Kasus pengeroyokan yang menimpa Salim “Kancil” dan Tosan baru-baru ini semakin menunjukkan potret buram pengelolaan tambang di negeri kaya alam ini. Keduanya, sebagaimana diketahui, adalah salah satu dari sekian aktivis yang menolak pertambangan pasir ilegal di Lumajang, meskipun akhirnya Salim harus kehilangan nyawa, sementara Tosan sampai hari ini masih dalam proses perawatan di rumah sakit.
Kejadian ini sangat memilukan, apalagi penghasilan tambang pasir cukup besar dan menggiurkan sehingga dalam kenyataannya hanya dinikmati oleh beberapa gelintir orang. Bahkan, kepala desa Awar-Awar sebagai salah satu tersangka dalam kasus ini dipandang cukup besar perolehan upetinya dibandingkan dengan upeti untuk pemkab Lumajang. (Jawa Pos, 05/10). Di sisi yang berbeda, masyarakat terdekat, khususnya di Desa Selok Awar-Awar tidak menikmati apa-apa dari hasil tambang ini, kecuali kerusakan lingkungan akibat eksploitasi tambang pasir yang dikelola dengan cara rakus dan mengenyampingkan akal sehat.
Oleh karenanya, dapat dimaknai bahwa pemanfaatan tambang selama ini, menurut penulis, tidak berbanding lurus dengan keyakinan kita dalam beragama. Agama yang dipahami masih banyak berkutat pada persoalan ritual, belum banyak menyentuh apalagi menjadi kekuatan etik bagi pengelo lahan tambang. Padahal, limpahan hasil alam dan tambang di negeri ini adalah karunia yang cukup besar dari Allah SWT agar dimanfaatkan dengan baik, bukan malah dirusak.
Jihad Pertambangan
Keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya tidak berarti apa-apa, kecuali bila pelakunya mampu membumikan keimanan itu menjadi tindakan nyata. Mengutip Imam al-Ghazali dalam bukunyaIhya’ Ulum al-Din, proses pembumian keimanan itu bisa dilakukan dengan meneladani sifat-sifat luhur Allah dan Rasulnya. Ucapan tentang keimanan, tanpa tindakan akan kurang memberikan efek manfaat secara nyata bagi masyarakat luas.
Oleh karenanya, bila dikait dengan tambang, keharusan mengelolahnya dengan baik dan menghindari eksplotasi yang berujung pada perusakan ekosistem lingkungan adalah kewajiban orang yang beriman (Mukmin). Komitmen ini didasari bukan karena akal sehat menolak kerusakan, tapi sekaligus implementasi keimanan kepada sang Pencipta, Allah. Pasalnya, Surat al-A’raf; 56 telah menegaskan agar kita tidak sekali-kali melakukan kerusakan di muka bumi setelah terjadi perbaikan, Wala tufsidu fi al-ardhi ba’da ishlahiha.
Jika merasa Mukmin, tapi di lain tempat melakukan perusakan terhadap alam, maka keberimanannya dipandang dusta. Dikatakan dusta sebab ia telah menjadikan keberimanannya hanya sebatas formalitas belaka, padahal menjaga keindahan alam sejatinya adalah bagian dari menjaga keindahan kreasi-Nya, yang termasuk bagian dari implementasi nilai-nilai keimanan. Bagaimana bisa dikatakan Mukmin sejati, bila akhirnya dalam setiap saat melakukan pengerusakan atau pembunuhan terhadap ciptaan-Nya.
Tapi, memang harus diakui kerakusan atau keserakahan acap kali menjadi penyebab seseorang lupa terhadap jati dirinya sebagai Mukmin. Akibatnya, pengelolaan tambang bukan dalam rangka memanfaatkan alam, tapi lebih pada tindakan eksploitasi sehingga tidak mengindahkan pada kesimbangan ekosistem lingkungan. Lagi-lagi demi meraup keutungan sebanyak-banyaknya, padahal akibat dari kerusakan alam hari ini pastinya akan “dinikmati” bencananya oleh anak cucu kita di masa yang akan datang.
Apa yang dilakukan Salim dan Tosan merupakan langkah jihad, setidaknya jihad melawan nafsu rakus dan serakah. Perlawanan keras dari kedua aktivis ini cukup wajar sebab mereka berhadapan langsung dengan kondisi di lapangan, yakni bagaimana pertambangan pasir itu terjadi sudah melampaui batas-batas kemanusiaan akibat tidak mengindahkan sisi kerusakan lingkungan.
Dalam konteks yang lebih luas, serta belajar dari kasus Salimdan Tosan, semua elemen masyarakat harus bersatu dalam rangka melawan segala bentuk apapun kaitannya dengan pengelolaan tambang yang merusak ekosistem lingkungan. Kesatuan masyarakat sipil diharapkan mampu mendorong kekuatan lain, baik dari pemegang kebijakan yang atau pemegang modal, untuk tidak semena-mena mengeksporasi alam hanya untuk kepentingan ekonomi.
Pada akhirnya, upaya ini kembali pada kita semua sebagai insan yang beriman. Pastinya, pengerusakan terhadap alam adalah bagian dari pengingkaran terhadap nilai-nilai keimanan. Karenanya, memerangi perusak alam atau penambang liar berbanding lurus dengan memerangi korupsi dan radikalisme sebab sama-sama bertentangan dengan prinsip kesalehan sejati sebagai buah dari keimanan, yakni kesalehan pada Allah dan Makhluk-Nya.
*) Wasid Mansyur, Aktif di Lembaga Majelis Dzikirdan Sholawat Rijalul Ansor, Gerakan Pemuda Ansor Jatim
Sumber : NU Online