barang siapa yang mengkafirkan muslim maka ia kafir. Selanjutnya “waman lam yukaffir kafiran wahuwa kafirun”, barang siapa yang tidak mengkafirkan orang yang sudah nyata kafir, maka ia juga kafir.[4] Sikap ini memberikan pemahaman mendalam bagi kita, agar senantiasa bersikap preventif (al-Sad al-Dzari’ah) sekaligus jalan tengah dalam mengklaim takfir maupun tadhlil pada siapapun.
Penting ditelaah juga, bahwa dalam tataran teoritisnya, klaim takfir dan tadhlil mempunyai dua pemaknaan yang berbeda: kata kufr lebih khusus daripada dhalalah. Dhalalah barangkali belum tentu kufr, akan tetapi kufr pasti dhalalah (sesat). Untuk itu, dalam Islam bisa terjadi seorang muslim yang sesat (dhalalah) namun tidak sampai pada tingkatan kafir (kufr). Begitu juga sebaliknya.
Kufr yang dimaksud adalah pendustaan (takzib) terhadap apapun yang dibawa Rasulullah.[5] Al-Ghazali mengkategorikan kufur masuk pada persoalan hukum syar’i, maka landasan yang paling tepat adalah wahyu, bukanlah an-sich akal.[6] Sedangkan tadhlil ditimbulkan oleh hawa nafsu seseorang yang menjerumuskan pada kubang kesesatan yang condong pada kelezatan jasmaniyah dan emoh melakukan kebahagian ruhaniyah yang abadi.[7] Namun tadhlil disini tidak termasuk tataran kufur (keluar agama Islam), masih terdapat pintu taubat serta dispensasi (rukhsah) dari agama. Sebab mereka masih percaya risalah yang dibawa Rasulullah SAW.
Dalam kontek ke-Indonesiaan, untuk menstandari vonis kafir (sesat) atau tidak, setidaknya bisa ditilik dari beberapa aspek. Pertama, mereka tidak meyakini rukun Iman dan Islam. Kedua, menyakini adanya Nabi setelah terutusnya Nabi Muhammad. Ketiga, tidak meyakini keotentikan al-Qur’an dan al-Hadist sebagai hujjah al-Syar’i (sumber hukum Islam). Keempat, melakukan penafsiran al-Qur’an tanpa menggunakan kaidah-kaidah yang benar atau telah di-ijma’i.[8]
Ala kulli hal, klaim takfir dan tadhlil yang cukup marak di bangsa ini, pada hakikatnya amat mudah untuk diluruskan kembali: manakah yang harus dikafirkan dan tidak. Ulasan ini diharapkan akan memberikan konstribusi besar bagi mereka yang gampang menyerukan yel-yel takfir dan tadhlil di muka bumi ini, lebih bersikap bijak, arif dalam menuduh seseorang itu kafir atau tidak. Afalâyatadabbarûn…
[1] Kaum pengganggu, penentang dan pengancam keselamatan umat Islam dinamakan kafir harbiy. Kaum yang siap mengadakan perjanjian, tidak ingin menyerang ataupun bermusuhan disebut kafir mu’ahad. Sedangkan kaum yang tunduk dan patuh terhadap pemerintahan Islam dikatakan kafir dzimmy.
[2] DR. ‘Aidh al-Qarniy, DR. Yusuf bin ‘Abdullah asy- Syubailiy, terjemah kitab Al-Khilaf Asbabuhu wa Adabuhu (Fiqh Khilaf wa Atsruhu fil Qadha’ ‘alal Irhab), Rajut Cinta (Etika Berbeda Pendapat Dan Seni Menyelesaikan Perselisihan, Agar Perbedaan Tetap Menjadi Rahmat dan Terhindar Dari Perpisahan Yang Tidak Diinginkan), inas media, 2008, Cet I, hal 94.
[3] Lihat tafsir Ibnu Sa’di, III/ 125.
[4] DR. Zakariyah al-Bary, Fatawa al-Azhar (1400 H, 1980 M), Juz VII, hlm. 359
[5] Al-Ghazali, Faisal at-Tafriqah baina al-Islam wa al-Zandaqah, hlm. 79. Mengenai wilayah takfir adalah masalah-masalah usul atau prinsip-prinsip agama, sementara segmen furu’ tidak termasuk kategori takfir. Menurut al-Ghazali yang dimaksud usul adalah iman kepada Allah, Rasul-Nya, dan hari akhir.
[6] Al-Ghazali, al-Iqtisad fi al-I’tiqad, hlm. 80
[7] Abu Abdullah Muhammad bin Umar bin Hasan bin Husain al-Taimy al-Roziy (Fakhruddin al-Roziy), Tafsir al-Roziy, Jld 13, hlm. 184. Lihat pula dalam surat al-Shaad: 26, yang berbunyi, “Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”.
[8] Kaidah-kaidah yang benar dalam memahami sumber hukum syar’i disyaratkan antara lain: mengetahui kaidah-kaidah kebahasaan (al-Qawaid al-Lughawiyyah), mengetahui sebab-sebab turunnya teks syar’i (asbab al-Nuzul), memahami keterkaitan suatu teks dengan teks yang lain, mengetahui hubungan teks-teks dengan hukum-hukum (yang berada di teks lain), mengetahui hubungan teks-teks dengan maqasid al-Syar’i (tujuan disyari’atkannya hukum).