Fatwa Aneh; Ulama Saudi Berfatwa “Istri Haram Menyalakan AC Saat Tidak Ada Suami”

0
1140

Seperti dikutip Republika, Seorang ulama Arab Saudi, merilis sebuah fatwa yang mengharamkan seorang perempuan menyalakan pendingin (AC) ketika suaminya tidak ada di rumah. Ulama yang menyebut dirinya Allamah Abu Al Barra itu menulis fatwa haram tersebut di halaman twitter-nya.

“Menyalakan pendingin oleh seorang perempuan tanpa kehadiran suaminya haram hukumnya,” . Demikian katanya.

Dia mengatakan tindakan seorang perempuan menyalakan pendingin (AC) ketika suaminya tidak ada adalah hal yang sangat berbahaya. Tindakannya dapat menyebarkan kemungkaran di tengah masyarakat.

“Ketika seorang istri yang sendirian menyalakan pendingin ruangan di rumah, itu bisa jadi tetangga akan menyadari bahwa sang perempuan berada di rumah,” tulisnya. ”Dengan demikian, hal tersebut bisa menimbulkan tindakan perzinaan serta kemungkaran lainnya.”

Kalau mau direnungkan, keputusan ini sungguh aneh, bahkan terlampau aneh. Hal ini bisa dilihat dari alasan keharaman tersebut, yakni hawatir akan timbul perzinahan.

Dalam ushul fiqh dalil yang dipakai (orang yang ngaku) ulama ini termasuk saddu al-dzari’ah, yang dalam bahasa mudahnya bisa diartikan sebagai tindakan prefentiv. Hanya saja yang perlu diingat bahwa para ulama masih memperdebatkan tentang kehujjahan dalil ini dan tidak sembarangan dalam menggunakan dalil saddu al-dzari’ah, dalam arti ada ‘aturan main’ (syarat-syarat) untuk menggunakan dalil ini.

Adanya ‘aturan main’ ini bukan tanpa alasan, melainkan demi terwujudnya kemaslahatan bagi umat manusia. Mengingat ketika dalil ini dipakai sembarangan, hanya akan mengantarkan pengekangan pada umat manusia, bukan lagi mengantarkan terhadap terwujudnya kemaslahatan.

Menurut salah satu pakar Ushul Fiqh, Imam al-Syathiby, al-dzari’ah terbagi menjadi empat ketika dipandang konskwensi buruk yang ditimbulkan, yaitu:

  1. Sesuatu yang sudah secara pasti akan mengantarkan pada mafsadah atau bahaya. Contoh gampangnya, menabur paku di jalan raya. Tentu adanya paku-paku tersebut akan menimbukjan mafsadah pada pengguna jalan.
  2. Sesuatu yang potensi untuk mengantarkan pada mafsadat sangat kecil. Semisal membuat sumur di tempat yang memang milik pribadi.
  3. Sesuatu yang berpotensi besar untuk menimbulkan mafsadat. Seperi menjual senjata pada perampok atau pembegal.
  4. Sesuatu yang sering menimbulkan mafsadat tapi tidak sampai dominan tapi juga tidak jarang. Semisal jual beli kredit.

Di antara yang empat ini, yang pertama sudah disepakati menimbulkan hukum haram dan yang kedua disepakati boleh. Sedangkan yang ketiga dan keempat masih diperdebatkan oleh Ulama.

Sekarang, dari yang empat macam di atas, ketika diteliti maka persoalan istri menghidupkan AC ketika suami tidak ada termasuk yang kedua, yakni kecil potensinya untuk mengantarkan pada mafsadat, bahkan sangat jarang. Disamping sudah jarang adanya mafsadahnya, ada mashlahah dengan dihidupkannya AC, berupa memberikan kenyamanan bagi istri untuk tinggal dirumah. Dengan demikian, fatwa yang disampaikan orang Arab Saudi itu tidak perlu diikuti. Argumen dari fatwa ini sangatlah lemah.

Dan yang juga perlu diingat, kita harus lebih cerdas lagi dalam menerima fatwa-fatwa. Karena terkadang fatwa yang dikeluarkan bukan memberikan solusi, melainkan memberikan masalah. Padahal dalam berfatwa itu tidak hanya persoalan hitam-putih, hukum. Masih ada hal lain di balik itu, semisal tentang nilai. Maka dari itu, Ulama terdahulu ketika dimintai fatwa tidak langsung menjawab. Mereka bertanya terdahulu pada yang minta tersebut tentang asalnya, bagaimana masalah sebenarnya, bagaimana kondisi di temat asalnya dan lain sebagainya. Pertanyaan ini bukanlah tanpa makna, tetapi agar fatwa yang dikeluarkan benar-benar tepat sasaran, sebab terkadang fatwa yang benar tapi karena digunakan oleh orang yang salah atau di tempat yang salah, akhirnya fatwa tersebut menimbulkan masalah. Sehingga berpedoman pada kaidah berikut ini sangat penting,

الأحمكام تتغير بتغير الأزمان والأمكنة

“Hukum bisa berubah dikarenakan perubahan waktu dan tempat”

Berlandaskan kaidah ini, kita dituntut hati untuk berfatwa. Jangan selalu menggunakan satu hukum untuk waktu dan tempat yang berbeda, karena keadaan kadang menghendaki hukum yang berbeda.

Image: islamtimes

Tinggalkan Balasan