Judul buku: Al-Ghuluw wa Atsaruhu fi al-Irhāb wa Ifsād al-Mujtama’
Pengarang: As-Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki al-Hasani
Penerbit:–
Tebal buku: 48 halaman
Peresensi: Firdaus Pratama
Model-model kehidupan beragama kaum muslimin dewasa ini merupakan fenomena yang menarik bagi siapapun yang mengkajinya. Label-label yang disematkan pada Islam sendiri sebagai sebuah agama, seperti Islam liberal, fundamental, radikal, garis keras, moderat, ekstrim kanan atau kiri dan sebagainya merupakan konklusi dari fenomena keberagamaan atau pluralistis yang terjadi secara riil di tengah-tengah komunitas umat Islam. Jika ditelusuri lebih jauh, fenomena keberagaman tersebut merupakan dampak dari keberagaman pemahaman umat Islam terhadap Islam itu sendiri.
Keberagaman tersebut memang merupakan sebuah keniscayaan. Hal itu merupakan fitrah yang digariskan oleh Allah kepada manusia di muka bumi ini. Perbedaan-perbedaan yang terjadi di tengah-tengah umat manusia dalam memahami serta mengamalkan ajaran agamanya, khususnya di kalangan umat Islam, menunjukkan bahwa memang karena kehendak Tuhanlah perbedaan itu ada, dan itu harus diterima sebagai sunnatullah. Wa lan tajida li sunnatillāhi tabdīlan, demikianlah Allah berfirman.
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat sebagian kalangan yang tidak mau menerima adanya perbedaan. Kelompok ini tidak memberikan ruang toleransi sedikitpun bagi pemahaman atau tindakan yang berseberangan dengan kelompoknya. Tindakan semacam ini tentu bukanlah suatu hal yang arif, bahkan memiliki peran yang cukup besar dalam merusak tatanan kehidupan masyarakat madani yang diidam-idamkan.
Hal tersebut memang benar-benar terjadi di kalangan umat Islam. Terdapat beberapa kelompok umat muslim yang apabila ada kelompok lain memiliki pemahaman dan pengamalan berbeda dengan kelompoknya tersebut maka mereka cap sebagai kafir, musyrik, murtad, dan semacamnya. Klaim-klaim sesat tanpa bukti-bukti kuat terhadap kelompok lain di satu sisi dan sekaligus menganggap kelompoknya yang paling benar di sisi lain menjadi menu yang turut berperan dalam memecah belah ukhuwwah. Tidak cukup sampai di situ, tindakan-tindakan anarkistis yang disebabkan oleh perbedaan yang notabenenya masih bersifat ijtihadi ikut memperkeruh suasana. Ini merupakan ‘aib’ yang cukup memalukan bagi Islam sebagai agama yang mengusung jargon perbedaan adalah rahmat (al-Ikhtilaf Rahmatun).
Model keberagamaan semacam ini disebut dengan Ghuluw (keterlaluan/ekstrim), yang tentunya cukup meresahkan masyarakat muslim. Tak heran jika fenomena ini memantik para cendekiawan muslim untuk memperbincangkannya. Diskusi-diskusi digelar demi mencari akar masalah dan penyebab-penyebab munculnya fenomena tersebut. Ulama-ulama Makkah bahkan menyelenggarakan diskusi kenegaraan (al-hiwār al-wathany) sejak tanggal 5-9 Dzulqa’dah 1424 H sebagai bentuk kepedulian ulama dalam menangani masalah yang terjadi di tengah umat islam tersebut.
Dalam kesempatan diskusi tersebut, salah satu pembicaranya adalah As-Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki al-Hasani, seorang ulama terkemuka di Makkah al-Mukarramah. Pemikiran-pemikiran beliau mengenai ghuluw pada diskusi tersebut tertuang dalam buku beliau berjudul Al-Ghuluw wa Atsaruhu fi al-Irhāb wa Ifsād al-Mujtama’. Melihat judulnya, pembaca dapat mengetahui bahwa beragama dengan corak ghuluw ini berefek negatif pada kehidupan masyarakat.
Menurutnya, ghuluw adalah sikap yang keluar dari prinsip wasath dan I’tidal (moderat) di mana prinsip tersebut sangat dijunjung tinggi oleh Islam sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an (QS. Al-Baqarah [2]: 143). Yang membedakan antara Islam dan agama samawi lainnya (Yahudi dan Nasrani) adalah prinsip tersebut. Yahudi disebut ghuluw sebab mereka sangat keterlaluan dalam mendustakan nabi-nabi Allah. Tidak cukup sampai di situ, beberapa dari para utusan Allah tersebut dibunuh oleh mereka. Sejarah juga membuktikan, bahwa umat Yahudi menebar teror dan kelaliman di mana-mana.
Sebaliknya, orang Nasrani sangat keterlaluan dalam mengkultuskan nabi Allah. Orang Nasrani bahkan mengangkat nabi Isa sebagai Tuhan. Padahal beliau hanyalah makhluk biasa yang dipilih oleh Allah untuk mengamban tugas menyampaikan pesan-pesanNya. Tidak cukup sampai di situ, orang-orang Nasrani juga menjadikan pendeta-pendeta mereka sebagai salah satu pemegang otoritas yang harus ditaati seumpama Tuhan. (hal. 15-18)
Benih-benih ghuluw dalam umat Islam ternyata sudah tumbuh sejak zaman Rasulullah. Ada yang beribadah shalat malam penuh tanpa istirahat, berpuasa satu tahun penuh, ada yang sampai tidak mau bersentuhan sedikitpun dengan perempuan. Hal ini termasuk ghuluw, sebab Rasulullah sebagai orang dengan kualitas ketakwaan paling top tetap memiliki waktu untuk beristirahat. Sewaktu-waktu beliau juga tidak berpuasa, dan sebagaimana manusia lainnya, beliau menikahi wanita. Besungguh-sungguh dalam beribadah itu memang tidak dilarang. Akan tetapi, jika ibadah dilakukan sampai menghilangkan aspek-aspek fitrah kemanusiaan, maka tentu hal tersebut bukanlah hal yang baik untuk dilakukan. (hal. 19-20)
Pada masa-masa sekarang, bentuk-bentuk tindakan yang terindikasi ghuluw sangatlah beragam. Salah satu yang diungkap dalam buku ini adalah tentang terlalu mudahnya klaim kafir, sesat, dan semacamnya terhadap kelompok atau orang lain yang berseberangan. Di buku ini disebutkan bahwa sebagian penganut aliran-aliran yang berkembang di tengah-tengah umat Islam tidak jarang mengkafirkan satu sama lain dengan serampangan tanpa bukti-bukti dan diskusi ilmiah. Klaim-klaim serampangan ini melahirkan dampak yang cukup buruk bagi kehidupan sosial umat Islam. Buktinya, api pertentangan yang tak kunjung padam antara kelompok syiah dan sunni melahirkan teror-teror berkepanjangan bagi masing-masing kelompok. Tidak sedikit nyawa yang melayang akibat pertentangan tersebut. Dalam kasus yang lain, perbedaan dalam persoalan teologis (kalam) antara penganut Asya’irah dan yang lain seringkali berakhir dengan percekcokan yang keluar dari nilai-nilai Islam. Kitab-kitab dibakar, di antaranya kitab Fath al-Bārī karangan Ibnu Hajar. Ulama-ulama sufi pun tidak luput dari serangan ini. Para penganut thariqat ini pun diklaim telah keluar dari Islam. (hal. 20-24)
Menurut ulama Makkah yang karangan-karanganya juga tersebar di Indonesia ini, salah satu ‘kompor’ bagi api perpecahan yang mengakibatkan porak-porandanya ukhuwwah islāmiyah umat Islam adalah buku-buku yang bernada provokatif yang dibuat untuk menyudutkan kelompok lain. Para penulis buku-buku semacam ini tidak memperhatikan pembacanya. Mereka tidak mau tahu jika terjadi tragedi perpecahan yang disebabkan oleh buku tersebut. (hal. 24)
Selain itu, menurut Beliau yang paling tampak dari bentuk ghuluw adalah fanatisme madzhab. Orang yang sudah masuk kategori fanatik tidak mau menerima pendapat orang atau kelmpok lain dan hanya membenarkan pendapat kelompoknya sendiri. Di samping itu, bentuk ghuluw yang ramai saat ini yaitu tindakan intelektual muda yang ‘berani’ melakukan ijtihad sendiri secara serampangan. Bahkan, mereka telah berani mencaci maki ulama-ulama salaf sekaliber Abu Hanifah, Imam Nawawi, Ibnu Hajar al-‘Asqalāny, dan sebagainya. Tindakan ini disebabkan oleh kedangkalan pemahaman mereka tentang agama. (hal. 35-38)
Penulis tampaknya ingin memberikan pemahaman kepada pembaca bahwa faktor utama sikap ghuluw/ekstrim dalam beragama adalah kurangnya wawasan keagamaan. Pengetahuan yang sempit cenderung membuat seseorang sembrono dalam bersikap. Bentuk-bentuk pelecehan berupa takfir-tadlil terhadap suatu kelompok, sikap fanatik dalam bermadzhab dengan tidak mau menerima pendapat mazhab lain, atau penistaan terhadap ulama dan karangannya merupakan akibat dari kedangkalan pemahaman keagamaan ini.
Dalam bukunya ini, memang As-Sayyid banyak menyinggung ragam-ragam tindakan yang berbau ghuluw berikut tanda-tandanya. Sayangnya, beliau kurang menjelaskan bukti-bukti konkrit berupa data-data yang cukup valid bahwa ghuluw benar-benar berefek negatif pada kehidupan sosial umat Islam. As-Sayyid juga tidak memberikan penjelasan mengenai bagaimana cara menanggulangi tindakan ekstrem tersebut. Namun demikian, buku ini dapat membuat pembacanya memahami bagaimana seharusnya beragama yang benar dalam naungan tawassuth dan I’tidal. (Img: alhikmah1)