Apa Otoritasmu ?
“Jangan lihat siapa yang menyampaikan, lihat apa yang disampaikan!” Pernah dengar kalimat sejenis ini? Atau malah sering? Kalimat bijak ini berasal dari Ali bin Abi Thalib r.a., dan banyak dikutip oleh orang-orang sampai saat ini. Diriwayatkan oleh Ibn Asakir, Ali r.a. tampaknya menyandarkan pada hadits Rasul, yang bunyinya begini:
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA. ia berkata, Rasulullah SAW. bersabda ‘kalimat hikmah adalah senjatanya orang bijak. Di mana saja ia menemukannya maka ia berhak atasnya.’ “
Kalau dalam perspektif komunikasi, kalimat ini sering digunakan dalam pembicaraan supaya orang-orang fokus pada apa yang dibicarakan, bukan siapa yang sedang bicara. Mungkin maksudnya supaya fair dan objektif, bahwasanya kita fokus pada topik, bukan stigmatisasi personal. Di satu sisi, hal ini bagus. Namun begitu, prinsip ini nggak bisa diterapkan dalam semua kondisi. Bahkan, dalam beberapa kondisi, justru ini bahaya kalau dipakai sebagai retorika.
Sisi lain soal komunikasi juga jelas membutuhkan, meski nggak mutlak, otoritas atau kapasitas. Dengan kata lain, berkaitan dengan orangnya itu sendiri. Apakah orang itu punya otoritas dalam menyampaikan atau nggak? Dia kapasitasnya apa sampai bisa menyampaikan itu? Apa layak atau nggak? Persepsi saya pribadi, justru otoritas ini lebih penting daripada ungkapan “Lihat apa yang dibicarakan”, meski sama-sama nggak bisa diberlakukan di semua kondisi juga. Mengingat, seringkali otoritas dan kapasitas itu berkorelasi positif dengan informasi yang disampaikan, dengan mengabaikan faktor personal interest dan sejenisnya. Apalagi kalau memang topik yang dibicarakan itu evidence based, berbasis pembuktian.
Contohnya kalau bicara soal nuklir. Majalah Geo Times menyatakan soal nuklir adalah ancaman bla bla bla. Mengata-ngatai soal PLTN murah dan sejenisnya itu mitos bla bla bla. Kalau mengacu pada ungkapan “Lihat apa yang dibicarakan”, orang-orang pasti bakalan banyak tertipu dengan tulisan itu dan menelannya mentah-mentah. Padahal, ditinjau dari aspek otoritas, mereka nggak punya otoritas buat ngomong soal nuklir dan PLTN. Kenapa? Mereka bukan majalah sains. Bukan majalah engineering. Bukan jurnal ilmiah. Cuma majalah politik-bisnis, yang mana merupakan topik yang gampang dibiaskan sesuai dengan kepentingan pihak-pihak tertentu dan sama sekali nggak ngerti paradigma berpikir ilmiah.
Padahal, kalau mau bicara soal ‘membongkar mitos’ nuklir dan rekayasanya, mesti melibatkan metode ilmiah yang bisa dibuktikan dan tervalidasi. Hal-hal itu cuma bisa ditemukan di jurnal-jurnal ilmiah yang sudah melewati peer-review ketat dan sesuai kaidah. Kenapa? Karena nuklir itu sains, dan rekayasanya adalah engineering. Keduanya berbasis pembuktian, bisa dibuktikan secara ilmiah. Tapi apa semua orang bisa membuktikannya? Nggak bisa. Cuma orang-orang yang berkutat di bidangnya yang punya kapasitas untuk melakukan pembuktian. Bukan wartawan yang paham reaksi fisi dan fusi aja nggak. Sebab, untuk memahami nuklir, reaksi, dan rekayasanya, cuma bisa dilakukan oleh orang-orang yang berada dalam bidang kenukliran, bukan jurnalistik.
Hal yang sama kalau misalnya orang-orang dari LSM lingkungan berbicara soal nuklir. Punya kapasitas? Tentu nggak, sebab mereka nggak tahu soal nuklir dan sifat-sifatnya secara menyeluruh. Cuma permukaan, itupun diberi tendensi buruk demi personal or organisation interest. Kalau mau tahu soal nuklir, maka harusnya orang-orang yang bekerja di bidang nuklir-lah yang jadi rujukan utama, bukan yang lain.
Hal yang mirip bisa kita aplikasikan dalam memahami Islam. Nggak semua orang bisa menafsirkan ayat seenaknya. Apa otoritasnya? Apa dia mufassir? Paham kaidah fiqih? Paham kaidah ijtihad? Paham bahasa Arab? Kalau nggak, jangan berani-berani menafsirkan seenaknya. Bukan kapasitasnya. Minimal ambil penafsiran dari orang-orang yang faqih di bidangnya. Bahaya, kalau pegang ayat tapi nggak tahu metode tafsir. Sama kayak orang pegang kendali senjata nuklir tapi nggak tahu gimana mengoperasikannya. Bisa celaka secelaka-celakanya. Muqallid ‘amm selayaknya tahu diri untuk nggak bersikap seperti mujtahid.
Patut disayangkan juga bahwa kebanyakan orang menyalahgunakan kalimat Ali r.a. untuk kepentingannya. Orang-orang pandir yang nggak punya kapasitas bicara, tapi bisa seenaknya ngomong dengan mengutip itu. Padahal pada dasarnya memang omongannya kosong melompong, walau sok bijak di permukaan. Dalam perspektif komunikasi pun, orang-orang yang nggak punya otoritas biasanya cenderung nggak lebih didengarkan daripada orang yang punya otoritas/kapasitas. Kecuali buat orang awam yang gampang dibodohi. Maka ini juga alasan pentingnya membangun reputasi baik supaya punya daya tarik lebih untuk didengarkan.
Benar, sebagaimana ungkapan “Lihat apa yang disampaikan”, kasus otoritas ini juga nggak selamanya bisa digunakan. Utamanya untuk topik-topik yang memiliki tendensi gampang disimpangkan atau dibiaskan sesuai kepentingan. Misalnya politik dan ekonomi. Beda halnya dengan sains yang memang berbasis pembuktian ilmiah, kepentingan nggak bisa dimainkan di sini. Walau begitu, dalam sebagian besar topik, yang lebih layak didengarkan dan dipercaya memang mereka yang punya otoritas, yang punya kapasitas untuk menyampaikan. Tingkat kepercayaannya jauh lebih tinggi daripada orang biasa.
Sumber : Gaul Fresh