Membicarakan sejarah perempuan, berarti membicarakan sejarah yang tidak diinginkan. Suatu sejarah di mana manusia tidak diposisikan sebagaimana manusia. Suatu sejarah yang sangat dibenci oleh kaum perempuan. Sebuah sejarah di mana penindasan sudah bukan hal yang dilarang, melainkan dianjurkan.
Salah satu sampelnya, kita bisa melihat pandangan masyarakat Yunani. Menurut mereka, perempuan bisa diperjualbelikan. Jadi, perempuan itu dalam pandangan mereka tak ubahnya barang yang bisa diperdagangkan. Mereka tidak menganggap perempuan sebagai manusia yang harus dihormati. Di samping itu, perempuan ada dibawah kekuasaan suami. Apapun keinginan suami harus dituruti, termasuk diperjual belikan sebagai wanita penghibur. Selain itu, kaum perempuan dalam pandangan mereka tidak punya hak sipil dan hak waris.
Di Romawi pun tak jauh beda, posisi perempuan tetap sangat rendah. Menurut pandangan masyarakat Romawi perempuan ada pada kekuasaan bapak jika belum nikah, dan berpindah pada kekuasaan suami saat telah nikah. Kekusaan di sini bersifat mutlak. Maka dari itu, seorang bapak atau ayah berhak untuk menjual, mengusir, menganiaya, dan membunuh anak perempuannya atau istrinya. Tentu ini terbilang cukup sadis untuk ukuran sekarang.
Sedangkan dalam pandangan masyarakat hindu di Cina, perempuan yang ditinggal mati suaminya harus juga mati, yaitu dengan cara dibakar hidup-hidup dibersamakan dengan suaminya. Makanya, ketika jasad suaminya dibakar, maka sang istri pun harus meloncat pada bara api untuk menyusul suaminya yang sudah lebih dulu dibakar. “Racun, ular, dan api tidak lebih jahat daripada wanita” dan “Anda boleh mendengarkan pembicaraan wanita, tapi jangan sama sekali mempercayai kebenarannya”, dua kalimat tersebut merupakan sebagian petuah cina kuno yang sangat menunjukkan betapa rendah dan hinanya seorang perempuan.
Di Inggris pada abad 19, tepatnya pada tahun 1805 undang-undangnya masih mengakui hak suami menjual istri. Pada tahun 1882 perempuan masih belum punya hak pemilikian secara penuh dan hak menuntut pengadilan. Juga pada tahun 1849, seorang dokter perempuan pertama di dunia diboikot karena dianggap tidak wajib memperoleh pelajaran.
Tentang rendahnya perempuan juga terlihat dalam pandangan masyarakat arab sebelum Islam datang. Bagi sebagian masyarakat arab, perempuan itu merupakan sebuah aib. Sehingga ketika melahirkan bayi perempuan, si orang tua akan merasa malu dan akhirnya akan mengubur si bayi hidup-hidup. Hal ini disinggung langsung oleh Allah melaui firman-Nya,
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ (58) يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ (59)
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah mukanya, dan dia marah 58. ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung hinaan ataukah akan menguburnya ke dalam tanah (hidup-hidup)?. Ketahuilah alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan 59“. (QS. al-Nahl: 58)
Sayyidina Umar termasuk yang pernah melakukan hal ini ketika beliau masih belum memeluk islam. Makanya, kalau ingat tentang masalah lalu beliau ini, pasti beliau menangis.
Sejarah itu kemudian berubah setelah islam datang. Islam yang punya selogan “Rahmatan li al-‘Alamin”, sedikit demi sedikit islam merubah posisi perempuan. Misalnya praktek perbudakan sudah tidak dikenal lagi. Islam pun memberikan hak waris pada perempuan, yang sebelumnya perempuan tidak berhak mendapatkan hak waris, sebab perempuan pada saat itu bisa diwariskan. Pengharaman perzinahan, sehingga tidak muncul lagi tempat-tempat prostitusi. Dan masih banyak lagi langkah-langkah Islam untuk mengangkat derajat perempuan.
Sumber Gambar: id.muslimvillage.com