Menolong orang yang kekurangan darah adalah sebuah hal yang mulia. Maka tak heran saat ini kegiatan donor darah menjadi sebuah hal yang populer, pun di kalangan Nahdliyin. Setiap kali ada even macam harlah (hari lahir) organisasi, kerap kali disertakan acara donor darah sebagai salah satu wujud amal atau kepedulian sosial kita kepada sesama.
Namun, tahukah anda kegiatan sosial ini pernah dilarang bahkan diharamkan oleh Nadlatul Ulama (NU)? Keputusan pengharaman donor darah dari NU ini dikeluarkan pada saat Kongres Muslimin Indonesia (KMI) ketiga yang digelar 5-8 Juli 1941 di Solo, Jawa Tengah.
KMI merupakan sebuah pertemuan kongres yang diselenggarakan MIAI (al-Madjlisul Islamil ‘Ala Indonesia), yang di dalamnya terdapat beberapa organisasi yang menjadi anggotanya, antara lain NU, Muhammadiyah, Al-Islam, PUI, Al-Irsyad, PSII, Persis dan lain sebagainya.
Ketika itu, NU melarang bloedtransfoesie, istilah donor darah dalam bahasa Belanda, dengan beberapa pertimbangan. Di antaranya apabila bloedtransfoesie itu digunakan untuk kepentingan membantu peperangan Belanda, yang notabene merupakan penjajah dan motif peperangan bukan untuk membela agama Allah.
Pada awalnya, sempat terjadi tarik ulur pendapat. Salah satu ormas Islam ada yang bersikap memperbolehkan bloedtransfoesie untuk tentara Belanda, karena hal tersebut merupakan ikhtiar menolong atau mengobati orang sakit.
Namun HB.NO (sekarang PBNU), melalui pembicaranya yakni KH Ahmad Iljas (Konsul NU Pekalongan), memberikan dua alternatif: pertama, pemindahan darah ke lain tubuh yang kekurangan darah guna pengobatan, maka hukumnya seperti pemberian. Kedua, jika karena pemberian itu akan terjadi suatu perkara terlarang, misalnya untuk peperangan yang tidak diridhoi Allah Swt, maka hukumnya terlarang.
Maka akhirnya, peserta kongres menghasilkan keputusan bulat: melarang atau mengharamkanbloedtransfoesie untuk kepentingan membantu peperangan Belanda.
Sumber : NU Online