Menyangkut kepemimpinan dalam shalat (menjadi imam terhadap lelaki), semua ulama sepakat bahwa sejak masa Nabi Muhammad SAW. dan sahabat-sahabat beliau, tidak diketahui ada seorang perempuan yang tampil memimpin shalat dihadapan umum yang didalamnya tergabung jamaah lelaki dan perempuan. Karena itu, mayoritas ulama tidak membenarkan perempuan menjadi imam. Memang kalau makmumnya juga perempuan, Imam Syafi’i membolehkannya, tetapi ada juga ulama yang tidak membenarkannya.
Betapapun kita tidak akan masuk dalam persoalan hukum boleh tidaknya perempuan memimpin shalat, namun yang pasti keempat mazhab ahlussunnah wal jamaah yang populer dan sekian madzhab lainnya sepakat akan tidak sahnya shalat wajib lelaki yang diimami seorang perempuan.
Mayoritas ulama mengambil sikap tersebut agak nya karena shalat adalah ibadah yang murni, dan harus mempunyai landasan dari al-Qur’an dan sunnah atau dari pengamalan yang dicontohkan (direstui) oleh Nabi Muhammad SAW. Disini mereka menetapkan bahwa karena tidak ditemukan kasus pada masa nabi yang didalamnya perempuan memimpin lelaki dalam shalat “tidaklah dibenarkan”
Selanjutnya, kita dapat bertanya apa hikmah di balik larangan tersebut? Hemat penulis, bisa jadi untuk menghindarkan gangguan konsentrasi ketika shalat. Dapat diduga keras bahwa lelaki pada umumnya bangkit gairahnya bahkan dengan sedikit rangsangpun. Berbeda dengan perempuan, konsentrasi lelaki akan berpotensi sangat terganggu jika melihat di hadapannya seorang perempuan yang rukuk, apalagi sujud. Jika demikian sangatlah wajar jika perempuan berada dibelakang lelaki ketika shalat berjamaah bersama mereka. Ini tentunya bukan melecehkan perempuan, melainkan demi terlaksananya shalat dengan baik dan benar. Memang, tuntutan islam tidak sekedar bertujuan memadamkan “kebakaran”, tetapi menghindari timbulnya kebakaran. Karena itu, dalam hukum islam dikenal apa yang dinamai haram karena zatnya (haram lidzatihi) dan ada juga haram karena dapat mengantar ke yang haram pada zatnya (haram lighairi dzatihi). Misalnya berzina haram karena zatnya, sedangkan membuka aurat dikhawatirkan mengantar ke perzinaan, karena itu ia pun terlarang (diharamkan). Sesuatu yang haram karena dikhawatirkan mengantar pada yang haram pada zatnya dapat ditoleransi sebatas yang dibutuhkan jika ada keperluan yang mendesak, seperti ketika membuka aurat dalam batas yang perlunya saat berobat. Itupun hendaknya ditemani oleh suami/siapa yang terpercaya.
Ketika menguraikan larangan perzinaan, Allah menyatakan “jangan dekati zina” (QS. al-isra’ [17]:32). Sebab, mendekatinya dapat mengantar pada zina. Demikian juga ketika melarang “mendekati” istri yang sedang haid karena nafsu dapat mendorong untuk melakukannya (QS. al-Baqarah [2]: 222). Alhasil, siapa yang berada di pinggir jurang sangat berpotensi terjatuh ke dalamnya.
Kembali ke masalah kepemimpinan perempuan dalam shalat, ada yang perlu dicatat bahwa memang ada riwayat bahwa perempuan dapat mengimami perempuan. Imam Syafi’i berpendapat demikian. Bahkan ada yang berpendapat bahwa perempuan dapat menjadi imam bagi siapa yang tinggal bersama dirumahnya, baik lelaki maupun perempuan, tetapi pendapat ini hanya dianut oleh segelintir ulama, karena riwayat yang mendasari pendapat mereka lemah. Demikian. Wallahu a’lam
MH GHADAVI HANAFI M
(Penulis adalah Mahasantri Ma’had Aly Ponpes Zainul Hasan Genggong semester VI, penerima Beasiswa Cendekia Baznaz 2021)