Santri Mengukir Impian di Balik Ijazah

0
447

Beberapa hari lagi, tepatnya hari Senin tanggal 15 April 2013 akan dimulai Ujian Nasional (UN) hingga empat hari. Hari-hari tersebut merupakan ajang “perjudian” dalam menentukan masa depan, untuk menggapai impian bagi generasi bangsa yang selama beberapa tahun bersekolah. Jika salah dalam melaksanakan ajang tersebut, baik salah dalam mekanisme pengisian lembar jawaban apa lagi salah jawaban, maka itu alamat ketidak-tercapaian impian mereka. Ini bagi mereka yang menggantungkan impiannya pada kertas ijazah.

Ujian Nasional (UN) adalah suatu proses ujian terakhir dalam pendidikan formal yang diselenggarakan oleh Negara. Ujian tersebut bertujuan untuk menobatkan para siswa yang mengikuti proses ujian sebagai siswa yang telah menyelesaikan program pendidikan formal serta diakui oleh Negara. Bagi siswa yang tidak mengikuti proses Ujian Nasional, dia tidak diakui sebagai pelajar yang sah menurut Negara, meskipun secara kwalitas keilmuan lebih baik dari pada siswa yang mengikuti proses ujian dan lulus.

Sebagaimana yang telah maklum, Ujian Nasional yang merupakan proses untuk mendapatkan penobatan secara sah dari Negara, dengan mendapatkan ijazah yang bertuliskan beberapa angka yang asumsinya sebagai nilai kwalitas seorang pelajar. Tidak bisa dipungkiri, sesungguhnya hal inilah yang diupayakan bahkan dierjuangkan oleh mayoritas anak bangsa. Sebab menurut mereka, dengan adanya ijazah mereka bisa memiliki peluang untuk meniti karier dan bisa menempatkan kadudukannya pada posisi strategis di kehidupan sosial. Bahkan ada yang beranggapan, untuk melanjutkan hidup harus memiliki ijazah.

Sepertinya Ijazah diasumsikan sebagai kunci untuk membuka pintu impian, diasumsikan sebagai kekuatan untuk menggapai cita-cita, diasumsikan sebagai pengendali yang mampu mengantarkan pada posisi strategis, diasumsikan sebagai biji padi yang tumbuh lalu manjadi nasi yang mengenyangkan perut.

Mungkin asumsi tepatnya, dengan ijazah, kedudukan, kenikmatan, kebahagiaan, martabat dan lain segalanya dapat diraih dan dirasakan. Dan asumsi lebih tepatnya, dengan Ijazah, hidup seseorang akan lebih terjamin. Akibatnya, banyak siswa yang lebih-hanya mementingkan Ijazah mementingkan formalitas (Ijazah) tanpa memperhatikan dengan serius pada esensi dari proses belajar yang telah ditempuh selama beberapa tahun.

Setelah proses Ujian Nasional akan di putuskan dua kategori, “lulus dan tidak lulus”. Kedua kategori ini akan menimbulkan dampak-akibat bagi para siswa yang mengikuti Ujian Nasional. Bagi siswa yang termasuk kategori “lulus” pasti merasa senang, bahagia dan sukses. Karena harapannya yang diupayakan beberapa tahun di sekolah akhirnya tercapai juga.

Namun sebaliknya, bagi siswa yang berkategori “tidak lulus”, akan merasa sedih, kesal, merasa gagal dan putus asa. Hal terakhir ini tidak pantas bagi seorang siswa yang benar-benar serius belajar. Karena bagi yang serius belajar, tentu ketika dia tidak lulus, dia akan tetap semangat seraya berkata, “Aku belajar bukan untuk selembar kertas ijazah. Aku belajar untuk diriku sendiri dan untuk bisa bermanfaat bagi bangsa dan Negara. Meski aku memiliki impian dan cita-cita khusus, untuk mencapai keduanya itu tidak perlu Ijazah. Karena aku yakin, segalanya dapat dicapai hanya dengan belajar, belajar, dan belajar”.

Ada beberapa faktor yang membuat siswa yang tidak lulus merasa sedih, kesal, gagal dan putus asa. Diantaranya, dia merasa bahwa dirinya yang paling bodoh, merasa malu pada orang-orang di sekitarnya, atau yang paling berpengaruh karena dia merasa impian dan cita-citanya gagal total karena tidak lulus. Namun sebenarnya, faktor utama adalah mereka menjalani pendidikan di sekolah karena hanya mengaharapkan Ijazah belaka. Jika mereka benar-benar serius untuk belajar, siapa saja pasti yakin, dia yang tidak lulus tidak akan merasakan hal-hal negatif seperti itu.

Ijazah yang diasumsikan sebagai jaminan hidup seseorang, memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Ada Ijazah SD, SMP, SMA, S1, S2 dan S3. Dari tingkatan masing-masing Ijazah tersebut, tentu memiliki kwalitas yang berbeda. Dewasa ini Ijazah yang diasumsikan bisa dijadikan jaminan hidup, minimal Ijazah SMA. Jadi, jika hanya memiliki Ijazah SMP apalagi Ijazah SD, jaminan hdiupnya belum dimungkinkan.

Oleh sebab itu, untuk mendapatkan kemungkinan jaminan hidup harus melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Banyak diantara sebagian besar siswa yang mengorbankan dan meninggalkan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan. Barang kali masalah ini terkait dengan siswa yang berstatus santri. Tidak sedikit santri yang meninggalkan pesantren setelah mereka mendapatkan Ijazah, baik Iajazah SMP, SMA, atau S1.

Sepertinya, siswa yang menjadi santri, belajar di pesantren tujuan utamanya mencari Ijazah. Terbukti dari sekian santri yang rekomendasi ke pengasuh pesantren, mereka semua (sebagian paling besar) sudah mendapatkan ijazah (formal).

Jika dicari alasan kenapa mereka melanjutkan study dengan cara harus keluar dari pesantren, mungkin ada beberapa alasan. Pertama, jurusan yang diinginkan tidak tersedia di pesantren. Kedua, merasa tidak damai karena sistem pesantren yang terlalu “mencekam”. Ketiga, ekonomi tidak mendukung. Keempat, merasa malu atau gengsi jika hidup terlalu lama di pesantren. Atau dengan kata lain, takut dibilang, “seppo neng pondhuk” (hidup di pondok hingga tua). Kelima, berasumsi bahwa impian atau cita-cita tidak akan bisa diraih jika masih menetap di pesantren.

Oleh sebab itu, pengasuh mewanti-wanti santri dengan petuahnya yang terpampang di tembok-tembok pesantren, yaitu “mondhuk entara ngajih” (mondok untuk mengaji). Secara tersurat, petuah tersebut sangat jelas maksudnya, seseorang yang masuk pesantren harus mengikuti pengajian, baik pengajian al-Qura’an atau pun kitab. Namun, tujuan petuah tersebut tidak sekedar mengajak untuk mengaji. Akan tetapi terdapat arti tersirat yang menjadi sebab munculnya petuah tersebut, yaitu tidak boleh meninggalkan pesantren karena hanya sudah mendapatkan ijazah, harus menuntaskan lembaran-lembaran kitab kuning sehingga benar-benar paham. Insyaallah itulah tempat terukirnya impian hidup seorang santri di masyarakat.

 

Sumber gambar: google.com dan Ug1sNQEB7bg

Tinggalkan Balasan