Bulan purnama kembali datang, sinarnya yang terang membawa cerita indah untukku. Cerita masa lalu, masa sebelum peristiwa mengerikan itu terjadi. Tak kuasa aku membendung air mata jika mengingat masa- masa itu. Perlahan aku pejamkan mataku untuk mengingat peristiwa demi peristiwa yang pernah aku lalui. Semakin lama, aku semakin tenggelam dan mulai berenang dalam lautan kenangan.
Lagi-lagi wajah pria yang dulu aku kira akan menjadi imamku muncul dalam lamunanku. Teringat jelas betapa tegasnya dia saat berbicara dengan orang tuaku untuk memintakku menjadi Istrinya. Rona wajahku berseri saat menyaksikan orang yang aku cintai menyatakan niat tulusnya untuk menjadikan aku pendamping hidupnya. Aku merasa ada cahaya yang begitu terang jatuh dalam hatiku. Sinar itu membias masuk dalam lorong- lorong kalbu, menepis semua keraguan, dan mengantarkan jiwa pada keyakinan yang hakiki.
Bagaikan gerhana bulan saat bulan purnama, ketika pangeran yang datang dengan kuda putih itu mengurungkan niatnya untuk menjadikanku permaisuri di istananya. Bunga nirwana yang tertanam di taman hatipun seketika mati, saat dia menyatakan melepaskan diri dari tali kasih suci yang bersimpul pada ketulusan cinta. Kecelakaan yang menyebabkan rahimku diangkat itu bukan hanya sebagai musibah, tapi itu adalah petaka bagiku. Karena hal itulah yang menjadi alasan Iqbal meninggalkanku.
Aku tidak bisa mengingat bagaimana kecelakaan itu bisa menimpaku. Yang aku tau hanya ketika aku sadar aku sudah berada di rumah sakit, dan orang- orang bilang aku habis kecelakaan. Bertepatan dengan hari ulang tahunkku , aku keluar dari rumah sakit. Setelah oprasi dan dua minggu perawatan di rumah sakit , ahirnya dokter mengizinkanku pulang dan menyuruhku melakukan perawatan di rumah saja. Waktu itu Iqbal juga hadir untuk menjamput kepulanganku. Dan sepertinya tidak ada tanda- tanda dia akan meninggalkanku. Bahkan dia yang mendorong kursi rodaku sampai kamar, dia juga menemaniku ngobrol sampai sore hari, dan tidak lupa dia bawakan aku kado untuk ulang tahunku yang saat itu ulang tahun yang ke- 20.
“Aku pulang dulu ya. Udah sore, nanti malem aku balik lagi..” Katanya di ujung pembicaraan
“ Iya, kamu hati- hati ya di jalan. Titip salam buat Bapak sama Ibuk” Pesanku pelan sebelum dia pergi.
“ kamu baek- baek ya, jangan lupa makan dan minum obat..” pesannya balik. Aku hanya membalas kata- katanya dengan senyum. Setelah itu dia pergi meninggalkan aku yang berbaring di kamar.
…
Seperti janjinya, dia datang lagi malam itu. Tanpa permisi tiba- tiba dia mengejutkanku yang sedang berada di kursi roda menikmati kesejukan angin malam yang masuk lewat jandela kamarku.
“ Udah malem, nggak baik duduk di depan jendela.” Katanya sambil mendorong kursi rodaku menjauh dari jendela. Aku hanya bisa tersenyum menyambut semua perhatianny.
“ Mama tinggal dulu ya nak….” Pamit mama yang baru saja masuk bersama Iqbal.
“ Iya ma….” Jawabku bareng dengan Iqbal
Perlahan Iqbal mendorong kursi rodakku mendekati sova. Kemudian dia duduk di sova tepat di hadapanku. Entah kenapa, aku merasa ada yang beda dari tatapan mata Iqbal saat itu. Seperti ada hal penting yang ingin ia katakana padaku.
“ kamu kenapa, ada masalah?” Tanyaku penuh perhatian.
“ Aku ingin ngomong sesuatu sama kamu” Jawabnya sambil mengegenggam tanganku. Akupun hanya diam sebagai tanda aku ingin mendengarkan apa yang ingin ia katakana. Setelah sesaat kami berdua terdiam, ahirnya ia mulai berbicara.
“ Ayahku bilang ‘ cinta itu fitroh, dan Syari’at adalah penjaga’ Selama ini, aku telah banyak mengabaikan perkataan Ghofur tua. Aku selalu berfikir, Cinta itu dari Allah, sedangkan hukum itu adalah rekayasa manusia- manusia yang tidak pernah bebas dan dia juga tidak ingin orang lain bebas. Namun ternyata aku salah. Hukum itu berasal dari Allah, dan orang- orang yang taat dan mencintai kehidupanlah yang senantiasa menjaga hukum. Ghofur tua sekarang telah berhasil menyadarkan Ghofur muda. Dengan bekal kesadaran itu sekarang aku ingin menjadi manusia yang bertakwa. Yaitu manusia yang menjauhi perkara haram dan makruh, serta mendekati perkara wajib dan sunna. Maka dari itu, malam ini aku akan pergi dari kamu, karena kamu adalah bagian dari yang makruh itu.”
Tidak ada kata yang bisa aku ucapkan saat mendangar semua kata yang keluar dari lisannya. Air mataku yang mengalir tiada henti seakan berbicara banyak hal kepadaya. Aku lepaskan genggaman tangannya, dan aku jalankan kursi rodaku mendekati jendela. Dia mengikutiku dan duduk berlutut di hadapanku.
“ Untuk menghilangkan rasa cinta, aku yakin aku tidak bisa. Yang akan aku lakukan adalah mencari cara agar hukum itu bisa berubah” Lanjutnya
“ Perg!!!!!!!” Aku membentaknya
Mendengar perkataanku, dia langsung bangkit dari duduknya. Dia berjalan mundur kemudian berpaling dariku, lalu berjalan mendekati pintu. Sejenak aku menolehnya, dan sebaliknya, diapun menolehku sebelum melangkahkan kakinya keluar kamar. Sebenarnya aku masih bingung dengan maksud dia mengatakan menikah denganku itu hukumnya makruh. Rasa bingung akan hal itu tidak aku hiraukan karena aku lebih bingung mesti bilang apa nantinya sama Mama dan Papa akan kejadian ini. Tapi untungnya mereka bisa mengerti setelah aku jelasin semuanya.
…
Semenjak saat itu aku mulai merubah diri. Aku mencari guru sepiritual, yang tidak lain adalah teman kuliahku sendiri. Dia memiliki pengetahuan ilmu Agama yang bagus. Jadi aku berpikir dia adalah guru yang tepat untuk membimbingku. Dia pula yang menjelaskan tentang sebab hukum makruh menikahiku. Untuk mencarikan kesibukan baru buat aku, dia mengajakku untuk aktif dalam organisasi kampus. Dari serangkaian kegiatan itulah, aku mengenal beberapa pria namun tidak begitu akrab, hanya sekedar tau saja. Hingga suatu hari ada yang datang ke rumah untuk meminangku. Karena perubahan gaya hidupku yang mulai Islami, cara untuk meminangpun ikut berubah. Waktu bersama Iqbal aku bebas bertatap muka tanpa peduli bagaimana Islam mengaturnya. Sedangkan sekarang, aku mulai menaati aturan Islam saat berbicara dengan pria. Dan tak lupa ada papa yang menemaniku.
Kami isi pertemuan itu dengan saling melontarkan pertanyaan dan juga saling menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang kami lontarkan bergantian. Sampai tibalah saatnya untuk aku menjelaskan bahwa aku adalah perempuan yang makruh untuk dinikahi. Sebagai pria norma,l ia pun mengurungkan niat untuk menjadikan aku sebagai Istrinya. Terpukul itu pasti. Namun, aku berusaha menerima segala apa yang telah Allah takdirkan untukku. Aku yakin, jikalau sudah saatnya aku mendapatkan jodoh, pasti bakalan ada pria yang mau menerimaku.
Kejadian- kejadian semacam itu terjadi berulang kali dalam hidupku. Kadang aku merasa malu, putus asa, dan kasian terhadap orang tuaku yang berkali- kali aku permalukan di hadapan pria- pria yang datang meminangku. Pernah aku mencoba menolak kedatangan pria- pria itu. Namun, karena aku kasiahan pada Mama dan Papa yang memohon agar aku mau mencoba berta’aruf, ahirnya aku mau menemuinya. Padahal hasilnya sama saja, semua berahir pahit dan memalukan. Sebenarnya aku sudah tidak sanggup dengan ini semua. Hanya saja, kedua orang tuaku dan Amanda sahabatku yang selalu menguatkan aku. Jika dihadapan mereka, aku selalu bersembunyi di balik senyum palsu. Tapi kalau aku sedang sendiri, aku tumpahkan seluruh air mataku dalam tangisan bisu.
“ Nisaaaaaaaaaa….!!!!” Tiba- tiba suara mama memecah lamunanku.
“ Iya maaaaaa….” Sahutku sambil mengusap air mataku
“ Ada yang mau ketemu kamu…” Kata mama saat aku membuka pintu
“ Siapa?”
“ Udah nanti kamu lihat sendiri saja. Ayo cepat keluar”
“ Iya ma, aku ambil kerudung dulu”
“ Ya sudah mama tunggu di luar.” kemudian Mama pergi
Setelah memakai kerudung, aku langsung keluar untuk menemui orang yang ingin menemuiku. Saat aku cari di ruang tamu, ternyata orang itu telah duduk di balik tirai. Aku sangat penasaran siapa pria itu, hingga langsung aku tanyakan Pada Papa yang saat itu juga berada di ruang tamu.
“ Siapa dia pa?” Aku duduk
“ Tanya sendiri saja” Jawab papa sambil tersenyum
“ Assalamu’alaikum, anda siapa?” Tanyaku pada pria itu tanpa bahasa basi.
“ Wa’alaikumsalam Warokhmatullah, aku Rian. Niat aku kesini adalah untuk meminta kamu menjadi istriku. Apa kamu bersedia?” Dia langsung menyatakan niatnya.
“ Apa kamu orang yank bertakwa?” Tanyaku balik
“ Aku tidak tau. Tapi, aku berusaha dan ingin menjadi orang yang bertakwa” Jawabnya.
“ Jika kamu ingin menjadi orang yang bertakwa, tentu kamu akan menjauhi perkara yang haram dan yang makruh. Dan aku adalah bagian dari yang makruh itu”
“ kenapa demikian?”
“ Dalam sebuah hadits diriwayatkan. Ada seorang laki- laki menemui Rosulullah saw dan bertanya ‘ Sesungguhnya aku mencintai seorang wanita yang terpandang dan cantik, namun sayang ia mandul. Bolehkah aku menikahinya?’ kemudian Rosulullah saw samenjawab, ‘Tidak!’ Kemudian laki- laki itu datang untuk yang ke dua kalinya, namun Rosulullah saw tetap melarangnya. Kemudian ia datang lagi untuk yang ketiga kalinya. Maka Rosulullah saw bersabda ‘ Nikahilah wanita yang penyayang lagi subur, sesungguhnya aku berbangga dengan jumlah kalian di hadapan umat- umat lani’ Berdasar pada hadits tersebut, kemudian ulama menghukumi menikahi orang mandul dengan hukum makruh.”
Sejenak ia terdiam, lalu ahirnya menjawab. “ Iya aku mengerti. Lalu apa hubungannya dengan kamu?”
“ Aku mandul. Aku makruh untuk dinikahi”
“ Untuk orang lain mungkin makruh. Tapi, untuk menjadikanmu ibu bagi anakku adalah wajib hukumnya. Kau wanita sholikhah, aku akan sangat menyesal jika tidak menjadikanmu ummu warobbatul bait dalam keluargaku.” Nada bicaranya seperti orang menangis.
“ Apa kamu yakin?” Air mataku tiba- tiba berlinang.
“ InsayaAllah, Bismillahirrohmanirrokhiim, maukah kau menjadi istiku dan ibu dari anak- anakku?”
“ Alhamdulillahirobbil ‘Alamin, Bismillahi Bismillahirrohmanirrohim, InsyaAllah aku mau menjadi istrimu dan ibu dari anak- anakmu” Aku menerima pinangan itu dengan rasa syukur dan air mata bahagia yang mengalir deras dari kedua sudut mataku.
Mendengar hasil dari pembicaraan kami, tiba- tiba Mama dan Papa memelukku dengan tangisan bahagia mereka.
“ Anisa, masihkah kau mau denganku jika kau tau siapa aku?” Tanya pria di balik tirai itu.
“ Memangnya kamu siapa?” Tanyaku sambil melepaskan pelukan Mama dan Papa.
“ Ini aku Sak” Jawabnya smbil membuka tirai
“ Mas Iqbal??” Aku sangat terkejut saat tau yang berada di balik tirai adalah Iqbal, pria yang dulu meninggalkanku saat aku terpuruk dalam musibah.
“ Sudah putuskah urat malumu, sehingga kau berani menginjakkan kakimu di sini? Sudah hilangkah ingatanmu, sehingga kau menginginkan aku kembali padamu? Sudah tulikah telingamu, sehingga kau tak bisa mendengar hatiku mencacimu setiap saat? Selama empat tahun aku menjadi bahan hinaan setiap pria yang datang keseni. Itu karena siapa? Karena kau. Dulu kau dengan mudah meninggalkanku. Bagai pemabok yang meninggalkan botol- botol kosong, karena botol itu tidak lagi memberi manfaat baginya. Jika aku ini tulang rusukmu, pastinya kau akan merasa bagaimana deritaku. Sayangnya bukan, hingga sidikitpun kau tak mampu merasakannya. Tanyakan pada bulan purnama yang menjadi saksi keprgianmu. Relakah dia jika aku kembali padamu. Ingat! Aku ini makruh, dan akan tetap makruh. Lalu apa alasan yang kau bawa saat kembali kesini? Apa bidadari yang menuangkan arak- arak langit itu telah terbang meninggalkanmu? Dan jika kepergianmu dulu dengan alasan hukum makruh itu. Apa kamu tidak pernah memikirkan tentang hukum haram menyentuh perempuan yang bukan muhrimmu? Pergilah! Sebelum aku luapkan semua kebencianku.” Aku berjalan mengelilinginya. Aku tunjukkan raut wajahku yang memerah karena marah. Aku keraskan suaraku agar dia tau bahwa jiwaku sangat membencinya.
“ Demi dzat menciptakan segala sesuatu, katakanlah dengan jujur tentang perasaanmu. Dari cahaya matamu aku dapat melihat, bahwa bunga nirwana yang aku tanam dulu masih bersemi dan menghiasi taman hatimu. Demi dzat yang selalu melindungi kita. Katakanlah bahwa biji cinta yang aku tanam duli kini masih tetap tumbuh dan memenuhi rongga dadamu. Demi dzat yang meletakkan cinta di hati kita. Katakanlah dengan jujur bahwa hatimu tidak sanggup menumbuhkan biji cinta lain selain biji cintaku. Kembalilah padaku Anisa, kerajaan dan seluruh rakyatku telah menunggu kehadiranku. Dengarkan hatimu yang menggeliat ingin memeluk hatiku, tepiskan ego yang lahir dari keangkuhanmu. Percayalah, besok para ulama akan berkumpul menentukan hokum baru kita. Percayalah sak. Percayalah. ” Iqbal mencoba menjelaskan dan memohon pdaku. Namun, Tidak ada jawaban dariku atas semua perkataannya. Aku hanya terdiam dalam keangkuhan dan kebencian.
Aku merasa terjabak dalam sebuah kebingungan yang tiada celah sedikitpun untuk aku bisa keluar. Meski bibir ini diam seribu bahasa, namun hati ini berbicara begitu banyak pada Sang Pencipta. Istighfar aku ucapkan ribuan kali untuk mendobrak dinding- dinding kebingungan yang membelenggu jiwa. Tetap tidak ada celah, tetap bingug, dan akupun tetap bisu tanpa menghiraukan Iqbal yang menantikan aku berbicara.
“ Nak, berilah Iqbal kesempatan” Tiba- tiba Papa berbisik kepadaku. Aku hanya melirik, kemudian berjalan meninggalkan mereka dengan keangkuhan. Seperti macan betina yang kehilangan anaknya, itulah kondisiku saat ini. Daripada nanti aku menerkam mereka semua, lebih baik aku pergi.
…
Malam terasa begitu lama. Baru kali ini aku merasa capek saat bangun tidur. kepalaku juga terasa pusing, hingga bebereapa saat baru bisa mengingat kejadian semalam. Aku berusaha bersikap biasa dengan Mama dan Papa. Setelah sholat subuh, akupun tetap membantu Mama beresihin rumah.
“ Pagi Ma!” Sapaku.
“ Duh anak mama ahirnya keluar juga. Hari ini ikut Mama sama Papa keluar ya?” Mama memegang kedua pundakku. Aku hanya tersenyum, sebagai tanda bahwa aku mau ikut mereka. Akupun kembali ke kamar untuk siap- siap.
“ Kok pagi banget sih Pa berangkatnya? Emang mau kemana?” Tanyaku sambil membuka pintu mobil bagian belakang. Mama dan Papa hanya tersenyum sambil memasangkan sabuk pengaman.
“ Udah siap ya?” Papa mulai menjalankan mobil.
Masih terbesit rasa penasaran dalam hatiku. Namun, batinku berbisik menenangkanku “ Paling juga mau kondangan” Aku sandarkan kepalaku di kaca, dan tanpa terasa tiba- tiba aku tertidur.
“ Sayang. Udah nyampek, ayok turun.” Mama membelai pipiku sampai aku terbangun. Akupun bangun dan segera turun dari mobil.
“ Kok di Panti asuhan ma?” Tanyaku
“ Iya. Ayok” Mama menarik tanganku
Aku sangat terkejut saat memasuki panti asuhan. Karena orang pertama yang aku temui adalah Iqbal. Dia tersenyum manis menyambut kedatangan kami. Yang mengejutkan lagi, di ruangan ini terpang fotoku dengan ukuran kira- kira 20R. yang membuat aku semakin terkejut lagi, tiba- tiba kami diserbu anak- anak kcil yang serentak berteriak “ Umiiiiiiiiii!!!!” Aku terpaku melihat semua ini, sedangkan yang lain tersenyum melihatku.
“ Inilah kesibukanku selama aku jauh dari kamu sak. Ini anak- anak kita. Masih makruhkah kau untukku?” Kata Iqbal sambil mendekatiku. Tidak kuasa aku menahan air mataku saat mendengar kata- kata Iqbal. Kemudian aku berlutut dan memeluk salah satu anak yang tersenyum di hadapanku. “ Abi sering bercerita tentang umi kepada kami” Kata gadis kecil yang sedang aku peluk. Tidak ada kata yang bisa aku ucapkan saat ini. Menangis, hanya itu yang aku bisa. Tidak lagi terpikir olehku tentang hukum itu, aku hanya berpikir tentang kewajibanku untuk merawat anak- anak yatim ini.
“ Demi dzat yang menciptakan kita semua. akuingin berkata jujur, bahwa bunga nirwana yang kau tanam dulu masih hidup dan menghiasi taman hatiku. Demi penyesalan atas semua cacianku, aku ingin meminta maaf. Dan demi anak- anak yang ada di sini, aku ingin berkata bahwa aku mau menjadi istrimu.” Kataku sambil bangkit dan menghapus air mataku.
“ Terimakasih sak.” Iqbal tertunduk dan air matanya berlinang.
“ Kamu hebat nak. Bapak bangga sama kamu.” Tiba- tiba suara Ayah Iqbal memecah kebahagiaan kami. Semakin lengkaplah kebahagiaanku, karena Ghofur tua yang selama ini melarang hubungan kami, kini telah hadir untuk memberikan restu.
“ Ya Allah terima kasih atas segala sesuatu yang telah Engkau beri. Dan ampunilah aku yang setiap saat mengeluh atas cobaan ini. Kuatkan hamba untuk menghadapi cobaan yang akan Engkau berikan Ya Allah. Masih makruhkah aku untuknya? Ampuni hamba yang tidak mengerti hukum- hukum-MU. Hamba hanya merasa wajib mengasuh mereka bersamanya Ya Rabb…..” Batinku berdo’a tiada henti di tengah kebahagiaan yang penuh haru ini. Setelah pertemuan ini, tibalah saatnya aku dan Iqbal untuk mengikat janji suci dalam tali pernikahan. Namun dalam hatiku masih terselip pertanyaan, masih makruhkah aku??
Oleh: Sriwini
Img: himmatunayat