Memberikan nasihat kepada orang lain adalah baik karena ada kewajiban kita untuk saling menasihati dalam kebenaran. Namun sesuatu yang baik harus ditempuh dengan cara yang baik pula agar tidak kontraproduktif. Seringkali terjadi orang yang dinasihati justru tidak terima karena merasa tersinggung atau dipermalukan di depan orang banyak. Fenomena seperti ini tidak jarang terjadi di masyarakat disebabkan nasihat disampaikan dengan cara yang tidak baik.
Sehubungan dengan itu, Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad memberikan petunjuk cara bijak menasihati sebagaimana termaktub dalam kitab beliau yang berjudul Risâlatul Mu‘âwanah wal Mudhâharah wal Muwâzarah (Dar Al-Hawi, 1994, hal. 146) sebagai berikut:
(وعليك) إذا أردت أن تنصح إنساناً في أمر بلغك عنه بالخلوة به والتلطف له في القول له ولا تعدل إلى التصريح مع إمكان التفهيم بالتلميح فإن قال لك من بلغك عني هذا؟ فلا تخبره كي لا تثير العداوة بينه وبينه، ثم إن قبل منك فاحمد الله واشكر له وإن لم يقبل فارجع على نفسك باللوم وقل لها يا نفس السوء من قبلك أتيت، فانظري لعلك لم تقومي بشرائط النصح وآدابه
Artinya: “Apabila menasihati orang lain mengenai sesuatu (yang kurang baik) yang sampai beritanya kepada Anda, hendaknya Anda melakukannya di tempat yang tidak ada orang lain bersamanya dan dengan kata-kata yang lembut. Sebaiknya jangan membicarakannya secara terus terang bila cukup dimengerti dengan cara tidak langsung (dengan ucapan samar-samar). Sekiranya ia bertanya siapa yang menyampaikan berita itu pada Anda, jangan memberitahukannya agar tidak menimbulkan permusuhan antara keduanya. Kemudian, jika ia dapat menerima nasihat Anda itu, ucapkan puji syukur kepada Allah; tetapi jika ia tidak menerimanya dengan baik, tunjukkanlah kecaman Anda kepada diri Anda sendiri. Katakan pada diri sendiri, “Wahai nafsu yang membisikkan kejahatan, patutlah engkau menerima balasanmu sebab engkau tidak melaksanakan persyaratan-persyaratan serta adab-adab memberi nasihat.”
Dari kutipan di atas dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, memberikan nasihat kepada orang lain tentang sesuatu hal yang negatif atau kurang baik hendaknya disampaikan ketika sepi tidak orang lain yang melihat atau mendengarnya. Hal ini dalam rangka menjaga nama baik orang itu sehingga kesalahan atau keburukannya tidak menyebar secara luas dari mulut ke mulut. Apalagi jika nasihat itu disampaikan dengan nada tinggi karena seriusnya masalah, maka harus dipastikan tidak ada orang lain yang melihat atau mendengarnya. Dengan demikian ia tidak kehilangan muka di depan orang banyak.
Jika terpaksa nasihat harus diberikan di tempat perkara sementara di samping kiri dan kanannya banyak orang lain, maka nasihat itu harus disampaikan dengan kata-kata lembut dan respek agar ia tidak merasa seperti diadili di hadapan umum yang tentunya bisa membuatnya tersinggung dan marah hingga terjadi cekcok dan bahkan pertengkaran fisik. Hal seperti ini merupakan contoh kegagalan dalam berdakwah karena dilakukan dengan cara yang tidak bijaksana. Allah di dalam Al-Qur’an berpesan agar kita dalam menyampaikan kebenaran dilakukan dengan bijaksana sebagaimana penggalan ayat berikut ini
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan nasihat yang baik dan berbantahlah dengan mereka secara baik ”(QS. An-Nahl: 125)
Memang, terkadang kita merasa tidak nyaman dan bahkan bisa marah melihat orang berbuat tidak benar. Sebagai orang beriman hal ini wajar saja, tetapi dalam keadaan marah kita sebaiknya tidak membuat keputusan yang tergesa-gesa sebab keputusan orang marah sering diwarnai dengan penuh emosi. Hal ini tidak baik karena justru bisa menimbulkan penolakan dari pihak yang dinasihati. Selanjutnya kemarahan bisa dibalas dengan kemarahan oleh pihak yang dimarahi. Walhasil, tujuan mengajak kepada kebaikan justru bisa gagal karena ditempuh dengan cara yang tidak bijak.
Kedua, dalam memberikan nasihat hendaknya tidak secara langsung dan terus terang membicarakan persoalan yang dihadapi , seperti dengan sindiran yang halus, jika cara ini sudah cukup dimengerti. Atau dengan cara yang orang Jawa menyebutnya “milipir-mlipir” (tidak langsung). Misalnya seorang anak tetangga telah menyampaikan kabar kepada kita bahwa anak kita baru saja memukul seorang temannya di sekolah. Kita bisa memulai pembicaraan mengenai hal itu dengan menanyakan, misalnya, “Bagaimana hubunganmu dengan teman-temanmu? Tidak ada perkelahian kan di sekolah?” Jika anak diam, bisa jadi ia sudah menangkap arah pembicaraannya.
Di saat itu berikan nasihat yang baik tanpa harus terburu-buru memvonis bahwa anak telah berbuat salah, misalnya dengan mengatakan bahwa sesama teman harus saling menjaga hubungan baik karena bisa jadi suatu ketika saling membutuhkan bantuan. Jika seseorang telah memukul salah seorang temannya, apapun alasannya, hal itu tidak baik. Orang itu hendaknya bersegera meminta maaf terutama jika ia dalam posisi salah. Dalam posisi benar pun, ia tetap harus meminta maaf karena memukul teman itu tidak bisa dibenarkan.
Ketiga, sekiranya kita ditanya siapa yang telah menyampaikan sebuah berita negatif kepada kita, misalnya dalam kasus pemukulan oleh anak kita di atas, janganlah kita memberitahukannya agar tidak menimbulkan permusuhan antara keduanya. Dengan kata lain, kita boleh berbohong dalam masalah ini, misalnya dengan mengatakan “Bapak/Ibu mendapat telepon dari seseorang yang Bapak/Ibu sendiri tidak sempat menanyakan siapa nama atau dari pihak mana telepon itu. Makanya ini perlu saya cross-check ke kamu.”
Berbohong semacam itu bisa dibenarkan demi kebaikan dan perdamaian bersama. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Ummu Kultsum binti Uqbah Abi Mu’ith sebagai berikut:
لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ، وَيَقُولُ خَيْرًا وَيَنْمِي خَيْرًا
Artinya “Bukanlah pembohong orang yang berbohong demi perdamaian di antara orang-orang, kemudian ia berkata baik dan menumbuhkan kebaikan” (HR Muslim).
Keempat, jika orang yang kita nasihati mau menerima dengan baik nasihat kita, hendaklah kita ucapkan puji syukur kepada Allah sebab tanpa campur tangan-Nya, sebuah ikhtiar manusia tidak ada efektivitasanya . Ucapan syukur seperti ini yang kemudian diikuti ucapan terima kasih kepada orang yang telah mau menerima nasihat kita cukuplah penting sebab menunjukkan pentingnya nasihat sekaligus merupakan penghargaan kepada orang yang dinasihati atas kesediaannya menerima nasihat tersebut.
Kelima, jika ia tidak menerimanya dengan baik, tunjukkanlah kecaman kita kepada diri kita sendiri, dan bukan malah semakin memarahinya. Katakanlah sesuatu hingga seolah-seolah persoalan ada pada diri kita yang tidak mampu menyampaikan nasihat dengan baik sehingga ditolak. Misalnya, “Mungkin aku memang bodoh dan tak mampu menasihati. Bahkan menasihati anak sendiri saja tidak bisa” Ucapkan kalimat seperti itu dengan ekspresi kekecewaan.
Kecaman seperti itu sangat penting untuk mempengaruhi psikologi anak yang kita nasihati hingga ia merasa bersalah lalu menyadari bahwa sebenarnya persoalan ada pada dirinya, yakni telah melakukan kesalahan sehingga harus dinasihati. Kesadaran seperti itu bisa datang secara perlahan dengan berjalannya waktu hingga akhirnya ia mengakui bahwa nasihat itu memang benar dan harus diterima dengan baik.
Demikianlah kelima cara bijak memberikan nasihat kepada orang lain sebagaimana nasihat Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad. Intinya adalah nasihat sebagai amaliah yang baik harus disampaikan dengan cara yang baik agar tujuan baiknya dapat tercapai dengan baik sehingga tidak malah kontraproduktif yang justru bisa menimbulkan permusuhan di antara orang yang menasihati dengan yang orang dinasihati dan bahkan bisa merembet dengan melibatkan orang ketiga.
*Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta. (NU Online)