Imam Ghazali, Teolog dan Filosuf; Antara Pujian dan Kritikan (II)

0
594

Selanjutnya, Imam Abu Abdillah al-Maziri al-Maliki (w. 536 H) juga ikut meramaikan kritik terhadap beberapa pemikiran al-Ghazali, khusunya pemikiran yang ada dalam kitab Ihya’ Ulumiddin. Ada beberapa konsep yang dikritik oleh al-Maziri dalam kitab Ihya’ Ulumiddin, diantaranya, al-Maziri mengatakan bahwa Hadits-hadits yang digunakan al-Ghazali adalah lemah, disamping menganggap baik hal-hal yang berdasar pada realita. Al-Maziri juga menolak perkataan al-Ghazali “barang siapa meninggal setelah usia baligh, dan belum mengetahui bahwa Allah adalah bersifat Maha Dahulu (qadim), ia meninggal dalam keadaan islam menurut ijma’.[i]

Akan tetapi kritik tersebut ditolak oleh para pendukung al-Ghazali. Al-Subky -pendukung fanatis al-Ghazali- menolak keras kritik al-Maziri terhadap al-Ghazali. al-Subky menilai bahwa al-Maziri lebih menyenangi kejumudan sesuai dengan ungkapan tekstual, sedangkan al-Ghazali mendalami permasalahan dan cenderung pada isyarat-isyarat kelompok Sufi. Di samping berbeda cara pandang tersebut, perbedaan antara al-Ghazali dan al-Maziri juga dipengaruhi oleh perbedaan madzhab yang dianut antar keduanya. Mengenai penolakan al-Maziri terhadap ucapan al-Ghazali di atas, al-Subky mengatakan perlu dibedakan antara tidak mengetahui bahwa Allah itu Maha Dahulu dengan tidak mengakui bahwa Allah itu bersifat Maha Dahulu. Perkataan al-Ghazali menggunakan “tidak mengetahui”, bukan tidak mengakui. Jika menggunakan “tidak mengakui”, maka ulama’ sepakat itu dianggap kafir[ii].

Di antara pengkritik al-Ghazali adalah al-Hafidz Taqiyuddin Ibn al-Shalah. Kritiknya mengarah kepada perkataan al-Ghzali dalam muqaddimah kitab al-Mustashfa bahwa “Ilmu ini (mantiq) adalah pengantar semua ilmu, barang siapa tidak menguasainya, ilmunya tidak dapat dipercaya sama sekali”. Ibn al-Shalah menolak adanya ilmu logika (mantiq) dalam ilmu ushul fiqh, padahal para sahabat dan ulama salaf tidak mengetahui ilmu logika (mantiq).[iii] Dalam masalah ini, al-Subky kembali angkat bicara terhadap kritik Ibn al-Shalah kepada al-Ghazali. al-Subky mengatakan, kebutuhan terhadap ilmu mantiq belum muncul ketika masa sahabat dan tabi’in, karena pada masa itu sangat dipengaruhi oleh fitrah dan lingkungan di mana mereka tumbuh. Sedangkan pada generasi selanjutnya sangat perlu terhadap ilmu mantiq untuk mendapatkan ilmu-ilmu yang lain.

Abu al-Faraj Ibn al-Jauzi (w. 597 H), ahli sejarah dan fiqh juga ikut mengkritik al-Ghzali, ia mengatakan bahwa al-Ghazali menulis Ihya’ Ulumiddin atas dasar madzhab Sufi dan mengabaikan aturan-aturan fiqh, karena ia menemani para Sufi, menyaksikan keadaan mereka, melihat buku-bukunya dan ucapan orang-orang terdahulu dari golongan mereka, sehingga hal ini menarik dirinya dari apa-apa yang harus diperhatikannya dalam masalah fiqh.[iv] Al-Jauzi juga mengherankan, kenapa hal-hal seperti yang ada dalam kitab Ihya’ Ulumiddin keluar dari ahli fiqh seperti al-Ghazali. Kritik yang kedua dari al-Jauzi terhadap hadits-hadits yang digunakan oleh al-Ghazali adalah hadits maudhu’ dan hadits tidak shohih.

Selanjutnya, kritik dari Syeikhul Islam Ibn Taimiyah (w. 728 H) yang memiliki kelebihan dibanding al-Ghazali di bidang pengetahuan riwayah dan dirayah hadits, sehingga dikatakan “hadits yang tidak diketahui oleh Ibn Taimiyah bukanlah hadits Nabi Muhammad SAW”. Ibn Taimiyah termasuk pengkritik al-Ghazali yang lebih banyak dibanding dengan pengkritik yang lain. Ia mengkritik dari berbagai kitab yang pernah ditulis oleh al-Ghazali, di antaranya kitab Mi’yar al-Ilmi, Faishal al-Tafriqah, dan Jawahirul Qur’an. Dalam kitab-kitab ini, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa ada pendapat dan ta’wil yang bertentangan dengan metode ulama’ salaf, dan termasuk jenis ucapan para filosuf serta orang-orang Qaramithah yang diingkarinya[v].

Kritik Ibnu Taimiyah selanjutnya adalah kitab Ihya’ Ulumiddin. Ia mengakui bahwa dalam kitab tersebut banyak sekali manfaat yang dapat diambil dari sana, akan tetapi terdapat juga materi yang rusak yang berasal dari ucapan para filosuf yang berkaitan dengan masalah Tauhid, Kenabian, dan Akhirat. Para imam mengingkari al-Ghazali dalam masalah ini, mereka mengatakan “al-Ghazali telah dibuat sakit oleh kitab al-Syifa karangan Ibn Sina dalam bidang filsafat. Dalam kitab Ihya’ Ulumiddin terdapat ucapan keliru dan kacau dari kaum Sufi.”[vi] Walau demikian, Ibnu Taimiyah tetap tidak bisa mengingkari bahwa dalam kitab Ihya’ Ulumiddin terdapat ucapan para Syeikh Sufi yang telah mencapai tingkat arifin dan lurus dalam prilaku hatinya, sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.

Ibnu Taimiyah membantah ucapan al-Ghazali “belajar ilmu mantiq adalah fardu kifayah” dan menganggapnya sebagai kesalahan besar, baik menurut syari’at atau akal. Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa ilmu mantiq itu ada yang hak dan ada yang batil. Ia juga mengklaim, ada beberapa kitab al-Ghazali yang masih diragukan sebagai karya al-Ghazali, sepeti al-Madhmun, al-Misykat, al-Ma’arij dan sebagainya. Karena keserupaan kitab tersebut dengan kitab-kita lain yang sudah jelas pengarangnya[vii].

Dari berbagai kritikan, tuduhan, dan tanggapan dari para cendikiawan muslim di atas. Sebenarnya, mereka tidak pernah menutup mata untuk melihat kehebatan, kecerdasan, dan  kepiawaian yang dimiliki oleh al-Ghazali. Mereka mengkritik al-Ghazali disebabkan oleh perbedaan referensi dan latar belakang budaya. Di antara para pengkritik di atas, baik al-Tharthusyi, Ibn al-Jauzi, dan Ibn Taimiyah, sama-sama memberikan penilaian yang positif kepada al-Ghazali.

Al-Tharthusyi misalnya, ia mengatakan bahwa “saya melihat sosok dan kata-katanya, saya pun tahu ia adalah orang pandai, keutamaannya banyak, intelektual dan pemahamannya tinggi serta terjun menggeluti ilmu cukup lama.”[viii] Ibn al-Jauzi juga berkata “ia telah menyusun kitab-kitab yang bagus, baik dalam ushul ataupun furu’, yang amat istimewa dalam keindahan susunannya, tertib bahasanya dan realistis ucapannya.” Ibn Taimiyah juga ikut memuji al-Ghazali, seraya berkata bahwa “pada kitab Ihya’ Ulumiddin manfaat di dalamnya lebih banyak dari pada yang harus ditolak.”[ix]

Jadi, sepedas apapun kritik terhadap al-Ghazali, ia akan tetapi menjadi Hujjah al-Islam dan Ensiklopedi umat Islam. Ia merupakan sosok unik dan langka, sosok yang tidak bisa ditiru oleh siapapun. Kecerdasannya, melebihi dari ribuan manusia yang ada di bumi. Ia tidak hanya sekedar pakar dalam satu bidang tertentu, tapi ia juga ahli dalam bidang-bidang yang lain. Sehingga, sangat wajar kiranya, jika ada pemikir yang lain yang berkonsentrasi dalam bidang tertentu untuk mengkritik beliau, menurut pemahaman yang mereka pahami, sesuai dengan referensi dan latar belakang budaya masing-masing.


[i] Ibid, hal 117

[ii] Ibid, hal 119

[iii] Ibid, hal 120

[iv] Al-Muntadzim, Jilid IX, hal 168 dan 170

[v] Yusuf al-Qardhawi, Op. Cit, hal 124

[vi] Ibid, hal 124

[vii] Ibid, hal 125

[viii] Thabaqah al-Sayfi’iyah, Jilid VI, hal 243

[ix] Yusuf al-Qardhawi, Op. Cit, 1997, hal 126

Tinggalkan Balasan