Nasihat Tentang Qanun Asasi Untuk Kyai Said

0
1367

Berikut ini tim cybedakwah menampilkan makalah KH. Afifuddin Muhajir. Makalah ini merupakan perwakilan dari ketidakhadiran beliau dalam acara Halaqah Ulama NU di Batang Jawa Tengah.

Al-Mukarramin para masyayikh dan para kiai.

Terus terang saya kecewa berat lantaran tidak bisa mengikuti pertemuan para kiai yg sangat penting ini. Untuk mengurangi rasa kecewa, saya mengirim beberapa catatan sebagai berikut:

Pertama, bahwa untuk menafsiri dan menjelaskan maksud suatu nash baik dari al-Qur’an maupun dari as-sunnah diperlukan hal-hal sebagai berikut:

  1. mengetahui kaidah-kaidah bahasa yang secara garis besar meliputi tiga kajian: kajian lafadh, kajian makna dan kajian dalalah

دَلَالَةُ الأَلْفَاظِ عَلَى الـمَعَانِي

  1. mengetahui sababun nuzul/ sababul wurud, baik yang mikro maupun yang makro.
  2. mengaitkan nash yang sedang dikaji dengan maqashidusy syari’ah.
  3. mengaitkan nash yang sedang dikaji dengan nash yg lain; mengaitkan ayat dengan ayat, hadits dengan hadits, ayat dengan hadits dan hadits dengan ayat.

Sering terjadi kekeliruan di dalam memahami nash akibat tidak dikaitkan dengan nash yang lain. Misalnya hadits:

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٍ

tidak boleh dipisahkan dari hadits:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ

dengan menyambungkan dua hadits tersebut diperoleh kesimpulan bahwa bidah yang dlalalah adalah  بِدْعَةٌ دِيْنِيَّةٌ / بِدْعَةٌ شَرْعِيَّةٌ. Yakni mengagamakan sesuatu yang bukan agama atau mensyariatkan sesuatu yang bukan syariat.

Akan terjadi pemahaman yang keliru terhadap firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا

yang kita temukan berulang kali di dalam alquran, bila dipisahkan dari ayat yang lain semisal firman Allah:

{ آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ} [البقرة: 285]

Dengan memadukan dua ayat tersebut diperoleh pemahaman yang benar bahwa yang dimaksud dengan mukmin/ orang beriman adalah orang yang percaya kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab dan semua utusannya. Dengan demikian, orang yang tidak mengakui kerasulan nabi Muhammad bukanlah orang mukmin.

Kedua, dalam kerangka mengaitkan nash dengan nash ada prinsip yang harus menjadi pegangan. Yaitu mengembalikan nash-nash yang mutasyabihat kepada nash-nash yang muhkamat

رَدُّ الـمُتَشَابِهَاتِ اِلَى الـمُحْكَمَاتِ

yakni menafsiri nash-nash yang tidak jelas maknanya berdasarkan nash-nash yang memiliki makna yang terang benderang. Contoh ayat mutasyabihat firman Allah:

{يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ …} [الفتح: 10]

dan

{وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا…} [هود: 37]

Agar tidak salah dalam memahami ayat tersebut, kita harus mengaitkannya dengan ayat-ayat lain yang muhkamat dalam persoalan yang sama, semisal firman Allah:

{لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ…} [الشورى: 11]

dan

{ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ} [الإخلاص: 4]

Namun orang-orang yang memiliki  kepentingan tertentu lebih suka melakukan hal sebaliknya. Yakni menundukkan yang muhkamat kepada yang mutasyabihat. Yang mereka lakukan bukan menafsiri yang mutasyabihat dengan acuan yang muhkamat, tapi bersikukuh dengan yang mutasyabihat dan menafikan yang muhkamat. Mereka masuk dalam apa yang dinyatakan oleh Allah:

{فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ} [آل عمران: 7]

Salah satu contohnya, mereka memberikan pemaknaan dengan kemauan sendiri terhadap firman Allah:

{إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ } [البقرة: 62]

Sementara mereka tidak mau melihat ayat-ayat dan hadits yang maknanya sangat terang benderang, seperti firman Allah:

{إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ…} [آل عمران: 19]

{وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ} [آل عمران: 85]

Dan hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah:

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ، وَلَا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

Penjelasan tersebut tidak berarti Islam tidak mengajarkan toleransi. Tentu toleransi yes, justifikasi no.

Ketiga, dalam NU ada hal-hal yang tidak boleh berubah dan ada bagian-bagian yang bisa berubah. Yang tidak boleh berubah salah satunya adalah qanun asasi.

Bahwa NU berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijmak dan al-Qiyas adalah  harga mati. Namun dalam memahami hakikat qiyas terjadi perbedaan di kalangan ulama’ nahdliyyin, sebagaimana perbedaan dalam hal yang sama telah terjadi di kalangan  empat imam madzhab bainal muwassi’in wal mudlayyiqin.

Orang NU dan pengurus NU semuanya terikat dengan qanun asasi ilman wa amalan wa sulukan. Orang yang mengaku NU tetapi memiliki pandangan yang bertentangan dengan qanun asasi maka sesungguhnya dia bukan orang NU dan tidak berhak menisbatkan diri dengan hadlratusy Syaikh Kiai Hasyim Asy’ari. Orang seperti itu lebih baik mendirikan NU baru dari pada mengubah NU yang  didirikan pada tahun 1926.

Keempat, Saya akhirnya menjadi heran, kok bisa KH. Said Aqil Siraj menjadi ketua umum PBNU. Mengapa heran? Karena ternyata beliau memiliki pemikiran dan pandangan yang bukan hanya tidak sesuai tetapi bertolak belakang dengan ajaran yang selama ini menjadi keyakinan kaum nahdliyyin.

Pandangan beliau tentang Imam al-Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali adalah salah satu contohnya. Dua imam yang dalam qanun asasi NU dinyatakan sebagai panutan kaum nahdliyyin di bidang tashawwuf justru mendapat stigma tidak baik dari Kiai Said. Tapi entah, apakah pandangan yang dituangkan di dalam desertasi doktornya itu sudah merupakan keyakinannya, atau sesugguhnya beliau memiliki keyakinan yang berbeda yang sengaja dikorbankan dalam rangka mudahanah (lip service) demi sebuah titel bergengsi bernama doktor? Tapi semua jawaban yang bisa diberikan sama-sama tidak benar dalam pandangan ajaran NU. Yang jelas sampai saat ini tidak diketahui adanya pencabutan terhadap pandangan tersebut.

Tinggalkan Balasan