Syeikh Dhofier, Sang Arsitek Keilmuan Pesantren Sukorejo

0
1092

Salah satu daya tarik Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo adalah bidang FIQH, terutama lembaga pengkaderan ilmu fiqh yang dikenal dengan Ma’had Aly. Sudah ratusan ahli fiqh yang pernah digembleng di Pesantren Sukorejo. Namun, siapakah sebenarnya sang arsitek keilmuan di Pondok Sukorejo tempo dulu, sehingga Sukorejo dikenal sebagai gudangnya fuqaha’?

Sang arsitek itu, Kiai Haji Raden Dhofier Munawar atau yang lebih dikenal dengan sapaan Syeikh Dhofier. Syeikh Dhofierlah yang mengurusi segala sesuatu yang berkaitan dengan keilmuan di Pesantren Sukorejo. Apalagi, sejak tahun 1974 sampai meninggalnya, jabatan beliau adalah mansya’.

Syeikh Dhofier memang dikenal alim, terutama dalam bidang fiqh. Bahkan konon, Kiai As’ad sendiri mengakui: dalam bidang fiqh beliau kalah dibanding sang menantu, Syeikh Dhofier.

Pengembaraan Syeikh Dhofier dalam bidang keilmuan mulai diasah di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-guluk Sumenep. Di pesantren ini, beliau digembleng sendiri oleh kakak iparnya, KH. Abdullah Bajjad. Kiai Abdullah ini suami Nyai Shafiyah, kakak kandungnya. Di Guluk-guluk Syeikh Dhofier melahap semua kitab-kitab ilmu alat, semacam nahwu dan sharraf.

Belum puas menimba ilmu di Annuqayah, Syeikh Dhofier melanjutkan pengembaraannya di Pondok Pesantren Sidogiri, dibawah asuhan KH. Abdul Djalil. Di Pesantren Sidogiri ini, Syeikh Dhofier pernah diangkat sebagai “kelurahan” pondok pesantren. Menurut penuturan beberapa temannya, Syeikh Dhofier terkenal dengan kewara’an dan kealimannya. Bahkan beliau dikenal sebagai “Macan Sidogiri”. “Banyak santri yang antri sorogan kitab kepada beliau di asramanya,” imbuhnya.

Setelah di Sidogiri, Syeikh Dhofier melanjutkan pengembaraannya ke Pondok Pesantren Lasem Jawa Tengah, asuhan Kiai Maksum. Di Pesantren ini, konon beliau hanya untuk mencari barokah. Dan tidak beberapa lama kemudian, Kiai As’ad memanggilnya untuk membantu Pondok Pesantren Sukorejo.

Kiai kelahiran 1923 tersebut lalu dikawinkan dengan Nyai Zainiyah As’ad. Syeikh Dhofier dan Kiai As’ad sebenarnya masih famili; silsilahnya bertemu di Kiai Ruham, sang kakek. Syeikh Dhofier ini putra bungsu Kiai Munawar bin Kiai Ruham. Pasangan Syeikh Dhofier-Nyai Zai ini akhirnya diberi karunia empat putri dan seorang putra; yaitu Qurratul Faizah, Tadzkirah (meninggal usia 6 tahun), Uswatun Hasanah, Umi Hani’, dan Imdad Ibrahimy yang kemudian berganti nama Azaim Ibrahimy.

Syeikh Dhofier terkenal dengan kealimannya dalam bidang fiqh dan tasawuf. Menurut Syeikh Dhofier, antara fiqh dan tasawuf tidak bisa dipisah-pisahkan. Karena, “Sebenarnya tasawuf merupakan intisari ilmu fiqh. Sedangkan ilmu balaqhah merupakan intisari ilmu nahwu,” tuturnya.

Syeikh Dhofier mengabdikan dirinya, untuk mengembangkan Pondok Pesantren Sukorejo dalam bidang keilmuan. Ia habiskan hari-harinya, untuk mengajar mulai dari kitab yang kecil sampai yang besar. Di antaranya kitab Taqrib, Zubat, Taqrir, Kifayatul Ahyar, Iqna’, Fathul Wahab, dan Tafsir Jalalain. Beliau juga mengarang kitab “Syaribatus Saiqah” dan buku “Leluhur KHR. As’ad Syamsul Arifin”.

Setiap Ramadhan, termasuk Ramadlan 1405, Syeikh Dhofier memberikan pengajian Tafsir Jalalain. Banyak santri, alumni, dan masyarakat yang mengikuti pengajiannya. Sayangnya, saat itu Tafsir Jalalain yang dibacanya, tidak seluruhnya tamat, hanya sepertiga kitab. Sebab beliau terserang penyakit. Pada tgl 10 Ramadlan 1405 atau 30 Mei 1985, sekitar jam dua dini hari, Syeikh Dhofier meninggal dunia.

 

 

Sumber: tabloid salaf / Image: Shufi Aly Hamidy

Tinggalkan Balasan