Mengunjungi pacar adalah momen paling indah bagi para remaja. Saking indahnya, mereka terkadang lupa waktu: hingga larut malam. Tak jarang kondisi ini bisa meresahkan masyarakat sekitar. Purwakarta adalah salah satu Kabupaten yang resah akan polah remaja yang berpacaran hingga larut malam.
Dengan dalih mewujudkan Purwakarta yang berbudaya dan mengerem tindakan asusila yang dilakukan para remaja, Dedi Mulyadi—Bupati Purwakarta—mengajak para camat dan lurah untuk membuat payung hukum atau peraturan desa tentang jam kunjung pacar. Jika waktu kunjung pacar melebihi jam 21:00 maka, mereka akan dikenakan sanksi yakni dipaksa kawin.
Rencana peraturan tersebut tentu mendapatkan respons dari berbagai kalangan. Anggota DPR RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Nihayatul Wafiroh turut angkat bicara. Menurutnya, pembatasan waktu kunjung pacar memang sudah lazim ada di banyak daerah di Indonesia. Namun, sanksi kawin paksa karena melanggar batasan waktu tersebut bakalan menimbulkan masalah baru dan menjadi kontraproduktif.
“Inikan masalah sosial-etika-keagamaan. Serahkan saja ke masyarakat sebagai pengontrolnya. Tentu, masyarakat punya cara-cara (kode etik) sendiri untuk mengontrol. Jika alat kontrol tersebut adalah hukum formil dan memiliki sanksi, ini yang menjadi masalah,” ungkap Ninik, sapaan akrab Nihayatul Wafiroh (7/9)
Lanjutnya, jika peraturan ini diterapkan dan sanksi diberikan, di samping akan membatasi hak perempuan untuk mengambil keputusan menikah, juga akan menambah daftar kasus pernikahan dini dan pernikahan tanpa persiapan. Padahal, pemerintah melalui BKKBN sedang gencar-gencarnya mengkampanyekan pendewasaan usia pernikahan. Tentu peraturan ini bertentangan dengan semangat program pemerintah.
Nihayatul Wafiroh melihat bahwa selama ini penikahan dini dan pernikahan tanpa persiapan acapkali berimbas pada putus sekolah, perceraian dan akhirnya berujung pada kemiskinan. Semakin banyak yang nikah dini dan tanpa persiapan, maka semakin banyak pula jumlah kasus putus sekolah, kasus perceraian dan meningkat pula angka kemiskinan. Alih-alih ingin mewujudkan masyarakat yang berbudaya, peraturan tersebut malah menghambat cita-cita luhur tersebut.
“Bagaimana mungkin masyarakat berbudaya bisa tercipta, namun pendidikan dan tingkat ekonomi masyarakatnya rendah? Jadi peraturan tersebut kontraproduktif,” tegas Nihayatul Wafiroh.
“Daripada membuat peraturan yang kontraproduktif, mendingan Pemda Purwakarta membuat program-program penguatan di bidang pendidikan budaya dan keagamaan, khususnya bagi remaja dan orangtua sebagai penangkal pergaulan yang tidak bertanggung jawab. Sekali lagi, sanksi kawin paksa bukan solusi alternatif terakhir,” pungkas Nihayah.
Wallahu a’lam bisshowab
Sumber : NU Online