Menggagas Ekonomi Rahmatan lil ‘Alamin untuk Trenggalek

0
485
Muhammad Rahmatullah

Oleh:
Muhammad Rahmatullah
Trenggalek merupakan kota yang mempunyai Sumber daya alam lebih dibandingkan dengan kota-kota lainnya. Hasil bumi yang melimpah mulai dari singkong, cengkeh, durian dan lain-lain, begitu juga dengan pariwisata yang ada di Ternggalek, seperti Pantai Pasir Putih, Pantai Prigi, Pantai Pelang, Gua Lowo juga belum dimanfaatkan secara maksimal. Kekayaan hasil bumi Trenggalek seakan hanya dapat kita banggakan saja. Dalam panen buah durian misalnya, selama ini belum ada pemikiran kreatif dari masyarakat maupun pihak pemerintah untuk mengolah supaya mempunyai harga jual yang lebih tinggi. Baik masyarakat ataupun pemerintah terlalu dimanjakan dengan melimpahnya hasil bumi, mereka juga belum memikirkan jangka panjang bagaimana jika suatu saat lahan sudah menjadi sempit. Dampak dari pupuk kimia yang semakin hari bertambah, juga mengurangi tingkat kesuburan tanah, sementara penanggulangannya belum dipikirkan. Terkait hal ini tentu harus ada kerjasama yang baik antara masyarakat dan pemerintah.

Pembangunan pariwisata akhir-akhir ini juga menjadi perbincangan serius, Pantai Pasir Putih dan Pantai Prigi misalnya, pemerintah sepertinya tidak menangani dengan sunguh-sungguh. Penghasilan dari wisata-wisata tersebut tidak karuan arahnya, terbukti dengan pembangunan yang selama ini masih setengah-setengah, sehingga wisata tersebut tidak begitu menarik untuk dikunjungi. Penulis pikir keindahan alam Trenggalek lebih eksotis dari kota wisata Malang dan kota wisata lainnya. Dengan sedikit pengemasan kota, Malang mampu menarik wisatawan untuk berkunjung, bahkan seringkali dikunjungi oleh wisatawan asing. Inilah tanggung jawab kita bersama, sebagai bagian dari masyarakat Trenggalek.

Konsep Ekonomi Rahmatan lil ‘Alamin
Ekonomi merupakan kebutuhan dasar setiap manusia, jika kebutuhan ekonomi suatu masyarakat telah maju, maka ini juga dapat meningkatkan tingkat independensi dan meminimalisir ketergantungan terhadap pemerintah. Sebenarnya, konsep ekonomi rahmatan lil ‘alamin yang dimaksudkan disini, bukan sebagaimana konsep ekonomi Islam yang terkesan terdapat pembelaan terhadap agama. Ekonomi rahmatan lil ‘alamin lebih menekankan pada keseimbangan antara manusia dan alam. Bagaimana sebisa mungkin menciptakan perekonomian yang memanusiakan manusia dan mengalamkan alam. Jadi manusia dituntut tidak hanya mengeksploitasi alam secara besar-besaran, tetapi juga menjaga alam demi keberlangsungan hidup kedepan. Selama ini nelayan kita pun demikian, mereka dengan sesuka hati mengambil ikan di lautan, sementara mereka tidak memberi perhatian sedikitpun untuk kesehatan laut kita.

Kesimbangan antara masyarakat dan pemerintah juga sangat penting, sudah menjadi common sense (pemahaman umum) bahwa wakil rakyat selama ini tidak secara benar menangani ketertinggalan ekonomi Trenggalek, mereka justru lebih lebih asyik menikmati tunjangannya, bahkan seringkali mereka membuat progam atas nama masyarakat, akan tetapi berapa banyak yang sampai ke masyarakat. padahal seharusnya wakil rakyat ditempatkan pada posisi terendah. Artinya wakil rakyat adalah pelayan masyarakat, menerima aspirasi dan menjalankannya. Akibatnya, kepercayaan masyarakat kepada wakil rakyat ini semakin berkurang.
Akan tetapi, nampaknya juga kurang bijak jika kita hanya membebankan permasalahan ini kepada pemerintah saja. Untuk memperbaiki kemajuan Trenggalek kedepan, masyarakat juga harus mempunyai idealis tinggi untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, money politic misalnya, meskipun dalam UU Pemilu sudah dilarang, tetapi praktek ini masih dilakukan oleh para calon wakil rakyat dan masyarakat dalam hal ini cenderung memilih para calon yang memberikan uang, kemudian mengabaikan apakah mereka mampu membawa aspirasi masyarakat atau justru hanya akan memanfaatkannya. Untuk menciptakan ekonomi masyarakat Trenggalek yang lebih maju, ada beberapa komponen penting yang harus kita perhatikan, diantaranya: (1) pemerintahan yang bersih, benar-benar memperhatikan dan membela kepentingan masyarakat (2) ide kreatif masyarakat, selain untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dari masing-masing masyarakat (termasuk memikirkan hambatan-hambatannya), ide kreatif ini juga penting untuk mengawal progam-progam dan memberi kritik pada pemerintah (3) kesadaran masyarakat untuk menjaga sumber daya alam, supaya tercipta keseimbangan antara manusia dan alam, ini demi keberlangsungan ekonomi rakyat Trenggalek jangka panjang (4) kerja sama yang baik antara pemerintah dan masyarakat. Jadi, dengan terrciptanya ekonomi rahmatan lil ‘alamin ini, penulis pikir kedepan Trenggalek akan mampu bersaing dengan kota-kota lainnya, baik dari pariwisata, pertanian, perdagangan dan lain-lain.

Pemerintahan yang Bersih
Dalam suatu masyarakat, pemerintah mempunyai peranan yang dapat menentukan nasib ratusan bahkan jutaan manusia. Secara formal pemerintah mempunyai hak untuk melaksanakan kekuasaan tertinggi, jika perlu, pemerintah dapat melakukannya dengan paksaan. Ia juga berhak membuat kerangka pokok, peraturan-peraturan dan hukuman yang berfungsi sebagai landasan untuk kesejahteraan masyarakat. Mereka juga berkewajiban untuk mengawasi, mengontrol serta mengendalikannya. Dalam pemerintahan demokratis, pemerintah dituntut untuk mengikutsertakan masyarakat dalam merumuskan tujuan-tujuan bersama. Di dalam pemerintahan saat ini, partisipasi masyarakat diwakili oleh DPR. Namun permasalahan mendasarnya adalah seberapa banyak program-program DPR kita yang mengusung kepentingan rakyat.
Kenyataannya, kepentingan rakyat itu hanya akan diperjuangkan jika memberi keuntungan kepada mereka (DPR, termasuk pemerintah dan politisi kita) dan sejauh mengalir dalam dalam bentuk yang memungkinkan permainan mereka. Partai politik yang seharusnya menjadi instrument demokrasi, justru menjadi masalah tersendiri yang harus segera diselesaikan, birokrat-birokrat yang berangkat dari partai justru hanya mengusung kepentingan kelompok dan pribadi mereka. Indikasinya, masih maraknya praktek korupsi terstruktur. Praktek ini sangat terselubung sehingga sangat sulit untuk dideteksi. Sudah sering muncul dipermukaan, bagaimana praktek-praktek semacam ini biasanya hanya menggunakan symbol tertentu dan hanya kelompoknya (yang masuk dalam struktur itu) yang mengetahui secara persis. Mengapa? Logikanya, setidaknya hal ini dipicu oleh dua factor. Pertama, untuk naik ke panggung pemerintah, biasanya mereka menggunakan administrasi tertentu semacam pelicin atau juga money politics (bagi calon DPR, Bupati dan lain-lain). Kedua, biasanya mereka mewakili parpol tertentu, jadi jika suatu saat naik ke panggung pemerintahan, mereka harus melakukan balas budi. Dan ini sangat masuk akal karena partai-partai politik membutuhkan dana besar untuk kampanye dan pencitraan. Lalu politik mirip dengan pasar yang hanya dikuasai oleh kaum berduit, sehingga mengabaikan kesejahteraan masyarakat.

Seharusnya, masyarakat tidak hanya berparisipasi dalam pembahasn kebijakan public, terlebih untuk penguatan institusi-institusi sosial agar lebih adil. Supaya orientasi ke akses ekonomi tidak menjadi liar, dalam politik demokratis harus menjamin semakin luasnya pertisipasi masyarakat dan melibatkannya dalam mengontrol keputusan. Masyarakat pun juga harus memiliki alternative riil dalam hal politik dan ekonomi untuk menghindari agar tidak mudah dieksploitasi dan tidak bergantung pada pemerintah, hanya saja permasalahannya adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara pola partisipasi dan pemberdayaan institusi-institusi sosial tersebut. Padahal dalam pemberdayaan tersebut membutuhkan uang. Maka pemerintah dituntut menyisihkan anggaran untuk pelaksanaannya. Tetapi permasalahan ini juga harus diimbangi oleh idealisme masyarakat (idealisme yang dimaksud adalah tidak hanya sekedar mementingkan materi/uang) sehingga benar-benar bertujuan untuk kesejahteraan bukan berbasis program atas nama (program manipulasi yang mengatasnamakan masyarakat dan tujuannya hanya menurunkan anggaran belaka).

Pemerintahan demokrasi yang efektif tergantung pada partisipasi yang terbuka dan kompetitif. Kualitas partisipasi terstruktur dalam politik dan ekonomi dimana institusi-institusi yang sah dan efektif melindungi serta mengendalikan kegiatan-kegiatan di arena tersebut dengan melalui penentuan batas-batas dan pintu aksesnya. Dalam konteks ini, korupsi merupakan kejahatan politik dan ekonomi yang belum terselesaikan, maka seharusnya perbaikan sector publik tidak hanya menekankan pada pemerintahan yang dipandang baik, lebih mendasar lagi pemerintah harus berfikir secara universal dalam memperbaiki keadaan politik dan ekonomi. Artinya, seluruh aspek harus disentuh, baik moralitas pemangku jabatan, masyarakat maupun institusi-institusi yang ada. Korupsi harus dilihat bukan hanya dari sudut pandang hukum, tetapi harus juga mempertimbangkan norma sosial dan budaya. Dengan standard ini, pemerintah benar-benar mempertaruhkan nilai-nilai kepemimpinannya, bahwa pemerintah yang bersih adalah pemerintah yang bebas dari korupsi, mengedepankan kepentingan rakyat, bekerja semata-mata demi kesejahteraan rakyat dan sebagainya. Sehingga korupsi tidak selalu dipahami sebagai penyalahgunaan kepercayaan masyarakat dan masalah hukum saja, akan tetapi sebagai kejahatan yang mendzalimi jutaan manusia.

Mengapa demikian? Coba sejanak kita berfikir ulang. Dampak korupsi ini dalam jangka panjang akan menunda dan menghambat perkembangan perekonomian dan perpolitikan kita. Misalnya, uang “sogok” yang dibayarkan kepada birokrat ternyata tidak akan memecahkan kemacetan administrasi, tetapi justru menular ke pejabat lain. Korupsi seperti ini memberitahukan kepada pejabat lain bahwa dengan memperlambat administrasi akan mendapatkan uang. Korupsi yang mempengaruhi pengambilan keputusan menyebabkan niali-nilai demokratis menjadi tidak relevan. Kesempatan yang seharusnya untuk orang-orang yang membutuhkan, akhirnya di sadap oleh “kepentingan perut” segelintir orang. Yang terjadi kemudian, korupsi semacam ini menjadi budaya yang terpatri dan seakan menjadi tunjangan tak terduga bagi birokrat. Dengan demikian, tujuan-tujuan kesejahteraan terabaikan.

Kecurigaan kita kemudian, mungkin saja para birokrat dengan sengaja menyembunyikan akses-akses yang seharusnya mudah bagi rakyat, tetapi tidak disosialisasikan secara benar demi kepentingan jangka pendek mereka (bisa sogok atau mempertahankan kekuasaan). Dalam pengurusan surat-surat di pemerintahan misalnya, sudah menjadi hal yang lumprah, jika kita menyelipkan amplop yang tipis, pengurusan surat-surat tersebut menjadi tersendat lama, bahkan harus berulang kali menanyakan kepada pihak birokrat, padahal semua itu telah menjadi tugas mereka sebagai pelayan masyarakat. dan hal ini seringkali terjadi di masyarakat kita, terutama di pedesaan. Masyarakat yang kurang tahu procedural dalam mengurus surat-surat itu akhirnya menjadi lahan tunjangan tak terduga mereka.

Tidak adanya transparansi dalam maslaha ini, merupakan penghambat bagi perkembangan politik dan ekonomi. Antara kepentingan publik dan individu menjadi kabur. Yang seharusnya menjadi hak masyarakat, nyatanya juga sangat sedikit yang dapat dinikmati. Hasil pendapatan pariwisata kita misalnya, kemana uang tersebut?, jika untuk pembangunan, pembangunan yang mana?, jika untuk kesejahteraan masyarakat, mana yang diperdayakan oleh pemerintah?. Disatu sisi, kontrak dan perjanjian orang-orang yang korup itu menempatkan orang berduit di pihak terdepan dan tanpa ada kontrol. Akhirnya rakyat kecil terabaikan dan semakin tertindas. Padahal seharusnya, jika ada pengelolaan yang baik oleh pemerintah, keeksotisan alam kita dapat meningkatkan ekonomi masyarakat, setidaknya untuk masyarakat sekitar.
Maka, untuk menciptakan pemerintahan yang bersih harus mengedepankan moralitas dalam memimpin. Artinya para birokrat harus menyadari bahwa keadilan dan kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan utama mereka, bukan kepentingan kelompok atau pribadi. Sehingga mereka mampu melepaskan simpul-simpul habitus yang menghambat tujuan utama, termasuk korupsi dan manipulasi publik. Yang dapat dilakukan untuk mencapai pemerintahan yang bersih ini antara lain; Pertama, merubah pola pikir korup menjadi kebiasaan yang jujur dan kerja keras, ia juga harus menjadi pengawas bagi pejabat yang lain untuk bersikap demikian. Kedua, menciptakan aturan atau hukum yang adil dan tidak memihak dan ketiga, mengedepankan kepentingan rakyat dan tidak berambisi untuk berkuasa, birokrat harus menempatkan masyarakat setara dengan mereka (yang saling membutuhkan) sebagai bagian dari masyarakat secara umum.

Masyarakat Sebagai Pengontrol Pemerintah
Dalam era saat ini, kebanyakan masyarakat terpesona oleh dua hasrat yang saling bertentangan, yaitu ingin dipimpin dan sekaligus ingin tetap bebas. Melalui dua hasrat tersebut masyarakat dapat menghibur diri karena seakan berada dalam posisi terpimpin dan menentukan pemimpinnya sendiri. Namun pada akhirnya masyarakat justru terjerumus dalam ketergantungan terhadap pemerintah. Sementara menggaungkan kebebasan adalah bagian dari ideologi kapitalisme baru, seakan-akan masyarakat bebas menentukan pilihan pemimpinnya, padahal kebebasan tersebut sengaja diciptakan untuk memuaskan hasrat masyarakat. bentuk kebebasan itu pada dasarnya sudah di kondisikan oleh sistem atau situasi. Budaya inilah yang kemudian menyuburkan konsumerisme dalam masyarakat kita, sehingga, akibatnya masyarakat tidak terlalu tertarik pada politik, daya kritis masyarakat sebagai control pemerintah menurun. Melemahnya solidaritas disertai dengan meredupnya norma-norma tradisional juga akibat dari hal ini, mereka justru terjebak pada persaingan kelas sosial yang cenderung individualis. Misalnya, dengan memakai baju merek tertentu atau mengendarai mobil tertentu, orang sudah merasa menjadi bagian kelas sosial tertentu. Sehingga terjadi ketegangan di dalam masyarakat, cara berfikirnya adalah persaingan, bagaimana menjadi kelas sosial yang tinggi, bukan tujuan kesejahteraan bersama. Dengan demikan, logika konsumsi sosial masyarakat bukan pada nilai guna, tetapi pada manipulasi makna sosialnya.

Lemahnya kontrol masyarakat terhadap pemerintah secara tidak langsung telah memberikan kesempatan pejabat korup untuk memperlancar aksinya. Artinya ketika masyarakat terlalu pesimis dengan pemerintah kemudian mengabaikannya ini akan berakibat fatal pada sistem politik dan ekonomi kita. Disatu sisi, permasalahan korupsi memang sangat sulit untuk dipecahkan, karena korupsi ini telah menjelma menjadi kejahatan terstruktur. Tetapi sikap pesimistis bukanlah solusi yang tepat untuk menyelesaikannya. Jalan satu-satunya adalah dengan merubah cara pandang kita terhadap pemerintah dan merubah sistem yang korup (mengawasi, mengontrol dan melakukan kritik). Sikap pesimis masyarakat ini biasanya juga mengakibatkan dendam politik, masyarakat semakin tidak percaya dengan kebijakan-kebijakan pemerintah akibatnya, politik dan ekonomi kita tidak stabil.

Dalam banyak kasus, dendam politik masyarakat juga diekspresikan dalam kejahatan-kejahatan publik. Masyarakat cenderung berfikir instan untuk mencapai hasrat mereka, termasuk memberi “sogok” kepada pemerintah agar urusan mereka masuk pada antrean pertama. Orang-orang (oknum) tidak lagi berfikir untuk kesejahteraan bersama. Kelangkaan pupuk di kalangan petani misalnya, seakan-akan ini sengaja diciptakan oleh mereka (oknum) untuk menaikkan harga pupuk. Bahkan subsidi dari pemerintah yang seharusnya tersalurkan keseluruhan, tidak direalisaikan secara benar karena di “sunat” oleh mereka. Akibatnya, rakyat kecil menjadi tidak berdaya. Rakyat kecil pun juga demikian, di pasar-pasar tradisional seringkali masih terjadi praktek mengurangi timbangan, bahkan tidak jarang, para petani menaburkan obat tertentu pada hasil panenannya agar terkesan menarik sebelum menjualnya, padahal jika mereka menyadari hal ini, praktek-praktek tersebut justru memberi negatif pada perekonomian mereka jangka panjang. Maka untuk menjadi agen of control bagi pemerintah, masyarakat pun juga harus berbenah dari budaya korupsi dan manipulasi tersebut. Artinya, masyarakat harus mempunyai idealisme yang tinggi untuk bersikap bersih, jika mau menciptakan pemerintahan yang bersih.

Masyarakat Kreatif dan Pemeliharaan SDA
Setiap pemerintahan akan dikatakan legitim jika dapat mengatasi keterasingan ekonomi. Maka tidak heran (jika kita berbicara tentang Indonesia secara keseluruhan), gambar pak Harto seringkali menjadi pemandangan yang menggelitik. “pie kabare le?, jek enak jamanku to?”. Artinya, masyarakat selalu merindukan suasana pemerintahan yang dapat mengatasi masalah ekonomi bersama. Akan tetapi hal ini sekaligus menunjukkan mentalitas masyarakat kita yang belum bisa mandiri dan selalu bergantung pada pemerintah. Masyarakat hampir tidak mempunyai inisiatif untuk mengatasi permasalahan ekonominya. Padahal jika kreatifitas masyarakat kita tinggi, secara langsung mereka akan mampu terbebas dari himpitan ekonomi tanpa menggantungkan pemerintah. Hasil laut (ikan) saja misalnya, selama ini belum ada yang berinisiatif untuk mengolahnya sendiri (walaupun dalam skala kecil) agar mempunyai daya jual yang lebih tinggi, masyarakat lebih suka menjualnya langsung ke orang atau pabrik, walaupun hasilnya sedikit. Untuk masyarakat sekitar pantai sekalipun, belum ada produk-produk olahan lokal yang mereka tawarkan, misalnya, bakso ikan laut, tahu tuna dan sebagainya. Untuk membangkitkan kreatifitas masyarakat memang tidak mudah, karena dipengaruhi oleh lingkungan, sosial bahkan pendidikan dan pengalaman. Namun daya kreatifitas sebenarnya juga dapat digerakkan oleh beberapa orang yang telah mempunyai kesadaran akan hal itu. Jika kreatifitas masyarakat kita belum terbangun, maka itu dapat menjadi alternatif yang solutif. Hal ini sekaligus menjadi bagian tugas bagi orang yang berpendidikan.
Jadi, pendidikan tidak hanya dimanfaatkan untuk kepentingan jangka pendek. Akibat dari kebobrokan sistem pemerintah dan lemahnya ekonomi kita, masyarakat cenderung berfikir pragmatis. Pendidikan tidak dipahami sebagai proses penyadaran, akan tetapi justru digunakan oleh mereka untuk mendapatkan pekerjaan. Akhirnya masyarakat terdidik kita hanya terfokus pada pekerjaan-pekerjaan tertentu, seperti PNS, hakim, dokter dan sebagainya (yang menurut mereka mudah menghasilkan uang). Bagi orang-orang yang berfikir seperti ini, hanya terdapat dua kemungkinan, yaitu mereka tidak belajar secara serius karena focus utama mereka adalah pekerjaan dan jika mereka serius dalam belajar, sikapnya akan cenderung individual serta menganggap rendah pekerjaan-pekerjaan yang menurutnya tidak terlalu menguntungkan.

Logika jangka pendek seperti itu akan berdampak luar biasa pada cara berfikir masyarakat kita, jika sudah terpatri di benak mereka, maka akan mengakibatkan logika picik, yaitu dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Sebagaimana yang masih ada di masyarakat kita, mereka seringkali melakukan pengundulan-penggundulan hutan hanya untuk mengolah lahan, sementara mereka tidak menyadari dampak perbuatannya tersebut. Untungnya Trenggalek masih memiliki simpanan hutan yang cukup luas, sehingga kita belum terlalu merasakan dampaknya. Masyarakat sekitaran pantai kita juga demikian, selama ini yang ada hanyalah eksploitasi hasil laut. Dengan semakin canggihnya teknologi, pelaut kita semakin piwai menangkap ikan dalam jumlah besar. Pelaut-pelaut kita seringkali membinasakan spesies ikan-ikan besar. Anjing laut dan penyu ditangkapi serampangan. Terumbu karang dirusak untuk dibuat cenderamata. Nelayan bahkan sering menangkap ikan yang berharga mahal, seperti kerapu. Padahal, ikan tersebut merupakan predator yang sangat dibutuhkan agar rantai makanan tetap berlangsung. Bila predator menghilang, rantai makanan akan terganggu. Secara tidak sadar, kapal-kapal pelaut kita juga meningggalkan sisa minyak yang dapat mencemari lingkungan laut. Minyak dapat menghilangkan daya apung ikan-ikan dan binatang laut sehingga mereka akan mati. Jadi kreatifitas masyarakat tidak hanya terfokus pada bagaimana mengolah hasil SDA saja, akan tetapi juga harus diimbangi dengan solusi untuk menjaganya.

Posisi Tokoh Agama dalam Ekonomi Rahmatan Lil ‘Alamin
Tokoh agama memiliki peran strategis sebagai agen perubahan sosial atau pembangunan, baik ekonomi maupun sistem pemerintah. Secara historis, kita dapat menemukan teladan-teladan tokoh agama yang melakukan perombakan total di masyarakatnya. Sebagai seorang muslim, saya akan memberi contoh bagaimana nabi Muhammad merubah tatanan sosial Arab kala itu. Mungkin tidak banyak yang melirik bagaimana perjuangan nabi Muhammad melakukan perubahan dalam masyarakat, saat ini kebanyakan orang Islam hanya melihat bagaimana dia (Muhammad) mempersiapkan proses pertemuan dengan Tuhannya. Sehingga mereka terlarut pada hal itu dan mengabaikan dimensi-dimensi perjuangan lain yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad.

Semenjak ia diutus menjadi nabi, wahyu pertama kali yang ia terima adalah surat al-Alaq: “Iqro’ bismirobikalladzi kholak”. Kebanyakan para ulama mengartikan “iqro’” dengan membaca teks. Pandangan lain dari Quraish Sihab menyatakan bahwa ayat tersebut sama sekali tidak menunjukkan objek bacaan, objeknya lebih bersifat umum, dapat diartikan membaca, menelaah, menyampaikan dan sebagainya. sebelum kita membahas lebih jauh tentang hal ini, alangkah lebih baik jika kita melihat motif nabi Muhammad untuk berkalwat di gua Hira’. Secara historis, Muhammad merasa resah dengan situasi masyarakat Arab kala itu yang diwarnai dengan penindasan dan ketidak adilan yang dilakukan oleh pemuka-pemuka suku Arab. Moralitas orang-orang Arab kala itu sangat “bobrok”, minum-minuman keras, perjudian dan sebagainya, bahkan perempuan saat itu hanya menjadi pemuas seks saja. Inilah kemungkinan besar yang dirisaukan Nabi Muhammad sebelum melakukan kalwatnya. Maka, kata “iqro’” nampaknya lebih tepat diartikan dengan membaca realitas masyarakat Arab tersebut. Quraish Sihab menambahkannya dengan memulainya, ia juga menyatakan, karena sifatnya umum, maka yang dibaca adalah bacaan suci yang bersumber dari tuhan maupun bukan, baik ia menyangkut ayat-ayat yang tertulis maupun tidak tertulis. Artinya misi kenabian Muhammad, selain membangun moralitas masyarakat adalah menciptakan keadilan, meletakkan asas-asas politik, ekonomi dan sosial.

Secara historis, Nabi Muhammad telah merubah Yasrib yang awalnya selalu diwarnai dengan ketegangan antar suku, tindakan curang dan manipulasi publik menjadi kota yang terbilang maju pada saat itu. Pertama-tama ia mengubah nama kota Yasrib menjadi “Madinah al-Munawarah” atau “Madinah al-Rasul”, kemudian ia meletakkan dasar-dasar politik, ekonomi dan sosial dengan menjadikan masjid Nabawi tidak hanya sebagai sarana ritual, tetapi juga menjadi sarana penting untuk mempersatukan masyarakat, merundingkan masalah-masalah yang dihadapi dan menjadi pusat kegiatan pemerintahan. Selain itu, Nabi Muhammad juga mempersatukan masyarakat, baik yang beragama Islam maupun non Islam. Dalam misi politiknya, ia mengajarkan untuk saling membantu kepada masyarakat, baik dalam permasalahan ekonomi, sosial maupun politik.
Inilah sebenarnya yang harus disadari oleh tokoh agama kita. Jadi tokoh agama tidak hanya bertugas untuk menyampaikan pelajaran-pelajaran agama saja, lebih esensial mereka harus merubah masyarakat (baik ekonomi, sosial maupun politik) sesuai dengan nilai-nilai agama. Secara objektif, saya menulis ini bukan semata-mata karena saya sebagai seorang Muslim, akan tetapi lebih jauh, bahwa hal ini saya tulis untuk kepentingan bersama atau mungkin karena latar belakang saya, sehingga lebih poluler dengan istilah-istilah Islam.
Tokoh agama kita seringkali mengabaikan perannya sebagai pemimpin sosial bagi masyarakat, kebanyakan mereka lebih memilih menjadi seorang tokoh yang dipuja-puja dengan menyampaikan ayat-ayat Tuhan. Tetapi kenyataannya, seringkali tokoh agama kita justru menggunakan firman Tuhan untuk melegitimasi kepentingannya. Betapa banyak tokoh agama kita yang masuk dalam sistem politik, tugasnya sebagai pengontrol pejabat-pejabat korup pun belum pernah terasa, mereka justru terjebak dalam sistem manipulatif tersebut, padahal seharusnya mereka dapat menjadi alternatif solusi dan alternative perubahan ketika pemerintah telah dikuasai oleh pejabat-pejabat korup. Disisi lain, para tokoh agama bersih yang sudah “muak” dengan pejabat-pejabat korup tersebut justru menjauh dari perpolitikan, tetapi kebanyakan mereka juga tidak membuat gerakan-gerakan sosial untuk melakukan perubahan. Maka seharusnya para tokoh agama menyadari hal ini, sehingga selain menyampaikan pesan-pesan spiritual, mereka juga harus menyampaikan pesan-pesan sosial. Dengan demikian, tokoh agama harus dipahami sebagai agen perubahan, baik spiritual, ekonomi, politik maupun sosial.

Konklusi: Pemerintah = Masyarakat
Pada akhirnya kita mengetahui bahwa permasalahan dasar kita saat ini adalah moralitas, akan tetapi kita tidak cukup hanya sekedar menyadari hal tersebut. Secara fundamental kita juga berkewajiban untuk merubahnya. Dalam hal perpolitikan, sebersih-bersih apapun suatu pemerintahan, hampir selalu di ikuti oleh pejab at-pejabat korup yang menjadi “borok” suatu pemerintahan tersebut. Kemudian pertanyaannya, siapakah yang bertugas membersihkan “borok” tersebut?. Sebagaimana kita ketahui, tidak mungkin ada istilah pejabat jika tidak ada masyarakat. Artinya, suatu pemerintahan tidak mungkin ada jika tanpa rakyat. Dan sebenarnya dalam sistem pemerintahan, masayarakat dan pemerintah adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan, maka, begitu juga dengan jawaban pertanyaan tersebut. Permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam sistem pemerintahan merupakan tugas bagi semua (pemerintah dan masyarakat).
Sebagaimana yang saya tulis sebelumnya, setiap elemen dari pemerintahan harus menjalankan tugas masing-masing dan saling mengevaluasi untuk mencapai kesejahteraan bersama. Sehingga tercipta keselarasan dan suasana harmonis antara pemerintah dan masyarakat. Dengan demikian kita dapat membangun pemerintahan yang bersih dan perekomian yang maju. Inilah sebenarnya yang saya maksud dengan ekonomi “rahmatan lil ‘alamin”, yaitu dengan perubahan moralitas, baik moralitas spiritual ataupun moralitas spiritual. Pemerintahan yang bersih juga harus diimbangi dengan masyarakat yang bersih. Artinya, jika kita menginginkan perubahan ekonomi, maka harus dimulai dari diri kita masing-masing. Keadilan hukum dan terciptanya politik bersih akan sangat membantu kemajuan ekonomi masyarakat. Begitu juga dengan masyarakat, dengan menjaga kualitas alam, patuh pada hukum, membantu orang yang membutuhkan, bersikap jujur dalam segala hal dan sebagainya juga merupakan tugas mereka untuk mengindari keterasingan ekonomi mereka.
***

Biodata Penulis
Penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Ampel jurusan Filsafat Agama. Lahir di Trenggalek pada 02 April 1992. Sejak mahasiswa penulis aktif dalam beberapa organisasi, baik organisasi kemahasiswaan maupun organisasi kemasyarakatan, diantara beberapa organisasi yang diikuti seperti sebagai penggagas berdirinya Himpunan Mahasiswa Trenggalek (HMM), ketua umum Forum Mahasiswa Kajian Keislaman (FMSKI) selama dua periode (2010-2011 dan 2011-2012), Himpunan Mahasiswa Jurusan SPI dalam Departemen Intelektual dan Penelitian, Jam’iatul Huffadz Mahasiswa di Surabaya (JHMS) pada Departemen Pendidikan, Kenduri Agung Pengabdi Lingkungan (KAPAL) Jawa Timur sebagai anggota Da’i KAPAL JATIM dan sejak berdirinya Komunitas Baca Rakyat, penulis didaulat sebagai Bendahara umum. Penulis dapat dihubungi di nomor kontak: 085730830556 atau email: muhammadrahmatullah519@gmail.com.

Tinggalkan Balasan