Manusia dan jin diciptakan oleh Allah agar menyembah kepada-Nya. Inilah pesan yang Allah sampaikan melalui firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembahku”. (QS. Al-Dzariyat: 56)
Bahkan bukan hanya jin dan manusia saja yang diciptakan untuk menyembah kepada Allah, tapi semua makhluk yang Allah ciptakan bertujuan agar mereka menyembah dan mengagungkan Allah. Walaupun itu benda mati, dan tidak berakal, semisal tumbuh-tumbuhan dan bebatuan. Allah berfirman:
يُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ
(QS. Al-Jum’at: 01)
Hanya setan saja yang akhirnya membangkan kepada Allah, setelah mereka tidak mau mengiakan perintah-Nya. Mereka merasa hina kalau harus sujud dihadapan adam. Padahal bisa saja itu merupakan bentuk ujian Allah pada syetan, apakah mereka benar-benar akan selalu patuh pada perintah Allah. Sebab tidak mungkin Allah memerintahkan pada satu makhluk untuk sujud kepada makhluk lain, mengingat hanya Allah dzat yang patut untuk disembah. Bahkan dalam kitab-kitab fiqh dijelaskan, bahwa dalam memberikan hormat tidak boleh melebihi batas orang yang ruku’ atau sampai sujud, sebab dia akan dicap sebagai musyrik.
Bentuk-bentuk ibadah itu kadang bisa dicerna oleh akal, dalam artian bisa dijumpai alasan kenapa Allah memeruintahkan manusia untuk melakukan hal tertentu. Ini biasa disebut dengan istilah ma’qul al-ma’na. Ada juga yang tidak bisa dicerna oleh akal. Akal tidak mampu mengetahui alasan kenapa Allah memerintahkanya melakukan hal tertentu. Lalu muncullah konsep ta’abbudy, atau dengan bahasa lain semata-mata karena ibadah kepada Allah.
Menurut sebagian ulama’, ketika ada ibadah tidak ma’qul al-ma’na, sedang si hamba melakukan hal itu tanpa bertanya-tanya mengapa seperti itu, berarti dia sangat patuh pada Allah. Sebab berarti dia selalu melaksanakan perintah Allah, apapun bentuknya. Namun menurut sebagian lain, hal itu merupakan kebodohan. Dengan melihat bahwa manusia itu diberi akal untuk berfikir, dan akal itu bisa difungsikan untuk melakukan hal tersebut. Jika ada seorang hamba melaksanakan titah Allah tanpa berfikir terlebih dahulu, maka dia dianggap telah mengabaikan akal. Padahal dalam al-Qur’an, Allah sering kali menyindir hambanya yang tidak berakal atau berfikir. Tidak berfikir terhadap tujuan dari sebuah pensyari’atan bagi mereka dianggap keputusasaan untuk mengetahui maksud Allah.
Kedua pendapat di atas sama-sama memiliki argumentasi yang kuat. Akan tetapi ketika mengingat bahwa yang dikedepankan dalam ibadah adalah kepatuhan, maka pendapat pertama itu memiliki keunggulan. Karena benar-benar menunjukkan kepatuhan seorang hamba pada Tuhannya. Walaupun begitu, bukan lantas menganggap berfikir untuk tahu alasan Allah merupakan hal yang kurang baik. Melainkan sebaiknya hal itu akan lebih meyakinkan terhadap seorang hamba untuk tetap melaksanakan titah Allah.
Di antara ibadah yang banyak unsur ta’abbdudinya atau ghairu ma’qul al-ma’na ialah haji. Dalam haji kita bisa menjumpai rukun dan kewajiban haji yang tidak mudah untuk dicerna akal. Sebut saja, sa’iy (lari-lari kecil dari bukit Shafa ke Marwah), lempar jumrah, wukuf di arafah, bermalam, di muzdalifah, cukur rambut, berpakaian dengan pakaian yang tidak ada jaitannya, dan thawaf.
Sa’iy misalnya yang berupa lari-lari kecil. Jika dipikir seakan-akan tidak ada gunanya, selain semata-mata karena ibadah.. Dalam sa’iy ini hanya seperti menapaktilasi apa yang dilakukan Istri Nabi Ibrahim, Siti Hajar ketika mencari air untuk diberikan kepada Nabi Isma’il. Beliau berjalan tujuh bolak balik sebanyak tujuh kali dari Shafa ke Marwah.
Itulah ibadah, yang terkadang tidak dipahami apa makna dibalik itu. Ada dua hal yang bisa menjadi faktor dari itu, yakni:
- Allah ingin menampakkan kekuasaannya dan Allah ingin benar-benar menampakkan bahwa Ia Maha Tahu terhadap segala hal. Di samping itu Allah ingin menunjukkan bahwa pengetahuan manusia sangat terbatas. Sehingga ia tidak boleh sombong dengan pengetahuan yang dimiliki, sebab yang berhak untuk sombong hanyalah Allah. Allah itu memiliki sifat Mutakabbir.
- Allah ingin menguji manusia, apakah ia akan selalu patuh pada perintah Allah. Ataukah mereka selalu melogikan titah Allah, sehingga terkadang tidak diperhatikan ketika dianggap tidak sesuai dengan logikanya.
Namun yang terpenting bukan masalah ma’qul dan tidaknya, melainkan bagaimana ibadah itu dikerjakan, sebagai bentuk ketaatan pada dzat Maha Pencipta. Sebab segala ibadah itu pasti akan bermuara pada kemaslahatan manusia, dan alam semesta.
Sumber Gambar: asralenterprise.blogspot.com