Bersama dingginya hembusan angin, ia berjalan menyusuri setiap perjalanan dengan penuh rasa cemas. Perasaan yang tidak pernah dialaminya bahkan tidak pernah ia bayangkan. Seluruh tubuhnya mendadak kaku, tangan bibir seolah tidak mau menjalankan fungsinya. Ia hanya dapat tertunduk lemas tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Dari kejauhan terlihat tempat duduk sederhana dari batang pohon yang sudah tua. Ia tetapkan disanalah ia duduk beristirahat.
Lama sudah ia duduk disana bersama lamunannya akan kejadian beberapa bulan yang lalu. Saat akan menghadiri acara kajian islam bersama sahabatnya.
***
Dari kejauhan terlihat seorang wanita sedang berdiri di bawah pepohonan yang rindang. Ia mengenakan jilbab coklat muda. Pada kerudung segi empatnya yang tertata rapi terpasang bros yang berkilauan terkena pantulan sinar mentari. Tak ketinggalan kaos kaki yang di gunakanya pun coklat senada. Tergambar rekahan senyum manis dari bibirnya yang menambah penampilanya semakin anggun. Namun seiring waktu berjalan,raut mukanya berubah menjadi gelisah. Sesekali sambil melirik kanan dan kiri,ia terus memandangi jam tangan yang dikenakanya. Giginya tak henti-henti menggigit bibir yang nampak kemerahan. Sepertinya ia sedang kesal,jemarinya yang indah ia tekan-tekan layaknya orang yang sedang pegal.
“Ya Allah Nahla, sudah satu jam aku berdiri disini menunggumu. Mengapa engkau belum datang juga? Kau selalu saja datang terlambat padahal sudah janji akan datang tepat waktu.” Sambil memainkan sisi-sisi tasnya ia selalu memperhatikan setiap angkutan umum yang berhenti di dekatnya.
Bunyi nada dering panggilan masuk terdengar dari handphonnya. Segera ia ambil cepat-cepat dalam tasnya.
“Assalamu’allaikum, Nahla”. Salam Azra mendahului.
“Wa’allaikumussalam, Azra, maaf ya aku telat. Tadi kak Zidan menyuruhku untuk membelikan sebuah buku. Jadi aku terpaksa harus membelikanya.” Tanpa Azra menanyakan mengapa Nahla datang terlambat, ia langsung menjelaskan dengan rasa bersalah.
“Emm,begitu. Lalu engkau masih ada di mana sekarang?”
“Di Toko Geladi, sepertinya jika engkau menungguku pasti akan menambah lama jam penantianmu untuk menungguku, hehehe. Ra, engkau datang kesini saja ya? ”
“Ya sudah aku akan kesana. Aku tunggu di depan toko ya?”
“Siip. Oh ya aku belum sarapan. Bisa minta bantuan belikan bubur ayam Mang Halim sebelum engkau datang kesini? Maaf sebelumnya karena sudah merepotkanmu.”
“Baiklah,nanti akan aku belikan untuk sahabatku tercinta hehe”.
“Terimakasih ya Zra.Assalamu’allaikum”. Ucap Nahla pada Azra.
“Sama-sama. Wa’allaikumussalam”. Jawabnya sambil menutup sambungan telpon dari Nahla.
“Hemmmh,kalau tau begini ceritanya aku tidak akan datang sepagi ini. Pegal sekali kakiku berdiri satu jam di temani dengan kesemutan. Ya sudahlah,sesal tiada guna,hadapi dengan senyuman dan keikhlasan”. Sambil memberikan semangat untuk dirinya,Azra berfikir bahwa ia hendak berjalan kaki saja untuk sampai ke toko Geladi sambil mampir ke tempat Mang Halim. Selain itu jarak kedua tempat tersebut tidak terlalu jauh dari tempat berdirinya sekarang.
***
Suara salam Azra terdengar dari kejauhan oleh Mang Halim yang sedang melayani pembelinya saat itu. Mang Halim begitu senang dan terkejut saat melihat kedatangan Azra. Di warung Mang Halim inilah biasanya Azra dan Nahla sarapan pagi sebelum datang ke sekolah. Mungkin bisa di katakan bahwa kedua anak inilah yang menjadi pelanggan setia Mang Halim. Sampai-sampai terkadang mereka ikut membantu memberikan mangkuk-mangkuk yang sudah terisi oleh bubur yang di buat oleh Mang Halim kepada para pelanggan lainnya. Mang Halim juga tak lupa menanyakan kabar Nahla dan menanyakan mengapa Azra tidak bersama Nahla saat itu. Setelah pesanan selesai,Azra segera berpamitan kepada Mang Halim.
Tempat tujuan selanjutnya adalah toko Geladi. Pagi itu matahari memang menampakkan dirinya. Namun di tengah perjalanan Azra melihat langit berubah begitu cepat.
“Wah mendung. Padahal tokonya masih agak jauh”. Ucapnya sambil mempercepat langkah.
Sekitar tiga menit kemudian hujan turun dengan derasnya. Perkiraan Azra ternyata salah jika hujan akan turun saat ia telah sampai di toko Geladi.
***
Sambil mengatur nafas karena kelelahan berlari. Azra menoleh kanan kiri mencari tempat duduk untuk beristirahat. Setelah menemukan tempat duduk di depan toko Geladi,ia memeras-meras lengan bajunya yang basah. Seluruh pakaiannya basah. Hal tersebut terlihat begitu jelas seperti pakaian yang di celupkan pada air yang tidak diperas mengalirlah tetesan-tetesan air.
“Hemm,,basah deh bajuku. Nahla mana ya,kok belum keluar juga?”. Matanya terus saja melirik tempat kasir dan meneliti setiap pembeli yang keluar dari toko tersebut. Tak sengaja saat ia menemukan orang yang sedang di carinya dari kejauhan. Sesosok pemuda yang hendak keluar toko menghalangi pandangan Azra. Namun sontak Azra kaget saat pemuda tersebut melayangkan senyum padanya. Azra lalu membalas senyumnya dengan sedikit ekspresi wajah yang bingung. Setelah itu pemuda tersebut menundukkan kembali pandangannya. Posisi duduk Azra kemudian kembali kepada posisi semula,ia tidak berani lagi untuk melirik kebelakang.
“Pemuda itu siapa ya? Mengapa ia tersenyum padaku? Sepertinya aku mengenalnya. Jika terlihat sekilas wajahnya mirip seperti Kak Dza. Ahhh,mungkin hanya mirip. Jadi belum tentu benar.” Ia berbicara dalam hati sambil melamun.
Nama lengkapnya adalah Muhammad Hudzar Al-faruq. Namun teman-temannya sering memanggilnya dengan nama Dza. Ia adalah kakak kelas Azra waktu SMA dahulu,ketika Azra kelas 1 SMA Hudzar duduk di bangku kelas 3 SMA.
“Assalamu’allaikum Azra,emm rupanya sedang melamun ya?”. Dengan nada mengagetkan.
“Ehh…anu…ehh engga kok”. Jawab Azra sedikit gugup.
“Ah,tidak usah berbohong padaku,buktinya aku memberikan salam engkau tidak menjawabnya Ra”.
“Wa’allaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh”. Jawab Azra
“Nah gitu dong hehe”.
“La,tadi aku melihat sosok pemuda yang mirip dengan kak Dza.” Jelas Azra pada Nahla.
“Dimana?”. Tanya Nahla dengan penasaran
“Coba kau tengok ke belakang mungkin saja masih ada”.
Nahla langsung menoleh ke belakang. Mencari-cari orang yang di maksudkan Azra.
“Hai kak Dza”. Sapa Nahla dari kejauhan sambil melambai-lambaikan tangannya kepada Hudzar dengan gembiranya karena bisa bertemu dengan kakak sepupunya itu.
“Hahhh,kak Dza? Dza? Aku salah dengar kali ya karena kerudungku basah jadi suaranya tidak terdengar dengan jelas. Semoga saja salah dengar”. Azka tertunduk sambil mendekap tas di pangkuannya.
“Ra,Azra. Yang kau lihat tadi memang benar kak Dza.” Bisiknya dengan menyikut pelan-pelan tangan Azra.
“Oh,gitu ya?”. Dengan nada lemas ia hanya memandang genangan air hujan di depanya.
Hudzar langsung menghampiri Nahla.
“Hai juga Nahla,Assalamu’allaikum. Bagaimana kabarmu dan keluarga?” tanya Hudzar pada Nahla.
“wa’allaikumussalam.Alhamdulillah kabar kami baik kak.” Jawab Nahla.
“Oh ya kemarin kakak menghubungi kak Zidan tapi kenapa selalu gagal ya?”.
“Oh itu kemarin handphone kak Zidan sedang ada masaalah Kak”. Jelas Nahla.
Sementara Nahla dan Hudzar bercakap-cakap. Azra merasakan kedinginan yang amat sangat. Maklum tubuhnya memang sedikit lemah. Mukanya terlihat pucat dan tubuhnya sedikit menggigil. Ia terus saja mendekap tasnya.
“Kak Dza masih ingat dengan sahabatku Azra?”. Tanya Nahla pada Hudzar.
“Oh iya aku ingat”. Dalam hatinya ia berkata “Tentu aku ingat dan sangat ingat. Ia adalah wanita yang pernah ku minta untuk jadi pacarku”. Namun Dza masih bingung,apakah maksud jawaban Azra waktu itu.
“Assalamu’allaikum, Azra,bagaimana keadaanmu sekarang?”. Tanya Hudzar pada Azra.
“Wa’allaikumussalam, kak Dza. Alhamdulillah kabar Azra baik kak”. Jawabnya dengan lirih dan senyuman yang terpaksa namun tidak mengurangi rasa ketulusanya.
“Tapi wajahmu terlihat begitu pucat,bajumu juga basah”. Ujar Hudzar.
“Tenang saja kak,Azra tidak apa-apa kok”. Ucap Azra.
“Tidak apa-apa bagaimana? Lihat tanganmu gemetar”. Tambah Nahla membenarkan ucapan Hudzar.
“Ya sudah,pakai saja jaketku dahulu agar mengurangi rasa dinginnya”. Tawarnya kepada Azra. Lalu ia melepaskan jaketnya.
“Eh,tidak usah kak terimakasih. Azra tidak apa-apa kok,benar Azra tidak apa-apa”.
“Sudahlah Azra,terima saja. Dalam situasi darurat seperti ini tidak apa-apa. Selain untuk mengurangi rasa dingin juga dapat menutup lekuk tubuhmu. Kau tidak menyadarinya? Lihat kain bajumu menempel pada kulit dan tidak memberikan ruang sedikitpun”. Bisik Nahla pada Azra.
“Tapi…tapi..” Sambil menatap pakaianya. “Ah Nahla kau membuatku bingung. Ucapnya dalam hati”.
“Iya kak Nahla pinjam dulu ya untuk Azra”. Pinta Nahla.
“Nahla kau ini. Tidak kak,sungguh percayalah padaku”. Mata Azka meyakinkan pada Hudzar. Namun Hudzar langsung memalingkan matanya dari Azra. Ia pandang langit yang saat itu masih saja suram dan mendung.
“Ya tenanglah Azra. Kau sekarang lebih membutuhkanya. Maka pakailah. Aku tidak ada maksud apa-apa,tulus hanya membantumu.” Ucap Hudzar dengan nada bijaksana.
“Tapi bagaimana aku mengembalikanya?”. Tanya Azra dengan penuh kebingungan.
“Itu mudah,tidak usah terlalu kau fikirkan”. Jawab Hudzar dengan tenang.
“Terimakasih banyak kak”. Ucap Azra dengan berat hati.
“Sama-sama Azra. Nah sekarang kakak ada acara jadi harus segera berangkat. Jangan lupa jaga kesehatan kalian berdua. Assalamu’allaikum”. Jelasnya.
Sosok bertubuh tinggi dan berkarisma itupun lambat laun menghilang dari pandangan kedua wanita tersebut.
***
Sesampainya di tempat kajian,Azra merasakan ada sesuatu yang berbeda saat itu,mulai dari setiap orang yang berpapasan dengannya sampai dalam ruangan tersebut. Rasa gelisahnya muncul karena orang-orang disekitarnya memandang dengan tidak biasa padanya. Tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang menyapa Azra. Dia adalah Rafka teman sekelasnya waktu di SMA. Sontak Azra kaget saat jaket yang di kenakanya sama dengan yang di kenakan oleh Rafka. Dalam benaknya ia berfikir bahwa kak Dza juga hadir dalam Acara ini. Tapi yang masih Azra herankan tak pernah ia mengetahui bahwa saat ini Hudzar aktif dalam setiap organisasi islam padahal dulu ia jauh dengan hal-hal yang seperti ini.
***
Sudah seminggu Azra terbaring lemas di kamarnya. Ia demam setelah pulang dari acara tersebut. Namun hari ini nampak kesehatan Azra sudah sedikit membaik,ia dapat berjalan namun hanya sebatas ruang kamarnya. Azra berusaha melangkah mendekati jendela kamarnya dan membuka perlahan-lahan jendela tersebut. Matanya terpejam sambil berulang-ulang menyebut asma-Nya. Kicau burung begitu terdengar merdu,dahan-dahan terlihat begitu gaduh dan bunga-bunga tersipu malu saat angin menghampirinya.
Terdengar getaran dari samping meja kamar Azra,handphone Azra terlihat mengkerlap kerlipkan sinarnya kemudian di susul dengan nada dering pesan. Diambilnya handphone tersebut,kemudian ia baca perlahan-lahan.
“Assalamu’allaikum, Azra. Di pagi yang cerah ini semoga keadaanmu lebih baik dari keadaan kemarin. Untuk yang ke sekian kalinya aku mohon maaf karena sudah membuatmu menjadi sakit dan demam karena salahku yang selalu tidak tepat waktu. Keluargaku menitipkan salam untukmu dan ayah ibu mu. Oh ya,kak Dza hari ini akan datang kerumahmu dan esok harinya akan kembali lagi ke Semarang.wa’ssalamu’allaikum”.
Seketika Azra kaget dengan pesan dari sahabatnya tersebut. Matanya berulang-ulang membaca kalimat yang menyatakan bahwa hari ini kak Dza akan datang kerumahnya. Azra langsung menelpon Nahla tapi ternyata hendphonenya tidak aktif,mungkin karena batrainya lemah jadi langsung mati. Ia memutar akalnya berusaha agar hari ini kak Dza tidak jadi datang kerumahnya. Tapi usahanya sia-sia. Azra menghela nafas sambil duduk di kasurnya.
“Nahla kau sudah mengetahui hampir seminggu ini aku terkulai lemah di tempat tidur,mana sempat aku mencuci jaket Kak Dza. Nomor mu pun tiba-tiba sulit di hubungi. Apa yang harus aku lakukan”. Gerutu Azra sambil mencoba menghubungi Nahla.
Azra berjalan untuk mengambil jaket itu dekat pintu kamarnya. Setelah mengambilnya ,tak sengaja ia melihat tanggal yang di lingkari warna merah. Ia mencari catatan di sampingnya dan tertulis “tanggal 27,Khitbah”. Azra menelan ludanya dalam-dalam. Ia hampir saja lupa kalau hari ini ia akan di lamar. Tubuhnya lemas saat mengetahui hal tersebut,tanpa sadar ia menjatuhkan dirinya,duduk sambil memegang jaket kak Dza erat-erat di dadanya. Air matanya mengalir mengharu biru. Kepalanya terus saja tertunduk sambil memandangi jaket yang di genggamnya.
“Ya Allah,Dzat yang memiliki jiwa yang lemah ini. Apa yang harus Azra lakukan jika kak Dza datang saat acara khitbah tersebut? Azra tidak kuasa ya Allah. Azra masih melihat sorot matanya yang masih mengharapkan hamba. Azra tidak ingin melukai hatinya yang kesekian kalinya”.
Ia dekap kembali jaket itu erat-erat. Pada saku jaket tersebut Azra merasakan ada sesuatu di dalamnya. Ia mencoba untuk mengambil perlahan-lahan. Sebelumnya Azra mengira itu adalah uang kak Dza yang yang tersimpan di jaket tersebut dan lupa untuk mengambilnya. Tapi ternyata hanya selembar kertas. Kertas ini membuat Azra heran,sepertinya ia mengenal kertas tersebut dan ternyata benar itu adalah selembar surat yang ia berikan pada kak Dza enam tahun silam. Surat balasan saat Hudzar meminta Azra menjadi kekasihnya. Di bukanya kertas tersebut dengan hati yang berdebar-debar. Ia melihat terdapat banyak huruf yang sudah memudar warnanya seperti terkena tetesan air mata.
“Ya,Allah. Mengapa Engkau datangkan dan hadirkan kembali kak Dza di saat seperti ini?”. Azra terisak-isak menangisi kenyataan yang akan ia hadapinya.
***
Lama sudah ia duduk disana bersama lamunanya akan kejadian beberapa bulan yang lalu,saat akan menghadiri acara kajian islam bersama sahabatnya.
“Kau menyesali keputusanmu?”. Tanya seseorang yang telah duduk bersama Azra.
Azra kaget mendengar pertanyaan itu,ia langsung mengusap air matanya.
“Keputusan? Keputusan apa?”. Tanya Azra tanpa memandang wajah yang berada disampingnya.
“Keputusanmu untuk memilih aku sebagai suamimu?”. Jelas laki-laki tersebut.
Azra tidak menjawab pertanyaan dari suaminya tersebut,matanya kosong memandang kedepan.
“Apakah dalam hatimu masih ada laki-laki lain yang engkau cintai Azra?”. Tanyanya dengan lemah lembut.
Azra menolehkan muka pada suaminya,ia memandang mata suaminya tersebut yang seakan-akan menyuruh Azra untuk menjawabnya. Azra tetap saja berdiam diri,matanya memanas. Cairan hangat mengalir perlahan-lahan membasahi pipinya. Laki-laki tersebut menyodorkan sapu tanganya kepada Azra.
“Sudahlah Azra,jangan menangis aku tidak kuasa jika melihatmu menangis seperti ini. Aku tidak memaksamu untuk menjawab pertanyaanku. Aku mengerti jika dalam hatimu masih ada seseorang yang engkau cintai dan bukan aku”. Ulasnya sambil menenangkan Azra.
Bibir Azra bergetar saat ingin mengatakan sesuatu. Laki-laki tersebut dibuat bingung oleh tingkah Azra. Ia mencoba meletakkan tanganya pada kening Azra untuk memastikan keadaannya yang baik-baik saja atau tidak. Perlahan Azra memberikan bingkisan yang ada di pangkuannya pada laki-laki tersebut.
“Kak Dza,maafkan Azra karena telah membuka isi surat yang terdapat dalam saku jaket Kakak. Azra boleh mengetahui? Mengapa kakak masih menyimpan surat dari Azra sekian lamanya hingga hari ini?”. Tanyanya pada suaminya,Hudzar.
“Azra,jika engkau mengetahui. Saat engkau membalas surat dari ku beberapa tahun yang lalu. Sedih selalu merasuk dalam jiwaku untuk mengingatnya. Entah apa yang membuat ku seperti itu. Ku coba bicarakan hal ini pada Zidan saudara sepupuku,kakak dari sahabatmu Nahla akan kegundahanku saat aku menerima surat tersebut. Memang saat itu aku tak seprti Zidan yang selalu aktif untuk hadir dalam setiap kajian islam. Hingga sampailah ia mengajakku untuk selalu aktif disana. Sampai aku sendiri menemukan jawaban akan isi suratmu. Maafkan aku waktu itu karena telah memintamu untuk menjadi kekasihku yang belum halal. Aku simpan rasa ini bertahun-tahun. Aku tidak berani lagi untuk berbicara padamu setelah aku menerima surat tersebut. Azra,aku mencintaimu karena Allah dan karena agama yang ada padamu. Tapi jika engkau tidak merasakan hal yang sama,aku ikhlas untuk melepaskanmu. Meskipun aku sendiri harus belajar bagaimana mengikhlaskan engkau”. Jelas Hudzar sambil mengusap air mata Azra.
Decak kagum bergelora dalam hati Azra,suara alam membuatnya yakin akan penantianya selama ini. Deburan ombak terdengar begitu jelas saat air laut menghempaskan pada ssetiap karang-karang di laut. Suara deburan itu seperti apa yang ia rasakan saat ini. Tiba-tiba air mata Azra mengalir semakin deras. Ia dekap suaminya erat-erat dengan terisak-isak.
“Kakak,jangan tinggalkan Azra. Azra ingin selalu dekat kakak. Bukan tidak cinta. Tapi Azra ingin menjaga pada saat itu. Mungkin kakak belum paham atas apa yang Azra maksudkan waktu itu. Mungkin sekarang kakak sudah memahaminya. Azra selalu menunggu kedatangan kakak berharap agar kakak paham apa yang Azra maksudkan seperti sekarang ini. Jika mencintai pasti tidak akan berani untuk melukai. Jika mencintai pasti tidak akan berani menyakiti. Jika mencintai karena Allah maka ia tidak akan mengajak orang yang di cintainya untuk mengundang murka Allah. Kak,Azra tidak pernah mengetahui jika yang datang pada hari itu adalah kakak. Azra mengira yang datang itu adalah Dzaid fikri teman dari kak Zidan yang suka bersama-sama datang kajian namun ternyata Dza disini adalah kak Dza bukan kak Dzaid. Karena Kak Zidan saat menyampaikan maksudnya untuk memperkenalkan pada Azra sebelum khitbah berlangsung hanya nama Dza saja bukan nama asli”. Ucap Azra.
“Jadi,Azra menunggu kak Dzaid saat itu?”. Tanya Hudzar.
“Tidak kak.bukan maksud Azra seperti itu.”
“Lalu?”
“Jujur,saat Azra bertemu kakak di toko Geladi itu. Azra masih selalu berharap dan meminta pada-Nya. Meminta yang terbaik untuk segalanya. Jika kakak menyimpan rasa tersebut selama enam tahun. Azra menyimpan rasa tersebut dalam setiap do’a yang Azra panjatkan selama itu juga. Dan kini do’a Azra telah di kabulkan oleh-Nya.” Jelas Azra.
“Lalu apa yang membuat Azra menangis dan sedih saat ini?” tanya Hudzar pada istrinya dengan lembut.
“Ada seuntai do’a yang membuat Azra tak bisa menahan air mata ini. Do’a Azra untuk kakak. Do’a agar Allah selalu menjaga kakak di manapun kakak berada,do’a agar Allah menjaga hati kakak dan agar kakak selalu berbuat kebaikan,do’a agar melalui surat tersebut kakak mau memahami dan belajar islam lebih dalam dan menyeluruh. Dan ternyata kakak sekarang benar-benar mau belajar tentang islam.”
Hudzar begitu kagum dengan sifat,sikap dan pendirian Azra. Iya begitu yakin bahwa wanita yang ada di sampingnya merupakan wanita yang Allah pilihkan untuknya.
Rintik gerimis turun menemani Azra dan Hudzar di pagi yang masih gelap di pinggir pantai. Hembusan angin begitu kencang hingga menerbangkan daun-daun kering di sekitar mereka. Tangan Azra di angkat dan di lentangkannya,mukanya mendongak keatas lalu melihat tetesan-tetesan air yang sampai di kedua telapak tanganya. Sementara itu Hudzar membuka bingkisan yang Azra berikan tadi. Di dalam bingkisan tersebut terdapat jaket Hudzar dan selembar surat miliknya yang telah ia terima enam tahun silam. Ia buka perlahan-lahan surat tersebut dan ia kembali membacanya.
“Untuk yang telah terisi dalam relung-relung jiwanya.
Maaf ku ucapkan dengan kerendahan hati.
Bukan tidak mau untuk menyayangi ataupun saling mengasihi.
Tapi masih ada hal yang harus masing-masing kita jalani dan hadapi dalam hidup ini
Dari pada merajut tali kasih yang belum jelas keberadaanya.
Belum jelas dalam arti telah halal atau belum dalam menjalaninya.
Memang ku akui terkadang ada getaran yang muncul untuk meretakan dinding qolbu ini.
Diri ini hanya dapat berusaha untuk mempertahankan sekeping hati.
Untuk saat ini, aku ingin belajar memperbaiki ibadah-ibadah dahulu yang masih kurang baik.
Bila masih ingin menunggu,maka kita harus bersabar dalam penantian ini.
Bila masih ingin menunggu tak lupalah kita bersama-sama untuk istikharah memohon kepada-Nya.
Bila masih ingin menunggu,semoga Allah menetapkan keteguhan hati kita dalam waktu yang tidak pernah kita tau hingga di pertemukan dalam ikatan-Nya.
Namun jika ingin segera menyempurnakan separuh agamamu.
Maka pilihlah jalan yang terbaik dari segalanya.
Kita tidaklah pernah mengetahui akan umur kita,akan jodoh kita
dan hal-hal ghaib lainya yang hanya Allah mengetahuinya.
Bila Allah belum memberi kesempatan untuk menghadirkan yang kita inginkan.
Maka kelapangan hatilah yang harus kita perjuangkan.
Terimakasih dan maaf ku ucapkan untuk semuanya.
Maafku karena sudah hadir dalam hati Kakak.
Yang entah aku sendiripun tak pernah menyadari dan tak pernah ada niat untuk mengisinya dengan apapun.
Tak pernah pula terbesit untuk menyentuh hatimu, Kak.
~Azra Alifatul Husna~”.
Kemudian ia melirik di bagian bawah ujung surat tersebut dan tertulis “Kak Dza,Aku mencintaimu karena Allah. Dengan apapun keadaanmu dan masa lalumu. Aku akan tetap menjadi makmummu yang akan selalu engkau bimbing. Maafkan Azra bila selama ini telah menyakiti hati kakak dengan surat ini”.
~Untukmu Muhammad Hudzar Al-faruq suamiku,dari istrimu Azra Alifatul Husna ^_^ ~ ”
Oleh: Eki Arti Santia
Img: