Saat saya selesai KKN di IAI Ibrahimy Sukorejo Situbondo. Waktu itu awal penerimaan mahasiswa baru Ma’had Aly angkatan kedua, saya diminta Ust. Muhyiddin Khatib menjadi menjadi TU, khaddam yang biasa membuat surat dan melayani para masyayikh atau dosen di Ma’had Aly (MA) Sukorejo Situbondo.
Waktu saya akan dijadikan TU, saya bertanya terlebih dahulu, apakah saya harus pindah asrama ke Ma’had Aly dan boleh ikut seluruh kegiatan belajar mengajar di MA. Kyai Hariri sebagai mudir ‘am Ma’had Aly dawuh, “Kamu harus pindah asrama ke MA dan tidak apa apa ikut ta’lim (belajar)”. Alhamdulillah saya amat senang, karena sudah hampir dua tahun setiap malam saya sorogan kitab Fathul Mu’in ke Ust. Salim di MA.
Sungguh merupakan karunia besar tanpa ikut tes, saya bisa ada di MA dan mengikuti berbagai aktifitas belajar mengajar di MA. Setelah subuh saya sorogan kitab Tafsir Misbahul Munir ke KH. Hariri. Pagi jam 07 -09 wib. ikut diskusi kelompok Ushul Fiqh Wahab Khallaf dan Kitab Jam’ul Jawami’. Kemudian jam 09 pagi hingga dhuhur mengikuti perkuliahan dari dosen-dosen MA. Dan malamnya diskusi kitab Fathul Wahhab bersama para santri.
Saat itu para masyayikh/dosen MA terdiri dari kyai-kyai yang cukup masyhur kealimannya di kalangan ulama Indonesia. Ada KH. Hasan Abdul Wafi, KH. Wahid Zaini, KH. Abdul Muhid Muzadi, KH. Yusuf Muhammad, KH. Syafaat, KH. Nadhir Muhammad, Habib Baharun, KH. Badri Masduki, KH. Dailami, KH. Maksum Syafii, KH. Syaikhul Hadi, KH. Abdurrahman Wahid, KH. Khatib Umar, KH. Hasan Basri, KH. Dhafir Jazuli (semua sudah wafat), dan tentu kyai-kyai dari dalam Ma’had yang saat ini masih ada, KH. Afifuddin Muhajir, KH. Hariri, KH. Abdillah dan lainnya.
Dari pengabdian di MA ini saya banyak kenal dan dikenal oleh para kyai, termasuk saya sering minta berbagai ijazah wirid, amaliah dan belajar haliyah amaliah kesehariannya dan ilmu mantiq atau cara komunikasi logis. Semua dari masyayikh itu amat sering saya tanyakan berbagai macam persoalan secara langsung pada pribadi-pribadi beliau.
Karena saya yakin para masyayikh yang ditunjuk oleh KHR. Asad untuk mengajar di MA punya super kelebihan, seiring dengan proses berdirinya MA, Kyai As’ad mengutus KH. Mujib Ridwan menemui seseorang yang amat misteri di Makkah, dan mengutus KH. Yusuf Muhammad membawa kurikulum MA ke Sayyid Muhammad Alwi Al Maliki dan Syekh Yasin.
Oleh karena itu, hati saya semakin mantab mengabdi di MA, apapun pekerjaan yang dibebankan, termasuk menyapu, bawa makanan, bepergian ke dalemnya (kediaman) para masyayikh itu, mengurus administrasi ke Mudir ‘Am KH. Wahid Zaini, dan Katib ‘Am, KH. Yusuf Muhammad juga terkadang harus bermalam di PP. Nurul Jadid Paiton, belum lagi harus menghadiri rapat-rapat di Depag RI Jakarta. Apalagi lebih setengah tahun ditinggal Ust. Muhyiddin Khatib karena ikut program Pengkaderan Wawasan Keulamaan (PPWK) oleh PBNU.
Semua saya jalani dengan hati bersyukur karena berkat MA begitu mudah saya bersilaturrahim dengan para Kyai Kyai besar itu. Semoga saya yang miskin ilmu, dan segudang kekurangan ini kelak menjadi manusia yang bermanfaat. Itulah harapan yang terbesit dalam hati. Kedekatan dengan para kyai-kyai itu, alhamdulillah terus terjalin hingga saya pulang ke rumah.
Oleh karena itu, sungguh amat bersyukur kita ini menjadi santri MA, buatlah gerakan dalam mengemban amanah perjuangan dengan solidaritas dan soliditas antar sesama alumni MA, berkaryalah dengan ilmu yang dimiliki, menulislah di berbagai media agar ilmu bisa dibaca dan dinikmati banyak orang. Hindari rasa permusuhan antar sesama alumni MA, saling mengisi, memberi dan mendukung. Contohlah Rasulullah memberi laqab (gelar) nama pada para sahabat sahabatnya, tirulah alumni perguruan tinggi ternama di Indonesia dalam membuat berbagai macam jaringan.
Insyaallah alumni MA akan menjadi mujahid dan mujtahid yang manfaatnya akan dirasakan oleh umat islam di dunia. (Tulisan di atas kereta Jbr-Sby)
Oleh: KH. M. Misbahus Salam (Penulis adalah tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU) dan pengasuh Yayasan Raudlah Darus Salam Sukorejo, Bangsalsari, Jember)