لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Begitulah firman Allah yang termaktuk dalam al-Qur’an, sebagai penutup surat al-Baqarah. Seringkali ayat ini digunakan untuk menasehati atau menghibur orang yang sedang dililit masalah, orang yang sedang diberi cobaan oleh Allah. “Jangan terlalu bersedih, cobaan yang kamu hadapi pasti masih dalam jangkauanmu. Sebab Allah tidak akan menetapkan sesuatu di atas kemampuan hamba-Nya”, begitulah mungkin contoh nasehat yang disampaikan.
Untuk sekarang, ayat ini tidak akan kita gunakan untuk memberikan wejangan pada orang yang terkena masalah. Melainkan akan kita coba arahkan ke Ushul Fiqh. Sehingga, dengan melaluai ayat ini, kita akan bisa memahami salah satu aspek dari hukum Allah.
Perlu diketahui sebelumnya, bahwa hukum itu berkaitan dengan perbuatan, bukan dengan benda. Dan segala perbuatan manusia pasti memiliki hukum. Tidak ada satu perbuatan pun dari apa yang dilakukan manusia yang tidak memiliki hukum. Makan, minum, diam, duduk, tidur, dan lain sebagainya mempunyai hukum tersendiri. Jadi salah, kalau ada yang menyatakan bahwa ada sebagian perbuatan manusia yang tidak memiliki hukum. Hal ini pernah dilontarkan oleh Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, salah seorang guru besar di Universitas al-Azhar.
Oleh karena perbuatan manusia memiliki hukum, maka sudah pantas kalau mereka disebut mukallaf yang bisa diartikan “yang dibebani hukum”. Dari ini digambarkan bahwa hukum itu merupakan sesuatu yang memberatkan. Dan hal itu memang begitu adanya. Mengingat kata pembebanan memang menunjukkan bahwa apa yang dibebankan itu memiliki nilai memberatkan. Sedangkan sesuatu yang dibebakan itu tidak lain adalah hukum.
Ketika hukum disebut sebagai sesuatu yang dibebankan. Maka ada dua kemungkinan, yaitu mampu untuk melaksanakannnya dan tidak mampu. Saat seorang mampu untuk menjalankan ketetapan hukum yang ada maka hal ini tidak akan menimbulkan perseoanlan. Baru akan muncul sedikit kejanggalan apabila yang dibebankan oleh Allah kepada manusia itu berupa sesuatu yang tidak mampu. Mungkinkan Allah membebankan sesuatu yang tidak mungkin dilaksakan?.
Untuk menjawab pertanyaan ini, maka kita bisa mengacu pada ayat di atas. Pada ayat tersebut Allah menjelaskan bahwa Ia hanya mentaklif dengan sesuatu yang masih dalam batas kemampuan hamba-Nya. Dari sini bisa disimpulkan bahwa Allah tidak akan memberikan pembebanan hukum kepada hamba-Nya di luar batas kemampuannya. Ini adalah salah satu bentuk keadilan Allah.
Namun kenyataaya, hal ini masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Masih ada ulama yang memperbolehkan taklif dengan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh manusia. Kalau ditelusuri lebih lanjut, dua pendapat ini sesungguhnya bisa dipertemukan. Yang mengatakan tidak boleh, beralasan bahwa Allah adalah Dzat yang Maha Bijaksana, sehingga tidak mungkin mentaklif di luar batas kemampuan manusia. Sedangkan yang menyataka boleh, karena berfikir bahwa Allah itu Maha Berkehendak, terserah Allah mau melakukan apa saja. Jadi pada dasarnya dua pendapat ini tidaklah berbeda, sama-sama benar ketika dipandang dari dua sudut yang berbeda.
Sebagai contoh dari tidak adanya taklif dengan sesuatu yang di luar kemapuan hamba-Nya, Allah tidak memberikan hukum pada sesuatu yang bersifat naluriah. Seperti marah, kecewa, cinta, dan lain sebagainya.
Salah satu dalil konkritnya, nabi pernah berdo’a,
اللهم هذه قسمتي فيما أملك فلا تؤاخذني فيما تملك ولا أملك
“Ya Allah ini adalah caraku menggilir (istri-istrinya) dengan apa yang aku miliki, oleh karena itu jangan kau siksa aku sebab apa yang Engkau miliki, sementara aku tidak memilikinya”
Maksud dari doa ini, nabi hanya bisa memberikan kesamaan dalam memberikan perlakuan yang sama kepada istri-istrinya dengan secara adil memberikan hak mereka, berupa bermalam di rumah setiap istrinya. Nabi belum bisa memberikan rasa cinta yang sama. Mengingat cinta itu di luar batas kendalinya. Dalam kasus ini kebetulan memang istri yang paling dicintai nabi adalah Siti Khadijah. Bahkan nabi pernah marah besar ketika Siti Aisyah cemburu dan melontarkan kata-kata yang sedikit merendahkan Siti Khadijah.
Lantas bagaimana dengan ayat atau hadits yang secara jelas berkaitan dengan hal yang yang bersifat naluriah ini. Misalnya, ada sabda Nabi yang melarang umatnya untuk marah. Maka sesungguhnya yang dilarang adalah melakukan hal-hal buruk yang biasa terjadi sebagai akibat dari marah itu. Sebab orang yang sedang marah memang sering kali melakukan hal-hal yang tidak baik. Hadits tersebut juga memberikan petunjuk bahwa ketika ada orang yang marah maka hendaklah mencari cara untuk meredamnya.
Dari pembahasan ini, kita sudah tahu bagaimana Allah menunjukkan salah satu kebijaksanaan-Nya, dengan hanya mentaklif dengan sesuatu yang bisa dilakukan hamba-Nya. Allah tidak mau berlaku otoriter,layaknya raja yang lalim. Walaupun pastinya Ia sangat bisa untuk melakukannya, karena Allah Maha Berkehendak. Sungguh Allah Maha Bijaksana.