“Tidak ada waktu untuk liburan, ketika Anda menyadari betapa sedikit waktu yang ada, dan betapa banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk Islam,” kata Bilal Philips, mengawali kisah hidupnya dari seorang non-Islam, menjadi pakar Islam yang giat berdakwah.
Abu Ameenah Bilal Philips, merupakan seorang mualaf yang mengabdikan dirinya pada pendidikan Islam. Ia sangat terpesona pada agama yang dibawa Rasulullah ini hingga mempelajarinya ke Haramain, tanah kelahiran Islam. Setelah mumpuni berislam dari Universitas Madinah dan Universitas King Saud Riyadh, ia pun menjadi dosen teologi Islam bahkan membentuk Islamic Online University yang berpusat di Qatar.
Bilal lahir di Jamaika di tengah keluarga intelek. Kedua orangtuanya merupakan guru, kakeknya bahkan seorang pendeta dan pakar Al Kitab. Tak heran jika Bilal tumbuh menjadi seorang Kristen yang taat. Di usia 11 tahun, Bilal ikut keluarganya pindah ke Kanada. Di kota itulah ia kemudian mengenyam pendidikan dan tumbuh dewasa.
Bilal dan keluarganya sempat pindah ke Malaysia. Disanalah kontak pertama Bilal dengan Islam. Namun Bilal belum tertarik pada agama rahmatan lil alamin ini. Saat itu Bilal masih masih sangat muda dan lebih suka bermain musik rock ketimbang memikirkan agamanya.
Tak lama, ia dan keluarga kembali ke Kanada. Saat Bilal kuliah, pemuda tengah digandrungi pesta ganja. Namun Bilal tak ikut serta, fenomena itu justru membuatnya mengambil pelajaran biokimia disamping kuliah seni yang ia dapat dengan beasiswa.
Pencarian jati diri Bilal belum berakhir, di kampus ia tertarik dengan politik mahasiswa. Ia pun terlibat dalam aksi mahasiswa. Ia pun kemudian belajar sosialisme kemudian tergila-gila dengan Marxis-Leninis. Ia pun kemudian menekuni sosial-pilitik hingga pergi ke California. Ia bergabung dengan para aktivis kulit hitam disana.
Namun Bilal dikecewakan karena teman-temannya merupakan pecandu narkoba. Sikap anti-narkoba Bilal masih berakar kuat. Ia pun beralih haluan dan kembali ke Kanada. Bilal mempelajari ideologi lain. Ia kemudian terpesona pada komunisme di China. Sosialisme rupanya mengakar kuat pada hati Bilal.
Ia pun pergi ke Cina untuk mendapat pelatihan perang gerilya pendukung komunisme. Namun setibanya disana, Bilal merasakan hal sama saat ia bergabung dengan sosialis di California. Hanya saja kali ini bukan narkoba. Teman-teman komunisnya merupakan para perokok berat. Ia pun kembali kecewa. Ia kembali ke Kanada.
Saat kembali ke kampus, salah seorang teman perempuannya di kelompok mahasiswa dikabarkan memeluk Islam. Ia pun kemudian mulai mempelajari ajaran Islam. Ia membaca banyak literatur Islam dan ada satu buku yang memberikannya banyak pengaruh bagi hatinya. Buku tersebut bertajuk “Islam; agama yang disalahpahami” karya Muhammad Qutb.
Tak hanya mempelajari ajarannya, Bilal juga mempelajari sejarahnya. Ia pun terpesona dengan peran muslimin dalam pembebasan negara-negara Afrika dari kolonialisme Eropa. Bilal makin merasakan ketertarikan pada Islam. Ia pun mulai membela Islam hingga kemudian memutuskan bersyahadat. “Aku mulai membela Islam. Akhirnya beberapa introspeksi dan refleksi membuat saya memeluk Islam pada tahun 1972,” ujarnya dalam biografinya di SaudiGazzette.
Setelah berislam, Bilal ingin menyempurnakan pengetahuannya tentang Islam. Tak puas mempelajari otodidak, Bilal pun memutuskan pergi ke tanah kelahiran Islam, Arab Saudi. “Saya bergabung dengan Universitas Madinah dan mengambil gelar dalam Usoolud Deen (disiplin Islam) pada tahun 1979. Kemudian mengambil MA dalam teologi Islam dari Universitas Riyadh pada tahun 1985 dan menyelesaikan Ph.D., dalam Teologi Islam di tahun 1994,” kata Bilal yang sangat haus mempelajari ilmu.
Setelah menjadi pakar Islam, Bilal pun membagi ilmunya di banyak negara. Ia menjadi guru di Riyadh, menjadi dosen di UEA hingga berdakwah di Filiphina. Enggan membuang waktu, ia pun kemudian membangun kampus sendiri dengan pengajaran online, yakni Islamic Online University yang berpusat di Qatar.
Pengalaman Spiritual
Hingga memutuskan bersyahadat, Bilal sesungguhnya pernah mengalami sebuah peristiwa spiritual yang menegangkan. Kepada Saudi Gazette Bilal mengakui bahwa selama mempelajari Islam otodidak, ia hanya jatuh hati pada gaya politik Islam. Namun dalam hal keimanan, ia belum mampu membangunnya di hati. Konsep Tuhan yang selama ini ia pahami dalam filsafat komunis tentu sangat jauh berbeda dari Islam. “Dalam hati saya gagasan yang kabur tentang Allah masih ada,” ujarnya.
Keimanan pada Allah baru dirasakan Bilal setelah mengalami peristiwa menegangkan dalam mimpinya. Bilal bermimpi mengendarai sepeda ke gudang. Ia memasukinya dan segalanya gelap gulita. Bulu kuduk Bilal berkidik. Ia berusaha pergi darisana. Tapi sejauh apapun ia pergi, ia tak kunjung mampu keluar. “Serasa akan mati,” kisah Bilal.
Ia diliputi ketakutan yang sangat karena berada di ruang yang amat sangat gelap, tak ada setitik cahaya pun. Bilal pun mulai menjerit mencari pertolongan. Namun tenggorokannya tiba-tiba sesak tak mampu bersuara. Ia berusaha keras meminta bantuan, namun tak ada yang mampu ia lakukan. Badannya lemas, ia menyerah. Bilal pun terbangun.
“Mimpi ini meninggalkan kesan berat bahwa tidak ada yang bisa membawa saya keluar dari situasi seperti itu, kecuali Tuhan. Hanya Tuhan yang mampu membawa saya keluar dari keadaan putus asa mutlak, dan membawa saya kembali,” pungkasnya. (Republika)