[Cerpen] Kakak dan Si Merah Jambu

0
359

Dina adalah kakakku. Dia kakak yang sangat baik, tempat curhat utamaku, juga teman yang sangat menyenangkan. Aku sangat sayang kepadanya. Seringkali aku bercakap dengannya tentang apapun yang aku alami. Seperti hari itu, saat aku tak tahu bagaimana menceritakan apa isi hatiku dan hanya tersenyum sambil menggenggam tangannya. Sepertinya kakak bisa membaca isi hatiku karena saat itu ia langsung berkata, “Oh, ini tentang seorang cowok kah?”

Beberapa jam sebelumnya, aku mengikuti kelas ekstrakulikuler seni kaligrafi di SMA-ku seperti biasa. Aku duduk dengan orang yang tak begitu kukenal. Teman sebangkuku yang biasanya kali itu tidak hadir. Dalam kelas itu para murid diharapkan duduk berdua karena satu kotak peralatan kaligrafi dapat digunakan berdua. Maka, duduklah Bayu, cowok yang hanya kuketahui namanya itu di sampingku karena teman sebangkunya juga tidak hadir. Karena belum begitu kenal, aku tak berani mengajaknya bicara atau bahkan menyapanya. Semua berjalan lancar sampai secara tak sengaja aku menumpahkan tinta kami dan mengenai kertas gambar cowok itu.

Aku merasa sangat bersalah. Kubersihkan tumpahan tinta itu sambil tak henti-hentinya meminta maaf padanya. Bukannya marah, dia malah ikut membersihkan dan mengatakan itu bukan salahku. Tak lama kemudian guru kaligrafi kami datang ke meja kami dan menanyakan apa yang terjadi. Guru yang murah senyum itu pun berkata hal sama seperti cowok di sampingku, tinta yang tumpah itu bukan salahku. Setelah memastikan kertas gambar cowok itu masih dapat digunakan, Pak guru melanjutkan pelajaran. Meskipun dua orang telah meyakinkan kejadian itu bukan salahku, aku tetap merasa bersalah. Aku terlalu ceroboh hingga botol tinta sekecil itu bisa terguling.

Selama sisa pelajaran hari itu, konsentrasiku hilang. Beberapa kali aku melirik ke kertas gambar orang di kiriku tersebut, lalu ke wajah si pemilik kertas gambar itu. Tak ada tanda-tanda kekesalan muncul di wajahnya. Saat tiba-tiba matanya menatapku, dia malah tersenyum. Sebuah aliran listrik muncul dari perutku menuju ke otak. Seketika aku memalingkan mukaku dan tak lagi melirik ke arahnya.

Aku menceritakan itu semua kepada kak Dina dengan bersemangat. Tanganku menggenggam tangannya sambil menaik-turunkannya. Kak Dina hanya tersenyum menunggu aku selesai bercerita.

“Dia baik ya, mbak.” Aku mengakhiri ceritaku.

“Kalau menurutmu begitu, ya berarti memang begitu.”

Suara adzan dari HP kakak mengakhiri percakapan kami. Seperti biasa kak Dina mengajakku sholat berjamaah, lalu dilanjutkan mengaji bersama. Yang tak biasa adalah setelah itu kak Dina menanyakan hal yang tak biasa.

“Dik, apa tadi kamu lupa sholat dhuha? Atau sholat dhuhur tadi kesorean?”

Pertanyaan tiba-tiba yang aneh, tapi benar-benar seperti mengintip apa yang kulakukan.

“Eee… iya mbak, aku lupa tadi. Baru ingat kalau belum sholat dhuhur pas udah hampir adzan asar.”

“Astaghfirullah. Kenapa bisa lupa, dik?”

“Itu mbak… ada tugas susah tapi harus dikumpulin pulang sekolah tadi.”

“Terus, udah sholat dhuhur?”

“Iya, udah…”

“Lain kali jangan dilakuin lagi lho. Sesibuk apapun, kita nggak boleh lupa sama Allah. Kamu harus minta maaf sama Allah. Mbak takut nanti Allah marah sama kamu. Kamu juga nggak mau kan Allah marah?”

“Iya, mbak.” Aku memeluk erat kak Dina. “Makasih ya, mbak… Aku nggak mau Allah marah, terus ngambil mbak dari Sarah.”

Di hari yang lain, aku kembali merasakan getaran aneh saat berpapasan dengan Bayu, apalagi kali itu dia pertama kali menyapaku. Saat kelas kaligrafi, entah kenapa dia memilih untuk duduk di sampingku lagi. Hal itu membuat jantungku berdetak tak biasa. Sampai kelas kaligrafi berakhir, aku tak dapat mengendalikan diriku yang tiba-tiba ingin tersenyum dan beberapa kali mencuri pandang ke arahnya. Aku merasa seperti berada di lift yang tak berujung, seperti melayang. Inikah rasa yang biasanya dinamakan cinta oleh banyak orang?

Tak lama kemudian, Kak Dina mendapat pekerjaan di luar kota. Sangat berat rasanya melepas kakak. Tapi bagaimana pun, hal itu harus dilakukan. Dan akhirnya, kami hanya bisa berkomunikasi lewat telepon, hampir tiap hari seperti saat kakak ada di rumah. Memang rasanya sangat berbeda daripada saat Kak Dina ada di rumah. Aku merasa kesepian saat ayah-bunda belum pulang dan Kak Dina belum menelepon.

Siang itu seperti hari jumat lainnya, aku mengikuti kelas kaligrafi. Rasanya berbeda sejak Bayu dekat denganku, aku merasa lebih semangat ikut kelas kaligrafi. Ah, niat yang tak baik ini sepertinya dihembuskan oleh setan untuk melencengkan niat awalku.

“Sarah, ada sesuatu yang mau ku omongin. Jangan pulang dulu ya nanti.” Kemudian Bayu duduk di sebelahku.

“Kenapa nggak ngomong sekarang aja??”

Saat itu ruang kesenian masih sepi. Genap hanya ada aku dan Bayu setelah seorang temanku lainnya yang ada di ruang itu keluar.

Bayu duduk menghadapku. “Sarah…” dia diam hingga aku menoleh ke arahnya. “Aku suka kamu.”

Hatiku seperti berloncatan di atas trampolin. Entahlah, kurasa aku sangat senang perasaannya padaku sama dengan perasaanku padanya. Entah karena malu dia akan melihat semu merah di wajahku atau karena terlalu gugup, aku memalingkan wajah darinya, lalu tersenyum.

“Kamu mau nggak jadi pacarku?” sambung Bayu.

Aku menoleh lagi ke arahnya, terkejut mendengar kalimat tersebut. Aku bingung, hatiku masih saja berloncatan tapi tiba-tiba aku takut. Terlintas bayangan kak Dina yang merengut dan menggelengkan kepala. Senyumku tiba-tiba hilang dari wajahku.

“Sarah…” Bayu memegang sebelah tanganku.

“Aku nggak bisa jawab sekarang. Maaf…” kubiarkan tanganku tetap dipegangnya.

“Aku serius, aku janji nggak akan nyakitin kamu.”

“Maaf, aku… aku harus pergi. Tolong izinin ke pak guru. Terima kasih.”

Kutinggalkan ruang kesenian dan membolos kelas kaligrafi. Sama saja kalau aku tetap di sana, pikiranku tidak akan terfokus. Aku ingin menyampaikan apa yang kurasakan padanya, tapi aku tak bisa.

Sesampainya di rumah, aku tak sabar menunggu telepon berdering. Aku pun segera menghubungi nomor Kak Dina. Begitu senang saat kudengar suaranya, dan lagi Kak Dina sedang tidak sibuk.

“Terus kamu jawab apa, dik?” tanyanya setelah aku bercerita tentang yang Bayu katakan.

“Aku belum jawab, mbak.”

“Kenapa?”

“Mbak Dina mau aku jawab apa? Aku bingung. Rasanya aku senaaaaang banget, tapi aku merasa ada hal yang menghalangiku untuk menjawabnya.”

“Dik, kamu ingat nggak yang dulu pernah mbak bilang? Tentang hubungan dengan lawan jenis, tentang bagaimana aturan agama kita tentang itu. Mbak kira kamu sudah paham.”

Aku ingat, berkali-kali Kak Dina memberi penjelasan tentang hal itu. Namun sepertinya saat kejadian sebenarnya menimpaku, berat untuk menerapkan materi-materi tersebut. “Aku lupa, mbak. Maaf. Aku terlalu…terbawa perasaan. ”

“Iya, nggak apa adikku sayang. Mbak tahu sepertinya ini pertama kali ada cowok yang berkata begitu padamu. Lagian juga apa untungnya meng-iya-kan dia? Apa adikku tersayang ini tahu apa emang perlunya pacaran? Mbak nggak mau cowok yang seenaknya mengucap kata-kata cinta ke cewek-yang-dia-mau itu mengambil adikku yang sangat kusayangi ini.”

“Mbak…” tak tahu mengapa air mataku menggenangi pelupuk mataku.

“Ya, sayang.”

“Terima kasih. Aku sayang Mbak. Aku kangen, aku ingin memeluk Mbak Dina. Cepat pulang ya mbak.”

“Sama, adikku sayang. Mbak usahain besok bisa pulang ya.”

“Wah, aku senaaaaang banget. Aku doain besok mbak bisa benar-benar pulang.”

“Dik, mbak mau ngingetin. Kalau hati kita berdetak nggak normal, bisa jadi alarm alami yang Allah tanamkan di dalam hati kita sedang mencoba mengingatkan bahwa tindakan kita tidak benar. Cepat-cepat istighfar kalau begitu. Sudah ya, assalamualaykum.”

“Iya mbak, waalaykumussalam.”

 

Besoknya, entah ketidaksengajaan atau memang dia berusaha mencariku, aku bertemu Bayu di dekat kelasku.

“Maaf ya. Sepertinya akan ada yang cemburu kalau kita pacaran.” Kataku dalam tundukku sebelum dia mengatakan apa-apa.

Dia terdiam sesaat, lalu berkata “Oh, begitu ya. Ya sudah.”

“Kamu tau siapa yang cemburu?” entah karena apa kata-kata tersebut keluar dari mulutku, dan semakin deras mengucur saat kulihat wajah penasarannya. “Tuhan cemburu kalau kita menduakan cinta-Nya. Kamu tahu nggak betapa Dia cinta kita? Kalau ternyata kita saling cinta bukan karena-Nya dan malah menurunkan cinta kita pada-Nya, bukankah Dia berhak cemburu? Aku nggak mau Dia cemburu lalu nggak cinta lagi padaku.”

Aku tak tahu kenapa, debar yang biasanya kurasakan saat berjumpa dengannya tak kurasakan kali itu. Aku mulai berpikir sepertinya yang kurasakan padanya itu bukan cinta, hanya kagum atau semacamnya.

“Kita harus lebih dekat dengan Dia, Sang Pemilik Cinta Sejati. Aku yakin cinta-Nya tidak akan merugikan. Aku pergi dulu.” Kataku lalu meninggalkan dia yang berdiri lemas.

Saat Kak Dina sudah datang ke rumah, dia memberi nasihat-nasihat tentang cinta. Bagi kakak, dia disebut cinta hanya akan digunakannya untuk menyebut perasaannya pada suaminya kelak. Selain kepada suaminya, perasaan yang mirip dengan cinta hanya dianggap Kak Dina sebagai rasa kagum, simpati, dan sejenisnya. Kak Dina mengingatkan bahwa siapa pasangan hidup tiap orang sudah diatur oleh Tuhan, jadi tak perlu cemas, tak perlu bingung mencari karena semua akan terjadi pada waktunya. Aku mencerna nasihat kakak tersayangku itu. Tak ada untungnya bagiku untuk menjalin hubungan khusus yang disebut pacaran. Tak ada pacaran islami, kata Kak Dina. Itu hanya upaya pelegalan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan, misalnya berduaan dengan lawan jenis, bersentuhan fisik, terbayang-bayang wajahnya selalu. Aku percaya pada kakakku, aku tahu dia tak hanya memberi nasihat tanpa melakukannya, aku tahu kakak berusaha menjagaku dari hal-hal yang tidak baik. Terima kasih, Kak Dina.

Oleh: Atiqotun Niswah, Mahasiswi ITS Surabaya, Img: layoutsparks

Tinggalkan Balasan