Perhatian Islam terhadap umatnya begitu besar. Mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi sudah di sediakan tawaran menu moralitas yang berbasis wahyu tentang apa yang seharusnya dilakukan kaum muslimin demi kebaikan mereka baik di dunia maupun di akhirat. Namun ironis, kebanyakan umat Islam tidak mau mengambil tutunan itu. Akibatnya sering dijumpai di antara mereka yang kehidupannya dilanda goncangan negatif yang sangat dahsyat. Baik berupa penyakit yang menyerang ruhani (psikis) mereka. Semisal putus asa, stres, iri, dengki, sombong, tamak, dll. Maupun penyakit yang menggorogoti fisik mereka. Seperti kencing manis, serangan jantung, strok, dll yang akhirnya akan merugikan mereka sendiri.
Sederetan penyakit ruhani (psikis) di atas akan menjadi jawaban dari pertanyaan “mengapa kita tidak pernah sampai pada kebenaran mutlak (Allah)”. Padahal menemukan Allah itulah puncak tertinggi pejalanan manusia dan harus dicapai.
Satu kata “lapar” yang coba ditawarkan dalam tulisan ini sebagai alternatif untuk meringankan segala bentuk keluhan psikis maupun fisik yang menimpa manusia.
Tentang energi lapar pada fisik, diceritakan ketika seorang dokter utusan Mugaugis, raja mesir datang ke madinah sebagai ungkapan solidaritas kemanusiaan dengan mengobati penduduk yang berdomosili di Madinah dan sekitarnya secara gratis. Setelah doker tersebut bermukim beberapa lama di Madinah, tidak ada seorang pasien pun yang datang berobat kepadanya. Akhirnya dokter tersebut mengambil sebuah keputusan bahwa dirinya harus kembali ke kampung halamannya karena keberadaan dia di Madianah tidak berfungsi apa-apa. Kemudian ia datang menghadap Rasulullah untuk minta izin pulang dengan alasan, selama beberapa bulan di madinah tidak ada seorang pun yang sakit. Nabi pun mengizinkannya untuk pulang. Namun sebelum pulang, dokter tersebut bertanya kepada Rasulullah tentang rahasia mengapa di Madinah ini tidak ada orang sakit. Lalu Rasul menjawab :
نحن قوم لا ناءكل حتى نجوع واذا اكلنا لانشبع (رواه ابودود)
Artinya : “Kami adalah komonitas yang tidak makan kecuali sudah lapar, dan berhenti sebelum kenyang”. (HR. Abu Daud).
Selanjutnya, tentang energi lapar pada psikis (jiwa), para ulama’ telah sepakat bahwa lapar menjadi salah satu dari empat rukun terpenting dalam perjalanan menuju Allah (thariqah) : 1. Lapar. 2. Melle’(tidak tidur). 3. Uzlah. 4. Diam.
Di dalam kitab al-minah al-saniyyah disebutkan syekh Muhyi al-Din bin al-Arabi dalam kitabnya, al-Futuhat al-Makkiyah menuturkan bahwa setelah Allah menciptakan nafsu, lalu Allah bertanya padanya, “siapa Aku”, nafsu menjawab dengan sombongnya membalik pertanyaan “siapa juga aku”. Kemudian Allah menghukumnya dengan hukuman “lapar” selama seribu tahun. Lalu Allah bertanya lagi siapa Aku. Nafsu baru menjawab dengan tawadhu’ dan sopan “ Anda adalah Tuhanku”.
Sebelum Allah menghukum nafsu dengan hukumam lapar, terlebih dahulu Allah menghukumnya di tempat yang sangat panas dan sangat dingin masing-masing seribu tahun. Namun kedua hukuman itu tidak cukup efektif untuk menundukkan nafsu. Baru setelah menerima hukuman “lapar” ia baru mengakui ke-Tuhan-an Allah.
Sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq berkata: aku tidak pernah kenyang sejak masuk Islam dengan tujuan supaya aku mendapatkan manisnya beribadah kepada Tuhanku. Aku tidak pernah berpuas-puas diri sejak masuk Islam dengan tujuan supaya aku mendapatkan rasa rindu yang sangat mendalam untuk bertemu dengan Tuhanku.
Imam al-Darani berkata: paling manisnya kondisi spiritual adalah ketika beribadah dalam keadaan perutku menempel pada punggungku (sangat lapar).
Begitu dahsyat energi lapar. Sehingga membuat nafsu yang sombong menjadi tawadlu’ dan membuat nafsu yang membangkang menjadi tunduk.
Sebaliknya, kenyang merupakan induk dari segala petaka baik di dunia maupun di akhirat. Induk dari segala penyakit baik rohani maupun jasmani. Dalam kitab bidayahnya Imam al-Ghazali mengatakan : kenyang akan menyebabkan hati menjadi keras, merusak kecerdasan, menjadi beban beribadah dan ilmu, mendominasinya syahwat, dan merupakan tipu daya syetan”.
perlu di ketahui bahwa yang di maksud lapar di sini bukan berarti memaksakan diri untuk mogok makan lalu kelaparan. Namun yang di maksud adalah tidak makan kecuali sudah lapar dan berhenti sebelum kenyang. Inilah ajaran berbasis wahyu yang sangat luar biasa yang diajarkan Nabi pada umatnya.
Bagi kaum muslimin tidak usah khawatir dengan anggapan kebanyakan orang yang menganggap bahwa lapar akan menyebabkan kurus dan sakit. Untuk anggapan yang pertama mungkin bisa di “ya” kan. Namun perlu di ingat bahwa hal ini tidak berlaku secara simultan. Tetapi untuk anggapan yang kedua sama sekali tidak benar. Justru dengan lapar orang akan menjadi sehat dan hidup akan lebih bersemangat. Hal ini telah disepakati oleh para ahli medis, baik ahli medis klasik maupun modern.
Rasulullah saw. Bersabda :
المعدة بيت الداء والحمية رءس كل دواء (رواه الديلامي)
Artinya : perut (lambung) adalah tempat segala penyakit. Sedangkan mencegah makanan (lapar, diet) adalah induk segala obat.
Dalam kesempatan lain beliau bersabda:
صوموا تصحوا
Artinya : Berpusalah niscaya kalian akan sehat.
Beberapa hadits di atas menjelaskan betapa pentingnya menjaga perut agar tidak selalu di penuhi dengan makanan dan selalu memilih makanan yang halal dan bergizi. Makan sedikit yang bergizi jauh lebih baik dan bermanfaat daripada makan banyak baik yang bergizi apalagi tidak bergizi. Cara inilah yang dipakai oleh para elit yang telah mendahului kita dalam menempuh hidup, seperti para Nabi dan Rasul, para Waliyullah, dan para ulama’ sehingga mereka sukses menjalani hidup ini.
Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mustaqil dan beliau dinobatkan sebagai peletak batu pertama ilmu Ushul Fiqh . salah satu riyadlah yang dilakukan beliau adalah bahwa selama enam belas tahun beliau tidak pernah merasakan yang namanya kenyang. Kita kenal Syekh Abdul Qadir al-Jilani, beliau adalah pemimpin para wali. Beliau tidak pernah kenyang selama dua puluh lima tahun.
Kita, kaum muslimin sebagai penerus perjuangan Nabi dan para penerusnya harus merasakan juga energi lapar sebagaimana yang telah dilakukan oleh para pendahulu kita, para Nabi, Ulama’ dan Shalihin. Karena dengan “lapar” pengembaraan intlektual kita dan pengembaraan nalar irfani kita akan sampai pada puncak tertinggi yang dikehendaki dari pengembaraan itu sendiri. Yaitu ma’rifat kapada Allah.
Menjalani riyadlah lapar ini, pada awalnya akan terasa betapa pahitnya menahan rasa “lapar”. Namun masa merasakan pahit itu akan segera hilang setelah adanya kebiasan. Paling lama mungkin hanya satu minggu. Setelah itu akan terbiasa dan akan merasakan betapa indahnya “lapar”. Akhirnya, “lapar” harus diperjuangkan.