Oleh: Imam Syafi’i
Seseorang yang beriman dan pernah melakukan amal sholeh, kemudian dia melakukan suatu maksiat, maka menurut kalangan Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah perbuatan maksiat tersebut tidak menghapus perbuatan baik yang pernah dilakukannya. Mereka berlandas pada firman Allah swt:
وَلَا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (22) النور/22
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S. An-Nur (24): 22)
Ayat ini berhubungan dengan sumpah Sayyidina Abu Bakar bahwa dia tidak akan memberi apa-apa kepada kerabatnya ataupun orang lain yang terlibat dalam menyiarkan berita bohong tentang diri ‘Aisyah. Maka turunlah ayat ini melarang beliau melaksanakan sumpahnya itu dan menyuruh mema’afkan dan berlapang dada terhadap mereka sesudah mendapat hukuman atas perbuatan mereka itu.
Yang dimaksud dengan kerabat, orang miskin, dan orang yang berhijrah di jalan Allah adalah Misthah. Dia adalah kerabat Sayyidina Abu Bakar. Dalam sejarah diceritakan bahwa Misthah membuat suatu isu kebohongan dan pernah menuduh Siti Aisyah berzina, tapi kemudian dia bertaubat. Dalam ayat ini Allah menggunakan kata Muhajiriin untuk menunjuk pada Misthah yang sebelumnya pernah melakukan maksiat, yakni menuduh zina. Kata Muhajirin sendiri adalah sebuah ungkapan yang ditujukan untuk memuji. Oleh karena itu, kemudian disimpulkan bahwa pahala Misthah yang ikut hijrah ke Madinah tidak terhapus sebab menuduh zina. (Tafsir al-Rozi, jld. 11, hal. 284, Zad al-Masir, jld. 4, hal. 438).
Perbuatan maksiat yang dapat menghapus pahala kebaikan yang telah lalu adalah maksiat yang mengantarkan pada kemusyrikan dan kemurtadan, termasuk di dalamnya adalah menghalalkan sesuatu yang nyata-nyata telah diharamkan oleh syara’. Sedangkan perbuatan maksiat selain kedua jenis tersebut tidak dapat menghapus pahala kebaikan yang pernah dilakukan. Konsep ini didasarkan pada firman Allah:
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (217) البقرة/217
“Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. Al-Baqarah (2): 217)
Terakhir, ada satu pesan dalam kajian ini, yaitu kebijaksanaan (tidak bijak sana dan tidak bijak sini). Jangan sampai karena satu kesalahan yang telah diperbuat, menutupi hati kita akan beribu-ribu kebaikan yang telah dilakukannya, sehingga pintu maaf terkunci untuknya. وَالْيَعْفُوْا وَالْيَصْفَحُوْا
Sumber Gambar: okezone lifestyle