Ambon, 7 Desember 1999.
Di Sepanjang jalan kecamatan Leihutu, kota Ambon aku tak henti disuguhi aktifitas masyarakat Muslim yang masih sangat berhati-hati. Senja ini seharusnya mereka girang menyambut hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1421 Hijriah. Namun Desa Morela masih tetap saja waspada. Disini samar-samar masih tercium bau angus, puing-puing rumah berserakan dimana-mana dan yang paling mengerikan ketika langit semakin gelap, isak pilu Morela terdengar semakin menyayat hati.
Ahhh, Morela… Kenapa aku terhempas di tempat ini. Ada kecewa yang selalu aku rasakan di setiap harinya. Di pengujung tahun 1999 ini sebenarnya aku merencanakan untuk pulang, aku ingin merayakan Idul Fitri dengan keluargaku di Kendari, tetapi sayang, pekerjaanku sebagai seorang Wartawan belum mengizinkanku untuk pulang melepas rindu. Rindu yang mulai membuat aku merasa bosan. Dengan keadaan yang masih sangat mencekam, aku berharap Allah akan selalu menjagaku dari mara bahaya, karena semakin larut di tempat ini semuanya bisa saja terjadi.
Ada beberapa pertanyaan yang selalu ingin aku sampaikan kepada Allah, apakah suatu hari nanti Allah akan memberikan kedamaian di tempat ini? Atau, mungkinkah Allah akan memaafkan para pendosa yang nekat menghancurkan damainya cinta penduduk Morela? Apabila aku boleh jujur, sebenarnya ini adalah masa tersulit dalam hidupku, aku tidak mungkin terus berada di tempat ini dan mati konyol. Jalan yang paling baik untuk aku lakukan adalah menyerah lalu pulang.
Tetapi aku tidak bisa lari begitu saja seperti pengecut. Aku tidak ingin pulang dengan kecewa tanpa mendengar sepenggal kisahpun tentang pasukan lebah. Hanya demi sepenggal kisah tentang betapa rukunnya pasukan lebah yang sedang kompak membangun sarang aku masih bertahan. Sarang itu tersusun dari lorong-lorong penyimpanan berbentuk heksagonal, tiap-tiap lorong berisi indahnya cinta dan persaudaraan yang menghindarkan mereka dari perang.
Semakin dalam memasuki Morela truk yang kami naiki terus terombang-ambing tak karuan. Astagfirullah, parah sekali jalan di tempat ini, bau keringat para relawan bercampur dengan bau obat-obatan yang menyengat membuat perutku terasa mual. Begitu truk yang kami tumpangi berhenti di sebuah posko, aku melihat seorang gadis kecil yang sedang termenung, tubuhnya kumal penuh debu. Gelap malam membuat keadaannya terlihat semakin kacau, apa gerangan yang telah menimpanya?
Perlahan aku menghampiri dan memotretnya, tiba-tiba ia menangis, suara yang ia keluarkan begitu serak dan lemah. Di otaku langsung berkelebat beberapa hal, apa yang harus aku lakukan untuk menghentikan tangis gadis kecil itu? “Assalamualaikum, Dek. Apa yang kamu lakukan ditempat ini? Di mana orang tuamu?” Aku terus dan terus mengalihkan perhatiannya, akan tetapi tangis gadis kecil itu tak kunjung berhenti. Astaga, selalu saja hal yang sepele seperti ini membuat aku gusar.
Namun berangsur-angsur tangisnya lenyap, sebenarnya aku tak mengerti apa yang diinginkannya, mungkin yang diinginkannya hanyalah sebuah dekapan. Gadis kecil itu tertidur seperti malaikat kecil yang rindu akan rembulan. “Dek, tak banyak yang bisa aku berikan untukmu. Tetapi, tidurlah di pelukanku, tidurlah dengan diiringi merdunya suara Takbir, aku yakin kamu sangatlah lelah, semoga setelah terbangun kamu akan merasa lebih baik” .
Ambon, 1 Desember 1999.
“ Shanti!!!, mau sampai kapan kau tidur!! Ayolah Bangun, Apa kau tak dengar sebentar lagi sudah imzak!!”. Aku masih saja malas untuk bangun, tapi semakin tak aku hiraukan, teriakan Ibu akan semakin kencang. Hoamm… padahal aku masih ngantuk. “Ia Bu, aku segera turun”
Aku melihat Ayah sudah selesai sahur dan sekarang tengah bermain dengan adik-adikku. Tentu saja di dapur masih ada Ibu, pasti sebentar lagi lengkingan tujuh oktafnya akan segera berlanjut. “Ayo Kak, segeralah kau makan!! Puasa sudah kurang satu minggu lagi! Masih saja kau bermalas-malasan!” Ya, seperti yang sudah aku duga. Menurutku Ibu adalah orang yang selalu saja berubah, terkadang beliau menjadi orang yang sangat tegas, bahkan Ayahku pun sering dibuatnya takut jika sedang marah, tetapi beliau juga sering menjelma menjadi malaikat dari surga yang lembut serta penuh cinta untuk keluarganya. Aku sangat menyayangi Ibu.
Entah kenapa bulan puasa selalu menjadi hari-hari yang indah. Aku bisa mencari kerang bersama teman-teman, bermain ancong-ancong seharian, mengaji di Masjid dan yang paling aku suka ketika bulan puasa tiba adalah libur selama satu bulan. Subhanallah! Betapa indahnya bulan Ramadhan, meskipun terkadang terasa lapar tapi tak apa. Puasa kurang satu minggu lagi, aku harus kuat, meskipun aku masih berumur sembilan tahun aku tidak boleh menyerah, Ayah dan Ibu sudah berjanji akan membelikanku rukuh dan sajadah yang baru apabila puasaku genap satu bulan.
Hari sudah mulai terasa terik, itu tandanya aku harus segera berangkat mengaji. Namun tak lama kemudian aku melihat Ayah pulang dari desa Mamaila, desa yang berada tepat di seberang desa Morela kami. Seperti biasa aku langsung berlari menghampirinya, tetapi aku melihat air muka pasi serta putus dari wajahnya. Apa gerangan yang tengah terjadi?
Ayah menepuk pundaku lalu berkata “Kak, segeralah kau bantu Ibumu untuk berkemas, karena sehabis berbuka kita akan segera meninggalkan tempat ini”. Ada nada prehatin dari kata-kata Ayah barusan, semuanya semakin terasa tidak wajar ketika Ibu juga mulai tersulut panik. Sepertinya ada peristiwa besar yang akan segera terjadi. Apakah sebentar lagi ada bencana alam besar sehingga kami harus segera keluar dan mengungsi? Atau, apakah salah satu dari saudara kami ada yang tertimpa musibah sehingga kami harus segera datang menjenguk?? Entahlah, tapi yang jelas kini aku mulai merasa takut.
Langit perlahan beranjak gelap, rasa aneh ini masih saja belum mereda. Setelah habis berbuka aku naik ke kamar melihat beberapa barang yang mungkin saja tertinggal. Kamarku hanyalah sebuah ruangan kecil berukuran 3 kali 3 meter yang dilengkapi dengan tempat tidur reot. Biasanya kamarku terasa sedikit sesak. Di sana-sini bertebaran buku, mainan dan pakain yang sangat berantakan. Ibu selalu menyuruhku merapikannya tetapi selalu saja kembali pada kondisi semula “Kapal pecah”. Kini kamarku sudah terlihat longgar, barang-barangnya sudah tersusun rapi di dalam kardus.
Tiba-tiba ada suara yang mendengung, dengungan itu terdengar seperti ribuan pasukan lebah yang sedang marah. Aku bergegas turun, dengugan lebah terdengar semakin dahsyat. Satu persatu pasukan lebah itu masuk kedalam rumahku. Mata mereka memerah, giginya bergemeretak, semua yang menghalangi mereka satu persatu telah dihabisi, rupanya pasukan lebah itu benar-benar marah. Di pinggangnya terselip sebilah parang yang sangat tajam. “Arghhhh!! Shantii… lekas lari, nakkk…” Ibu berteriak sambil menyeka leher ayah yang berdarah, derasnya darah yang mengalir membuat leher itu mengkilat. Aku tak kuasa menahan tangis. Aku berlari dan terus berlari hingga semuanya menjadi gelap.
Ambon, 8 Desember 1999.
Matahari terbit memancarkan warna-warna yang indah. Pertama-tama kilauannya berwarna ungu tua, merah muda lalu berubah menjadi jingga bunga serampai. Perubahan warna itu sungguh lucu seolah langit sedang bermain dengan selendangnya. Subhanallah, seandainya aku bisa terus terbangun di pagi hari. Hari ini masih pagi benar dan aku masih saja termenung di bawah alam yang tak mampu aku kenali.
Ketika kesabaranku mulai habis, Allah memberikan hadiah yang paling aku sukai dari semua perjalanan panjangku. Hadiah yang sangat spesial dan pasti sangat aku nikmati. Perlahan hadiah dari Allah mulai terdengar jelas, pasukan lebah dari seluruh penjuru Morela pun bisa mendengarnya. Hadiah itu datang dengan lembut menghampus marah, benci dan dendam dalam setiap hati pasukan lebah, hingga membuat mereka menjadi makhluk yang bersih tanpa dosa.
Hatiku terbuai, sampai tak terasa mulutku mengikuti alunan Takbir. Apabila Morela memiliki mata dan dapat melihat pastilah ia sedang tersenyum, karena pasukan lebah yang dulu saling membunuh kini telah saling memaafkan. Masjid sudah tak sabar menunggu pasukan lebah berkumpul, sudah terbiasa seperti itu, rupanya ia sudah tak sabar ingin kembali ramai dengan pasukan lebah yang lincah merangkai kalimat pujian kepada Sang Khaaliq.
Semua pasukan lebah terlihat cerah menuju Masjid. Diantara kerumunan pasukan lebah ada gadis kecil dengan gelembung suka cita di hatinya. Ia turut membangun sarang dan menyudahi semua amarahnya. Jiwanya sungguh besar melebihi samudra. Pasukan lebah dengan ramah menuntunnya menyusun lorong heksagonal, tiap lorong berisi indahnya cinta dan persaudaraan yang menghindarkan mereka dari perang untuk selamanya. Allahu Akbar… Allahu Akbar… Allahu Akbar…,, Wahai Morela… kini sepenggal kisah tentang pasukan lebah mulai membuatku mencintaimu.
Oleh: Wendhy Rachmadhany, Mahasiswa Universitas Nusantara PGRI Kediri , Jawa Timur, Img: tribunnews