Seorang mahasiswa Indonesia yang tengah mengambil program doktoral di Manchester, Inggris bercerita bagaimana ia menghadapi ejekan dan kesulitan dalam meraih “mimpi’nya di tengah keterbatasan fisiknya.
Muhammad Zulfikar Rakhmat, 22 tahun, bercerita bahwa sejak lahir ia mengalami Ashpyxia Neonatal, gangguan yang menyebabkannya tidak bisa bicara lancar dan tidak dapat menggunakan kedua tangan untuk sejumlah aktivitas termasuk menulis.
Ia saat ini tengah melakukan penelitian doktoral di Universitas Manchester tentang dampak perkembangan negara Asia terhadap perkembangan politik di Timur Tengah, setelah sebelumnya mengambil S2 di universitas yang sama.
Zulfikar, yang pindah dari Indonesia ke Qatar saat berusia 15 tahun bersama kedua orang tuanya- meraih gelar sarjana dengan predikat terbaik di Universitas Qatar.
“Karena saya tidak bisa menulis dengan tangan, saya harus bawa laptop kemana-mana. Tapi saya tidak pernah menganggap ini sebagai beban, jalani saja – pasti ada jalan. Tuhan tidak pernah membebani hambanya melebihi kemampuan mereka,” kata Zulfikar.
“Mungkin terkadang gaya bicara saya yang gagap membuat orang yang baru saya temui agak kesulitan memahami, tetapi lagi-lagi selalu ada jalan untuk mengatasinya seperti mengulangnya atau menjelaskannya melalui e-mail setelah pertemuan.”
“Tidak ada lagi bullying seperti yang saya dapati di Indonesia”
“Saya mengalami berbagai macam bullying, seperti ditertawakan, diejek, dikunci di kamar mandi, gerakan tangan saya yang ‘aneh’ diperagakan di depan kelas, dan lain-lain,” cerita Zulfikar tentang ejekan dan cemoohan yang ia terima saat masih tinggal di Indonesia.
Ejekan yang paling parah yang dialami adalah, “Ketika seseorang mempertanyakan kemampuan saya untuk mencapai mimpi yang saya miliki. Saat itu sempat memang saya malas untuk sekolah karena ‘takut.’
Tetapi ayah saya selalu berpesan bahwa jika saya nggak mau sekolah, berarti saya membiarkan keterbasan saya menang. Satu-satunya jalan waktu itu adalah membuktikan bahwa kita tidak seperti apa yang mereka katakan dan lebih berharga dari apa yang mereka tertawakan.
Zulfikar mengatakan sejak pindah ke Qatar, “Tidak ada ‘bullying’ seperti yang saya dapati di Indonesia. Semua saling memberi dukungan, dan tidak ada ‘rasa tidak percaya’ terhadap mimpi yang dimiliki seseorang. Mereka percaya bahwa dalam kondisi apapun seseorang bisa menggapai mimpinya jika ada semangat dan kerja keras.”
Selain politik Timur Tengah dan Asia, Zulfikar juga tertarik pada ilmu komputer dan jurnalistik, dengan pengalaman menulis artikel di sejumlah media.
[…] Sumber: cyberdakwah.com […]