Kain ka’bah atau dikenal dengan istilah kiswah ini ternyata dikerjakan sekitar 285 karyawan, dari yang bertugas menenun, memberi warna hitam, emas, dan perak, lalu membuat kaligrafi, merajut kain dasar, kemudian memprogram kalimat-kalimat tauhid di komputer sebelum ditorehkan ke permukaan kain, hingga tugas para penyulam itu. Mereka tampak khusyuk menikmati setiap jalinan benang yang ditisikkan ke dalam kain hitam.
»Mereka bekerja penuh konsentrasi, tak boleh salah,” kata Ali bin Suud, juru bicara pabrik kiswah yang berada di bawah Jawatan Wakaf Kerajaan Arab Saudi itu. Di pabrik dengan luas 10 hektare itu, 85 penyulam bekerja menyelesaikan dua kiswah setiap tahun. Satu kiswah dipasang di bangunan yang menjadi kiblat umat Islam seluruh dunia itu. Tingginya 14 meter dan memiliki lebar 7,5 meter pada tiap sisinya. Jadwal pemasangan kiswah itu selalu tetap: tiap tanggal 9 Zulhijah, ketika jemaah haji berangkat ke Arafah untuk memulai rangkaian ibadah haji. Kiswah satu lagi? ”Jadi cadangan, digunakan jika kain yang pertama cacat atau robek ketika dipasang.”
Puluhan seniman itu menyulam selama 8,5 bulan. Mereka mengerjakannya dalam 47 potong kain. Sebagian mengerjakan potongan kain yang bertulisan kalimat syahadat, sebagian lagi menyulam surat Ali Imran ayat 96, Al-Baqarah ayat 144, surat Al-Fatihah, dan surat Al-Ikhlas. Ada pula yang merajut asma-asma Allah yang dimuliakan. ”Pengerjaannya per bagian, lalu dijahit menjelang dipasang di Ka’bah,” kata Ali.
Seluruh proses itu membutuhkan 999 gulung benang sutra yang jika dibentangkan panjangnya lebih dari satu kilometer per benang. Berat benang sutra tersebut mencapai sekitar 670 kilogram. Ini belum termasuk bordir yang berisi 15 kilogram benang emas. Lantaran menggunakan bahan baku yang sangat berharga seperti sutra, emas murni, maupun perak, harga produksi kiswah pun sangat mahal, sekitar Rp 50 miliar!
Dari mana sutra-sutra mahal itu didapat? ”Sutra diimpor dari Italia, mesin pemintalnya dari Swiss,” kata Ali. Sutra terbaik Italia berpusat di Provinsi Firenze, sebuah daerah yang sering disebut sebagai ”ibu kota Eropa untuk komoditas sutra dan wol”. Firenze, yang berpusat di Florence, tak seperti kota Roma yang menyerap semua unsur-unsur Romawi kuno maupun modern. Firenze menolak semua pengaruh non-Renaissance. Firenze pernah menjadi ibu kota Italia di abad ke-19.
Jika kini pemerintah Saudi lebih memilih Italia sebagai ”kiblat” sutra buat kain Ka’bah, penguasa tanah Hijaz (Arab Saudi) zaman dulu ternyata memilih kain dari Yaman, Irak, atau Mesir. Ka’bah pertama kali »berpakaian” pada 2.500 tahun silam, ketika suku Jurhm dari Yaman menguasai tanah Hijaz. Raja Tuba dari Hymir, Yaman, memasang kiswah berwarna merah yang didatangkan dari negeri itu.
Pada zaman leluhur Muhammad, pemasangan kiswah menjadi tanggung jawab masyarakat Arab dari suku Quraisy. Keluarga Abdul Muthalib, kakek nabi yang mendapat amanat menjaga Ka’bah, menyelubungi Ka’bah dengan kain putih dari Yaman. Pemasangan kain itu bertujuan melindungi dinding Ka’bah dari kotoran, debu, serta panas. Kiswah juga berfungsi sebagai hiasan.
Ketika Mekah diambil oleh kaum muslimin, mereka memutuskan untuk menanggalkan kiswah. Tapi kebakaran besar di sekitar Ka’bah membuat Nabi kembali memerintahkan agar Ka’bah dibungkus dengan kain putih dari Yaman. Khalifah Abu Bakar, Umar, dan Utsman mengikuti tradisi menyarungi Ka’bah dengan memilih kain Koptik berwarna putih dari Mesir. Situs Emel.com menulis, kain halus ini dihasilkan oleh keturunan Kristen dari masyarakat Mesir kuno. Saat itu komunitas Kristen Koptik memang dikenal sebagai perajin kain dengan cita rasa seni yang tinggi.
Berikutnya, seiring bergantinya khalifah, Ka’bah pernah bersalin baju dengan rupa-rupa warna: merah, kuning, hijau, dan hitam. Jadwal pemasangannya pun pernah di bulan Muharam dan Ramadan. Namun, sejak Khalifah al-Mamun dari Dinasti Abbasiyah berkuasa, warna kiswah ditetapkan tak berubah dari waktu ke waktu: hitam. Lalu, pada 1340, tradisi pembuatan bordir diperkenalkan oleh penguasa Mesir. (Yahoo)
Image: jurnalistiktv