Benarkah Nafkah Adalah “Uang Jajan” Bagi Istri ??

0
415

Benarkah Nafkah Adalah “Uang Jajan” Bagi Istri ??

Sebuah tulisan di blog muslimah menyatakan,

“kalau kita kembalikan kepada aturan asalnya, yang namanya nafkah itu lebih merupakan ‘gaji’ atau honor dari seorang suami kepada istrinya. Sebagaimana ‘uang jajan’ yang diberikan oleh seorang ayah kepada anaknya.

Adapun kebutuhan rumah tangga, baik untuk makan, pakaian, rumah, listrik, air, sampah dan semuanya, sebenarnya di luar dari nafkah suami kepada istri. Kewajiban mengeluarkan semua biaya itu bukan kewajiban istri, melainkan kewajiban suami”

Inti dari tulisan tersebut menyatakan bahwa yang disebut nafkah dari suami kepada istri adalah pemberian suami di luar pemenuhan kebutuhan rumah, makan, pakaian dan turunannya yang bebas digunakan istri sesuai keinginannya. Dan menurut tulisan ini, nafkah dari suami adalah sebagaimana uang jajan dari orang tua kepada anaknya.

Sanggahan untuk pernyataan ini, terdiri dari beberapa poin:

1. Nafkah suami kepada istri adalah kewajiban, dan berdosa jika tidak menunaikannya

Banyak dalil yang menunjukkan wajibnya seorang suami memberi nafkah kepada istri. Allah Ta’ala berfirman:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” (QS. An Nisa: 34).

Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat ‘dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka‘: “yaitu berupa mahar, nafkah dan tanggungan yang Allah wajibkan kepada para lelaki untuk ditunaikan terhadap istri mereka” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/292).

Allah Ta’ala juga berfirman:

لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلاَّ مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْراً .

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan” (QS. Ath Thalaq: 7).

Syaikh Muhammad bin Muhammad Mukhtar Asy Syanqithi mengatakan, “Para ulama menyatakan, dalam ayat yang mulia ini, ada 2 perkara penting:

  1. Wajibnya nafkah, yaitu dalam kalimat  لِيُنفِقْ. Sehingga memberi nafkah pada istri hukumnya wajib.
  2. Nafkah dikaitkan dengan keadaan si suami.  Jika suami adalah orang kaya, sesuai dengan apa yang Allah karuniakan baginya dari kekayaannya. Jika suami miskin, maka semampunya sesuai dengan apa yang Allah berikan padanya dalam kondisi miskin tersebut”

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

كفى بًالمرء إثما أن يضيع من يقوت

cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya” (HR. Abu Daud 1692, Ibnu Hibban 4240, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

Maka wajib hukumnya seorang suami memberi nafkah kepada istrinya dan keluarganya, dan bila itu tidak dilaksanakan maka ia berdosa.

Dari sini bisa kita ambil faidah, bahwa penyataan “nafkah dari suami adalah sebagaimana uang jajan” memiliki konsekuensi bahwa suami yang tidak memberikan istrinya “uang jajan” berarti ia belum memberikan nafkah kepada istri, belum menunaikan kewajibannya dan ia berdosa. Tentu ini adalah konsekuensi yang berat jika tidak didukung oleh dalil syar’i.

2. Definisi nafkah istri secara syar’i adalah kebutuhan pokok dan umumnya berupa quut (makanan pokok), pakaian, tempat tinggal dan turunan-turunannya

Setelah mengetahui wajibnya nafkah suami kepada istri, kita telaah apa yang dimaksud nafkah. Nafkah atau an nafaqah secara bahasa artinya pengeluaran. Dalam kitab Al Fiqhul Muyassar (1/337) dijelaskan,

النفقة لغة: مأخوذة من الإنفاق، وهو في الأصل بمعنى الإخراج والنفاد، ولا يستعمل الإنفاق إلا في الخير

“An Nafaqah secara bahasa diambil dari dari kata al infaq, yang pada dasarnya bermakna: pengeluaran. Dan kata al infaq ini tidak digunakan kecuali dalam hal yang baik”.

Maka semua jenis pengeluaran harta itu secara bahasa dapat disebut infaqatau nafaqah, termasuk pula pengeluaran harta seorang suami untuk istrinya.

Sedangkan, makna nafaqah secara istilah (dan ini yang kita bahas), para ulama mendefinisikan sebagai berikut. Dalam Majma’ Al Anhar (1/484), kitab fiqih Hanafi, disebutkan definisi nafaqah:

مَا يَتَوَقَّفُ عَلَيْهِ بَقَاءُ شَيْءٍ مِنْ نَحْوِ مَأْكُولٍ وَمَلْبُوسٍ وَسُكْنَى

“sesuatu yang keberlangsungan sesuatu ditegakkan di atasnya, semisal makanan, pakaian dan tempat tinggal”

Dalam Fathul Qadir Ibnu Hammam (4/287) disebutkan juga definisi nafaqah,

الْإِدْرَارُ عَلَى الشَّيْءِ بِمَا بِهِ بَقَاؤُهُ

“menyediakan untuk sesuatu yang bisa membuatnya tetap ada dan berlangsung”.

Dalam Ad Durr Al Mukhtar, kitab fiqih Syafi’i, disebutkan:

هِيَ الطَّعَامُ وَالْكُسْوَةُ وَالسُّكْنَى

“nafaqah adalah makanan, pakaian dan tempat tinggal” (dinukil dari Ar Raddul Mukhtar, 3/572).

Dalam Al Fiqhul Muyassar (1/337) juga disebutkan:

وشرعاً: كفاية من يَمُونُه بالمعروف قوتاً، وكسوة، ومسكناً، وتوابعها

“secara syar’i, nafaqah artinya memberikan kecukupan kepada orang yang menjadi tanggungannya dengan ma’ruf berupa quut (makanan pokok), pakaian, tempat tinggal dan turunan-turunan dari tiga hal tersebut”

Jika kita telaah perkataan para ulama, maka kita akan dapati mereka mendefinisikan bahwa nafkah itu tidak lepas dari 2 hal:

  1. Nafkah adalah sesuatu yang membuat pihak yang diberi nafkah tetap eksis. Maka nafkah untuk istri adalah memberikan sesuatu (sebab) yang membuat istri tetap hidup, tetap sehat dan tergaja sebagaimana mestinya manusia. Dengan kata lain, nafkah bisa kita sebut dengan kebutuhan primer.
  2. Nafkah pada umumnya berupa tiga hal: makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Yang tiga hal ini berdasarikan dalil syar’i dan juga disepakati setiap orang yang berakal merupakan kebutuhan primer manusia.

Maka, memaknai nafkah sebagai “uang jajan” sama sekali tidak sesuai dengan definisi nafkah yang disebutkan para ulama. Karena “uang jajan” bukanlah kebutuhan primer.

3. Batasan nafkah diperselisihkan ulama, namun belum diketahui adalah ulama yang menyebutkan “uang jajan” sebagai bentuk dari nafkah

Telah disebutkan bahwa pada umumnya para ulama menyebutkan nafkah mencakup tiga hal: makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Abu Ishaq Al Hambali dalam Al Mubdi’ ketika menjelaskan nafkah beliau berkata:

فلها عليه جميع حاجتها من مأكول ومشروب وملبوس ( ومسكنها )

“maka wajib bagi suami untuk memenuhi semua kebutuhan istrinya berupa makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal”

Dan inilah yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’i.

1. Nafkah makanan & 2. Nafkah pakaian

Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

ولهنَّ عليكم رزقُهن وكسوتُهنَّ بالمعروفِ

wajib bagi kalian (para suami) memberikan rizki (makanan) dan pakaian dengan ma’ruf kepada mereka (para istri)” (HR. Muslim 1218).

Juga hadits yang diriwayatkan dari Mu’awiyah Al Qusyairi:

قلت: يا رسول الله! ما حقُّ زوجة أحدِنا عليه؟ قال: أن تُطعِمَها إِذا طَعِمْت، وتَكْسُوَها إِذا اكتسيت، ولا تضربَ الوجه، ولا تُقَبِّحَ، ولا تهجرَ إِلا في البيت

“aku berkata: ‘wahai Rasulullah, apa saja hak istri yang wajib kami tunaikan?’. Beliau bersabda: ‘engkau beri ia makan jika engkau makan, engkau beri ia pakaian jika engkau berpakaian, dan jangan engkau memukul wajahnya, jangan mencelanya, dan jangan memboikotnya kecuali di rumah‘” (HR. Abu Daud 2142dihasankan Al Albani dalam Adabuz Zifaf, 208).

3. Nafkah tempat tinggal

Allah Ta’ala berfirman:

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ

Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu” (QS. Ath Thalaq: 6).

Ayat ini membahas mengenai wanita-wanita yang ditalak, Allah perintahkan para suami untuk tidak mengeluarkan mereka dari rumahnya hingga habis masa iddah. Namun para ulama mengambil istinbath dari ayat ini bahwa wajib bagi suami untuk memberikan tempat tinggal bagi istrinya sesuai dengan kemampuannya (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Syaikh Husain Al Awaisyah, 5/181).

Namun para ulama berselisih pendapat mengenai kadar dari masing-masing tiga hal ini. Berapa kadar makanan yang wajib, berapa pakaian yang mesti diberikan, dan bagaimana kadar minimal tempat tinggal yang wajib? Para ulama khilaf. Namun yang tepat insya Allah, batasan semua ini kembali kepada‘urf (adat kebiasaan) daerah masing-masing. Dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Durarus Saniyyah (3/150) dikatakan:

نفقة الزوجة واجبة على زوجها من مأكل، ومشرب، وملبس، ومسكن ونحو ذلك بما يصلح لمثلها، وذلك يختلف باختلاف أحوال البلاد والأزمنة، وحال الزوجين وعاداتهما

“nafkah wajib untuk istri berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal dan yang semisal itu yang urgensinya setara. Dan hal ini berbeda-beda tergantung pada keadaan negeri dan zaman, juga tergantung keadaan kedua suami-istri dan adat kebiasaan mereka berdua”

Demikian juga, sebagian ulama menyebutkan beberapa hal lainnya selain tiga hal ini, yang dikategorikan termasuk nafkah. Dalam kitab Raudhatut Thalibin(9/40-52) disebutkan 6 hal yang termasuk nafkah:

  1. Ath Tha’am (makanan pokok)
  2. Al ‘Udm dan sejenisnya (makanan yang menemani makanan pokok; lauk-pauk)
  3. Al Khadim (pembantu)
  4. Al Kiswah (pakaian)
  5. Alaatut tanazhuf (alat-alat kebersihan)
  6. Al Iskan (tempat tinggal)

Namun yang tepat, sebagaimana sudah dijelaskan, batasan cakupan nafkah ini kembali kepada ‘urf (adat kebiasaan). Semisal jika memang adat setempat menganggap pembantu adalah hal yang wajib disediakan suami sebagai nafkah, maka wajib baginya menyediakan pembantu, sesuai dengan kemampuannya.

Dan kami belum pernah mendengar atau membaca pernyataan ulama bahwa “uang jajan” atau yang semakna dengan itu sebagai bentuk nafkah.

4. Pemberian suami selain dari nafkah adalah bentuk sedekah yang paling afdhal

Setelah memahami makna dan batasan nafkah, perlu kita tekankan bahwa bukan berarti suami tidak perlu memberikan hal lain kepada istrinya selain nafkah yang wajib. Jadi, bukan berarti “uang jajan” tidak perlu diberikan kepada istri. Bahkan pemberian di luar nafkah yang wajib merupakan sedekah yang paling afdhal. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أربعةُ دنانيرَ : دينارٌ أعطيتَه مسكينًا ، دينارٌ أعطيتَه في رقبةٍ ، دينارٌ أنفقتَه في سبيلِ اللهِ ، و دينارٌ أنفقتَه على أهلِك ؛ أفضلُها الذي أنفقتَه على أهلِك

empat jenis dinar: dinar yang engkau berikan kepada orang miskin, dinas yang engkau berikan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dan dinar yang engkau infakkan untuk keluargamu, yang paling afdhal adalah yang engkau infakkan untuk keluargamu” (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad 578, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Adabil Mufrad).

Maka seorang suami sangat dianjurkan memberikan sedekah kepada keluarganya, terutama yang dapat menunjang keshalihan dan kebaikan keluarganya. Suami memberikan mereka buku-buku bermanfaat, alat-alat belajar, pakaian-pakaian tambahan, kendaraan, dan sebagainya. Termasuk juga “uang jajan” yang bisa digunakan oleh sang istri untuk kebutuhannya, ini merupakan sedekah yang afdhal. Tentunya sesuai dengan kemampuan suami dan tanpa berlebih-lebihan.

5. Berbicara masalah agama dengan dalil dan pemahaman para ulama, tidak dengan logika dan hawa nafsu

Sangat disayangkan tulisan dari blog tersebut, dari awal hingga huruf terakhir, tidak menyebutkan satu dalil pun yang melandasi pernyataannya. Sehingga terkesan hanya mengedepankan logika dan opini semata. Padahal berbicara agama tidak layak hanya berdasarkan logika dan opini, semua mesti dikembalikan kepada dalil Al Qur’an dan As Sunnah. Allah Ta’ala berfirman:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59).

Allah ta’ala juga berfirman,

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Rabbmu, mereka tidaklah beriman sampai mereka menjadikanmu (Muhammad) sebagai hakim di dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak mendapati pada diri mereka rasa keberatan terhadap apa yang kamu putuskan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (QS. An-Nisaa: 65).

Dan Allah ta’ala juga melarang hamba-Nya berbicara agama tanpa ilmu:

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) berkata-kata tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui” (QS. Al A’raf: 33).

Terutama dalam mewajibkan atau mengharamkan sesuatu. Tidak hanya membutuhkan dalil, namun juga pemahaman yang benar dan penguasaan ilmu-ilmu alat untuk memahami dalil. Semoga ini bisa menjadi nasehat untuk kita semua.

Demikian risalah singkat ini, semoga bermanfaat. Semoga Allah memberikan hidayah-Nya kepada kita semua. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Sumber : Muslimah.or.id

Tinggalkan Balasan