Ketika Si Penyembah Api Dapat Hidayah dan Berkah
Pada masa Malik bin Dinar, hidup seorang pemuda. Dahulu pemuda tersebut, seorang penyembah api. Namun setelah ia mendapat hidayah untuk masuk Islam, ia pun mengajak seluruh anak dan istrinya untuk ikut masuk Islam.
Suatu hari, usai mengikuti sebuah majelis yang dipimpin Malik bin Dinar di Kota Bashrah, ia pulang ke rumahnya yang berupa puing tua. Meski kehidupannya sangat miskin, ia bertekad tak akan menjual agama Islam yang telah dipeluknya demi harta.
“Pergilah ke pasar, carilah pekerjaan. Belilah makanan secukupnya untuk kita makan,” kata istrinya, sewaktu pagi.
“Baiklah,” kata pemuda itu.
Kemudian, ia bergegas pergi ke pasar, berharap mendapat sebuah pekerjaan yang halal. Namun, hari itu tidak ada seorang pun yang memberinya pekerjaan.
“Lebih baik aku bekerja untuk Allah saja,” kata pemuda tersebut, dalam hati.Ia pun pergi ke sebuah masjid. ia terus shalat hingga malam tiba. Lalu pulang dengan tangan hampa.
“Kamu tak membawa sesuatu?” tanya istrinya.“Hari ini, aku bekerja untuk Raja. Dia belum memberinya hari ini. Semoga saja esok diberi,” jawabnya.
Mereka melewatkan malam dengan rasa lapar. Hari berikutnya, ia belum juga mendapatkan pekerjaan, dan kembali pulang dengan tangan hampa. Hingga pada hari Jum’at, ia kembali ke pasar.
Namun, sayangnya ia belum jua mendapat pekerjaan. Ia pun pergi ke masjid. Setelah shalat dua rakaat, ia mencurahkan isi hatinya kepada Allah.
“Tuhanku! Pemukaku! Junjunganku! Engkau telah memuliakanku dengan Islam. Kau berikan aku keagungan Islam dam petunjuk terbaik. Atas nama kemuliaan agama yang telah kau berikan padaku dan dengan kemuliaan hari Jum’at yang agung, aku mohon tenangkan hatiku, karena sulitnya mencari nafkah untuk keluargaku. Berikanlah aku rizki yang tak terhingga. Demi Allah! aku malu kepada keluargaku. Aku takut berubah pikiran mereka tentang Islam,” pintanya.
Di saat yang sama, ketika pemuda itu shalat Jum’at. Saat anak istrinya tengah kelaparan. Pintu rumahnya diketuk seseorang. Rupanya, datang seorang lelaki yang membawa nampan emas yang ditutup dengan sapu tangan bersulam emas.
“Ambil nampan ini. katakan kepada suamimu. Ini upah kerjanya selama dua hari. Akan kutambah bila ia rajin bekerja. Apalagi pada hari Jum’at seperti ini. amal yang sedikit, pada hari ini di sisi Raja Yang Maha Perkasa artinya sangat besar sekali,” ucap sang lelaki tersebut.
Nampan tadi, tak disangka berisi 1000 dinar. Ia pungut 1 dinar untuk ditukarkan di tempat penukaran uang. Pemilik penukaran uang yang seorang Nasrani mengatakan uang tersebut bukan dinar biasa. Sebab, beratnya dua kali lipat dari dinar biasa.
“Dari mana kau dapatkan ini?” tanya Nasrani tersebut.
Setelah diceritakan kisah yang telah ia alami tadi, 1 dinar tadi ditukar dengan 100 dirham.Sementara itu, sepulang dari masjid, sang suami kembali dengan tangan hampa. Namun, di tengah jalan ia membawa beberapa jumput pasir dan dimasukkannya ke dalam sapu tangan.
“Bila nanti ditanya, kujawab saja isinya tepung,” gumamnya dalam hati.
Ketika masuk rumah, tercium bau makanan. Sambil keheranan, ia bertanya kepada istrinya, gerangan apa yang terjadi, bungkusan pasir ia taruh di samping pintu.Setelah diceritakan semuanya, sontak ia langsung sujud syukur kepada Allah.
“Apa yang kau bawa tadi?” tanya istrinya. Rupanya istrinya tahu, sang suami tadi membawa sesuatu.
“Ah, jangan kau tanyakan itu,” jawabnya.
Karena penasaran, bungkusan pasir diambil oleh istri. Namun apa yang terjadi, ternyata pasir tadi telah berubah menjadi tepung.
Kembali ia dan istrinya, bersujud kepada Allah. Atas keajaiban dan rizki yang telah diberikan. (Ajie Najmuddin)
Disarikan dari Kitab Al-Mawa’idhu al-‘Usfuriyyah