Menguatkan Rukyat, Tak Tinggalkan Hisab

0
318

Hampir tiga bulan lagi Ramadhan dan Syawal tiba, masyarakat dihadapkan pada dua metode yang kerap digunakan oleh dua ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. NU menyandarkan diri pada metode rukyatul hilal, sedangkan Muhammadiyah masih nyaman dengan metode hisab.

Namun, perbedaan yang jelas terlihat dari dua metode yang digunakan ormas Islam tersebut ialah, NU menyandarkan keputusan akhir pada rukyatul hilal (observasi) dengan tetap tidak meninggalkan metode hisab. Sedangkan Muhammadiyah menyandarkan keputusan akhir hanya dari metode hisab atau perhitungan. Bukti hisab yang dilakukan NU ialah menerbitkan almanak setiap tahunnya yang dihasilkan dari metode hisab.

Namun menurut KH Ahmad Ghazalie Masroeri yang menggawangi Lembaga Falakiyah NU sejak 1999 hingga akhir hayatnya pada 19 Februari 2020 menjelaskan, metode hisab dalam menentukan munculnya hilal masih bersifat prediktif. Sebab itu harus disempurnakan melalui metode rukyatul hilal, yaitu observasi atau penglihatan langsung.

“Kami di NU juga melakukan hisab, kami mempunyai data-data hasil hisab itu. Tapi hasil perhitungan ilmiah itu tetap harus diperkuat melalui pantauan langsung,” ujar Kiai Ghazalie Masroeri kepada NU Online saat momen sidang itsbat di Kementerian Agama RI, 15 Mei 2018 lalu.

Bahkan dalam kesempatan itu, Kiai Ghazalie menegaskan bahwa dalam penentuan awal bulan hijriah, NU menggabungkan antara ahli astronomi, ahli hisab, dan ahli fiqih. Menurut beliau, ini menunjukkan bahwa persoalan penentuan bulan hijriah bukan hanya soal keilmiahaan saja, tetapi juga persoalan agama.

“Teknologi yang dikembangkan kami ialah Nahdlatul Ulama Mobile Observatory atau NUMO di seluruh Indonesia dengan menggunakan peralatan yang sangat canggih dan modern,” jelas Kiai Gahzalie Masroeri.

Dalam setiap sidang itsbat di kantor Kementerian Agama, atau dimana saja, Kiai Ghazalie selalu mendapatkan kesempatan menyampaikan argumentasinya terkait penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri untuk menghindari perbedaan. Dia adalah simbol rukyatul hilal yang menjadi kriteria utama NU dalam penentuan awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.

Integrasi Fiqih dan Sains

Melalui NUMO itu, Kiai Ghazalie Masroeri ingin mengintegrasikan pengembangan fiqih sekaligus sains yang bisa diakses secara luas oleh masyarakat, khususnya warga NU dan pesantren. Kehadiran NUMO juga menjadi bagian dari pengembangan sains umat Islam Indonesia, khususnya di bidang astronomi.

NUMO yang dikembangkan Kiai Ghazalie Masroeri dan kawan-kawan di Lembaga Falakiyah NU dapat digunakan untuk observasi bulan terutama untuk rukyatul hilal awal bulan, observasi matahari terutama untuk mengetahui waktu shalat, dan observasi gerhana matahari, dan gerhana bulan, dan mengukur arah kiblat.

Melalui NUMO ini masyarakat bisa belajar langsung kepada para pakar Falak di Nahdlatul Ulama. Sebaliknya, para pakar ilmu falak di PBNU juga bisa mengunjungi berbagai tempat untuk memperkenalkan lebih jauh ilmu falak kepada masyarakat.

Perangkat yang berupa kendaraan mobil ini dapat digunakan menentukan rukyatul hilal atau posisi bulan setiap awal bulan penanggalan hijriah. NUMO dapat menjadi solusi dalam penentuan perbedaan waktu terkait jatuhnya awal puasa Ramadhan atau lebaran.

NUMO juga bergerak dari pesantren ke pesantren untuk  memperkenalkan dunia astronomi. Mobil ini juga dilengkapi oleh instalasi listrik, genset, lemari, dry, cabinet, GPS, mounting, teropong, televisi/layar monitor 32 inch, komputer, printer, DVD player, LCD, thedolit, gawang lokasi, rubu’, tongkat istiwa’, dan globe.

Perangkat NUMO merupakan salah satu ikhtiar Kiai Ghazalie Masroeri dalam mengembangkan metode hisab dan rukyatul hilal sekaligus. Karena, menurut kiai yang lahir di Purwodadi, 21 April 1939 silam ini, menentukan awal puasa dan lebaran bukan pekerjaan mudah, tidak seperti menghitung matematika pada umumnya.

Satu hal yang membuat Kiai Ghazalie istimewa adalah kedua matanya tidak dapat melihat. Tapi, tidak ada yang berani menggantikan tugas mengintip bulan ini. Alasannya, karena tanggung jawab pada Allah dan pada umat sangat besar. Beberapa pihak menyebut, penglihatan Kiai Ghazalie terganggu karena ketekunannya bergelut dengan angka-angka hisab dan hobinya mengamati benda-benda langit melalui rukyat.

Kelebihan lain Kiai Ghazalie, meskipun tidak bisa melihat, ia bisa memprediksi posisi hilal sampai beberapa tahun ke depan. Di masa mudanya, sebelum dikenal sebagai ahli hisab dan rukyat, KH Ghazalie Masroeri bertahun tahun nyantri pada almarhum Kiai Turaichan, ahli falak kelas dunia yang berasal dari Kudus, Jawa Tengah. Ayah beliau, Kiai Ghazalie juga merupakan sosok yang turut membangun kemahiran Kiai Ghazalie Masroeri dalam bidang ilmu falak.

Pada tahun-tahun ke depan, umat Islam Indonesia tidak akan lagi melihat perannya dalam penentuan hilal. Kiai Ghazalie Masroeri wafat pada 19 Februari 2020 di Rumah Sakit Suyoto Bintaro Jakarta sekitar pukul 10.45 WIB. Sebelum dimakamkan di tempat kelahirannya Purwodadi, jenazah KH Ghazalie Masroeri dishalatkan terlebih dahulu di Masjid An-Nahdlah Gedung PBNU Kramat Raya Jakarta.

Untuk mengembangkan ilmu falak di ranah akademis, Kiai Ghazalie Masroeri juga turut membidani lahirnya Jurusan Ilmu Falak di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang. Kampus tersebut merupakan perguruan tinggi pertama yang membuka jurusan ilmu falak.

Dalam karirnya, Kiai Ghazalie Masroeri pernah menjabat anggota DPR RI dua kali periode yaitu tahun 1973-1977 dari partai NU dan  tahun  1977-1982  dari fraksi partai PPP. Tahun 2000 beliau menjadi anggota Komisi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di tahun yang sama juga, beliau masuk menjadi anggota Tim Hisab Rukyat (THR) Kementerian Agama RI sampai sekarang. Dari tahun 1979, beliau pernah menjadi salah satu Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan membidani tiga bagian sekaligus yaitu sebagai A’wan, Katib dan Ketua Lembaga Falakiyah PBNU. Sebelumnya, pada rentang tahun 1950-an hingga 1980-an, Kiai Ghazalie Masroeri aktif di IPNU, PMII, dan GP Ansor. Beliau menempuh pendidikannya di Madrasah Tsanawiyah Krapyak Yogyakarta selama 6 tahun. Setelah menamatkan pendidikan di MTs tersebut, beliau melanjutkan pendidikannya di Kuliyyatul Qadla Fakultas Hukum Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta angkatan 1958. (NU Online)

Tinggalkan Balasan