Pendidikan merupakan salah satu hal yang saat ini menjadi kebutuhan pokok umat manusia. Oleh karena itu, pendidikan dasar selama sembilan tahun wajib dimiliki oleh segenap masyarakat. Hal ini sudah tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga Negara berhak untuk mendapatkan pendidikan.[1] Melalui program wajib belajar ini, pemerintah berharap tujuan-tujuan pendidikan yang ingin dicapai dapat dipahami dan diperoleh oleh seluruh masyarakat.
Secara umum, tujuan pendidikan adalah untuk membentuk kedewasaan individu dalam berbagai aspek, baik dalam tindakan maupun dalam wawasan. Dengan begitu, orang yang terdidik tentu akan bersikap lebih dewasa dan dapat lebih memahami perbedaan yang ada dibandingkan dengan orang yang belum pernah mengenyam pendidikan.
Untuk Negara republik Indonesia sendiri, tujuan pendidikan telah dirumuskan beberapa kali dengan beberapa kali perubahan. Namun, yang terakhir, pada UU RI No 2 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[2]
Tujuan tersebut tidak hanya menyangkut kecerdasan semata, melainkan juga menginginkan warga Negara yang memiliki martabat dan akhlak mulia. Namun, masih banyak ditemui warga Negara –yang katanya berpendidikan- masih melakukan hal-hal yang sangat jauh dari kata “bermartabat”. Sebagai contoh adalah para elite politik yang selalu menggerogoti negeri ini dengan korupsi dan mafia hukum. Mereka adalah orang-orang cerdas yang menyalahgunakan kecerdasannya karena tidak memiliki karakter bangsa yang bermartabat.
Tidak hanya terjadi pada para elite politik, pelajar juga mengalami dekadensi moral. Sebagai contoh adalah tawuran pelajar yang mulai popular untuk saat ini. Di Jakarta, tawuran pelajar telah menelan korban dua orang siswa yang mengalami luka bacok pada 21 Januari 2013.[3] Tawuran semacam ini tidak hanya terjadi di Jakarta, melainkan di berbagai daerah lain juga terjadi. Hal ini tentu sangat jauh dengan tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh pemerintah. Ditambah lagi isu yang menasional pada akhir tahun 2012 tentang arisan seks pelajar di Situbondo. Masalah-masalah seperti ini sudah sangat mengganggu citra pelajar sebagai penutut ilmu.
Melihat masalah ini, pemerintah merumuskan system pendidikan yang berbasis karakter, yakni pendidikan yang di dalamnya mengandung proses penanaman nilai agama, budaya, adat-istiadat, dan estetika. Pendidikan karakter adalah upaya untuk menjadikan peserta didik mengenah, peduli, dan menginternalisasikan nilai-nilai sehingga berperilaku sebagai insan kamil.[4]
Untuk mewujudkan cita-cita pendidikan karakter tersebut, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan memaksimalkan fungsi mata pelajaran agama. Pendidikan agama, dipandang sebagai salah satu mata pelajaran yang memiliki beban lebih besar untuk mendidik karakter siswa. Karena posisinya yang merupakan symbol kemuliaan, pendidikan agama harus bisa menanamkan karakter-karakter kemuliaan kepada siswa. Selain itu, tujuan pendidikan agama sama dengan tujuan pendidikan karakter yang digagas oleh pemerintah. Karena pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya.[5]
Pendidikan agama telah menjadi salah satu mata pelajaran wajib di semua tingkatan pendidikan, sejak Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi.[6] Namun, kasus-kasus kekerasan pelajar dan dekadensi moral yang terjadi juga terus membesar dan meluas. Meskipun demikian, tidak semua pelajar mengalami dekadensi moral seperti yang digembar-gemborkan media massa. Ada juga beberapa pelajar yang memiliki karakter seperti yang diharapkan.
Bahkan, kadangkala, kegiatan-kegiatan ektrakurikuler yang dilaksanakan di sekolah bernuansa agamis. Ada sebagian siswa yang ketika waktu istirahat digunakan untuk beribadah di mushalla atau masjid yang telah disediakan oleh sekolah. Tidak jarang pula ada siswa yang tadarrus sebelum jam pelajaran pertama dimulai sebagaimana yang terjadi di sebagian SMA di Situbondo. Hal ini tidak bisa lepas dari peran guru agama dan dukungan sekolah. Lantas di mana letak kesalahan sebenarnya yang mengakibatkan para pelajar mengalami dekadensi moral?
[1] UUD 1945 BAB XIII, Pendidikan dan Kebudayaan, Pasal 31, ayat 1, Amandemen Keempat, Agustus 2002.
[2] Bab II, Pasal 3, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
[3] Robertus Belarminus, Kompas, 1 Pebruari 2013.
[4] Prof. Dr. Syafaruddin, M.Pd., Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat, (Medan: Perdana Publishing, 2012), h. 192
[5] Dudung Rahmad Hidayat, dkk., Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, (Jakarta: Imtima, 2007), h. 2
[6] Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Pasal 3, ayat 1.
Sumber Gambar: sdit.yasfi.or.id