Kiprah perempuan ini demikian sentral. Berkat sumbangsihnya, kini salah satu pesantren terkemuka di tanah air terlihat lebih asri dan para santri sangat merasakan hadirnya seorang ibu.
Pagi itu, ada nuansa berbeda di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang. Salah satu kampus negeri ternama itu tampak semarak dengan sejumlah karangan bunga ucapan selamat. Sejumlah pejabat negara, tokoh nasional, akademisi, serta beberapa aktifis tampak sumringah hadir di kampus tersebut. Mereka terlihat sangat bangga karena sebentar lagi KH Salahuddin Wahid yang lebih akrab dipanggil Gus Sholah akan dikukuhkan sebagai doktor honoris causa.
Seremonial pengukuhan dimulai. Dengan mengenakan pakaian kebesaran, Gus Sholah mantap memasuki area dan menaiki podium kehormatan. Di awal sambutannya, Pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang ini menyebut satu demi satu pihak yang telah berjasa membantu hingga pengukuhannya sebagai doktor kehormatan.
Namun ketika menyebut nama seorang perempuan, tiba-tiba suasana berubah haru. Gus Sholah terlihat sesengukan menyebut nama perempuan yang telah menemani dalam suka dan duka. “Baru kali ini saya menyaksikan Gus Sholah menangis,” kata seorang undangan dengan suara lirih.
Cukup lama Gus Sholah menghentikan pidato pengukuhan. Ia harus menyeka peluh dan air mata, serta menarik nafas panjang agar mampu meneruskan pidato. Sungguh sebuah pemandangan yang mengharukan. Sebagian undangan juga terlihat larut dalam susana ini.
Perempuan dimaksud adalah Ny Hj Farida. Sebagai ta’dzim dan bangga, ia menambahkan nama sang suami di belakang namanya. Tidak ada prosedur khusus dan ribet saat membuat janji bertemu dengan perempuan kelahiran Purworejo Jawa Tengah ini. Cukup dengan fasilitas sms, pertemuan bisa diagendakan dan suasana berlangsung akrab. Seperti yang crew Cyberdakwah alami.
Tidak Kenal Fasilitas Negara
Ny Hj Farida adalah putri dari tokoh penting di jajaran Nahdlatul Ulama (NU) serta mantan Menteri Agama RI, Prof Dr KH Saifuddin Zuhri dan Siti Solihah. Ia terlahir pada 26 Maret 1944, yakni anak kedua dari sepuluh bersaudara. “Sejak kecil kami diajarkan menyadari kewajiban dan tanggungjawab dengan tugas yang telah diberikan,” katanya di dalem kasepuhan Pesantren Tebuireng.
Seluruh anggota keluarga memiliki tugas berbeda. Khusus mereka yang usianya lebih dewasa, maka mendapat tugas menjaga dan memantau adik-adiknya. Namun demikian, anak yang paling bungsu sekalipun diberikan tugas yang harus diselesaikan dengan baik. “Adik kami yang paling muda adalah Lukman Hakim Saifuddin (sekarang Menteri Agama RI, red) kala itu tugasnya hanya membersihkan asbak,” kenang ibu tiga anak ini.
Disiplin dan penghargaan adalah hal yang terus disampaikan kedua orang tuanya. “Kami sering diingatkan bila melakukan kesalahan,” katanya. Karena itu, nyaris seluruh anggota keluarga menyadari bila melalaikan tugas.
Anak yang “bermasalah” langsung dipanggil ke ruangan sang ayah. Bisa jadi, hal itu adalah suasana paling mendebarkan. “Akan tetapi usai diingatkan, kami diberi uang saku,” kata Ny Farida tersenyum. Sehingga, dipanggil ke ruangan sang ayah adalah hal yang dihindari namun akhirnya berubah suka cita. “Prinsipnya, kami diingatkan akan kewajiban,” katanya. “Namun ayah juga menghargai keinginan anak-anak untuk berubah, sehingga masih memberikan sedikit uang jajan,” sergahnya. “Uang yang diberikan juga sebagai upaya mencairkan suasana,” lanjutnya.
Orang tua Nyai Farida sangat menanamkan rasa tanggungjawab kepada anak-anaknya. Bahkan Farida remaja harus menjahit sendiri keperluan baju baru untuk keperluan hari raya seluruh keluarganya. “Paling tidak saya harus menyiapkan dua baju untuk mereka,” katanya.
Keharusan untuk mandiri adalah hal penting yang ditanamkan. Termasuk tidak melakukan aji mumpung saat sang ayah dipercaya sebagai pejabat negara. “Sama sekali kami tidak pernah merasakan fasilitas yang biasanya melekat kepada keluarga pejabat,” tandasnya.
Ia dan saudara lainnya tidak pernah memanfaatkan kunjungan kerja sang ayah saat ke luar negeri misalnya. “Yang ikut hanya ibu,” katanya. Sedangkan anak-anak hanya bisa mendengar cerita kunjungan ke sejumlah negara tersebut. “Pada saatnya, kalian akan sampai juga ke luar negeri,” tandas sang ayah.
Dan apa yang dikatakan sang ayah kesampaian juga. Negara pertama yang dikunjungi Nyai Farida adalah Amerika Serikat sembari mengunjungi si sulung yang tengah melangsungkan studi di negara Paman Sam.
Menjadi Ibu bagi Santri
Perkenalan dengan suami sebenarnya berkat kedekatan sang ibu mertua dengan keluarganya. Singkat cerita akhirnya mereka dipertemukan dan melangsungkan perjanjian agung. Dengan mengakhiri masa lajang, berarti mereka harus berjuang untuk bertahan hidup. Gus Sholah harus bekerja keras mencukupi kebutuhan keluarga selama berada di Jakarta. Sang istri tidak diperkenankan bekerja dan harus lebih fokus dengan tugas sebagai ibu rumah tangga.
Berkali-kali ibu Wahid Hasyim meminta agar Gus Sholah memberikan ijin istrinya untuk aktif di kepengurusan Muslimat NU. Namun dengan banyak pertimbangan, permintaan ibunda tidak diluluskan. “Namun demikian kesempatan itu akhirnya datang juga,” tandasnya. Karena telah mampu mengurus tugas keluarga, Gus Sholah memberikan ijin istrinya bekerja dan aktif di sejumlah kegiatan Muslimat NU.
Meskipun menggeluti dunia bisnis khususnya di dunia asuransi serta kegiatan kemasyarakatan, Nyai Farida tetap bisa menjaga diri. Ia menghindari bertemu nasabah usai Maghrib. Demikian juga dalam keseharian, tetap berusaha untuk memiliki wudlu. “Menjaga waktu dan dawamul wudlu membuat saya bisa melewati sejumlah aktifitas yang sarat tantangan,” ungkapnya.
Ibu Farida juga tetap menjadikan keluarga sebagai pusat perhatian. Mendampingi sang suami serta menjadi mitra diskusi dalam banyak hal adalah sesuatu yang tidak terhindarkan. Termasuk menerima sejumlah aktifitas yang mensyaratkan waktu dan tenaga seperti sebagai anggota Komnas HAM, salah seorang Ketua PBNU serta menjadi calon Wakil Presiden RI bersanding dengan Jendral (Purn) Wiranto pada tahun 2004.
Sebagai istri, Nyai Farida selalu menandaskan kepada suaminya untuk dapat menerima segala tantangan dengan suka cita. “Selama papa menjalankan tugas itu dengan senang hati, maka saya pasti akan mendukung,” tukasnya. Termasuk keputusan untuk menjadi Pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang.
Kini Nyai Farida banyak mencurahkan waktu dan perhatian kepada pesantren legendaris ini. Bagimana mengatur menu bagi ribuan santri yang sehat walaupun dari sisi pembiayaan sangat ringan, terus dilakukan. Demikian juga ia meminta untuk diberikan kesempatan bertemu dengan santri putra maupun putri. Awalnya ide ini dianggap kurang pantas untuk ibu pengasuh. “Para santri punya orang tua saat mereka di rumah,” katanya kepada pengurus. “Namun saat mereka di pesantren, saya adalah ibu mereka,” lanjutnya.
Dengan intensitas bertemu, banyak hal yang bisa dikomunikasikan. “Saya bisa menyampaikan pentingnya kebersihan serta sejumlah ide secara langsung kepada mereka,” tandasnya. Karena itu, banyak perubahan yang kini mengiringi Pesantren Tebuireng. Suasana lingkungan tampak asri dan sedap dipandang mata. Demikian juga menu makan santri lebih berfariatif dan terjangkau dengan tanpa menanggalkan nutrisi bagi perkembangan mereka.
Semuanya tidak lepas dari sentuhan ibu Nyai Farida. Sebuah kiprah yang layak ditauladani para aktifis perempuan pesantren yang lain. (S@if)