Dengan laju cepat, bus yang ditumpangi oleh Agung itu melesat jauh meninggalkan terminal bus yang merupakan jadwal terakhir keberangkatan, selepas jam sepuluh malam. Biasanya,tak ada banyak orang yang menumpangi bus yang berjurusan ke terminal di ibukota kabupaten Bandung, Soreang itu. Bahkan, kali ini Agung hanya duduk sendirian tanpa ditemani siapapun.
Laki-laki berumuran remaja itu duduk di sudut kanan bus bagian belakang. Pandangannya lepas ke dunia luar bus. Matanya sembab, bahkan terkadang meneteskan beberapa butir air mata. Namun ia seka kembali ketika sadar ada air mata yang meleleh di atas pipinya. Sambil memeluk tas yang seharusnya digandong, ia berfikir bahwa betapa sulitnya keadaannya sekarang. Gemul-an suara tangis yang sedari tadi ditahan di dalam mulutnya pun pecah. Tangisnya terisak-isak membuat napasnya tak teratur. Kemudian badannya membungkuk hingga wajahnya ber-paling ke arah lukisan yang tergeletak di bawah kursi bus di depannya.
“Maafkan aku, Ibu! Aku tidak bisa melakukan yang terbaik untukmu.” Katanya terbata-bata. Tetesan air matanya membasahi gambar pada lukisan miliknya itu hingga warnanya luntur.
Tak lama kemudian, didengarnya suara banyak orang yang berbondong-bondong membaca salah satu surat dalam Al-qur’an, yaitu Surat Yaasin, menandakan bahwa perjalanannya dalam bus akan berakhir. Ia telah sampai di rumahnya yang tak seberapa besar ukurannya itu.
Kepalanya dipenuhi banyak pertanyaan ketika menuruni bus dengan mata yang masih sem-bap habis menangis, dan melihat kedaan rumahnya yang ramai dipenuhi banyak orang. Di-lihatnya juga bendera-bendera berwarna kuning terikat dan berkibaran di berbagai tempat sekitar rumahnya. Mendapati hal ini, lukisan yang dipegangnya pun terjatuh.
Tatapannya kosong, tubuhnya diam mematung. Sedangkan banyak orang yang menyalami dan memeluknya prihatin serta berduka cita atas musibah yang menimpanya. “Sabar ya, Agung! Semoga Allah menguatkan hatimu.”
“Kenapa Ibu pergi sebelum melihat lukisanku?” katanya dalam hati, menangis.
***
Dengan sangat terpaksa dan berat hati serta dalam keadaan yang tidak karuan, Agung tetap menunaikan kewajiban menuntut ilmu di sekolahnya. Meski rintangan yang lainnya juga harus ia lewati ketika hendak memasuki ruang kelasnya, tepatnya di depan pintu kelasnya.
“Heh!” teriak seseorang yang berbadan lebih gemuk dari Agung itu datang dari arah belakangnya. Agung menengok dan menatap mata orang itu, “Ada Apa?” menunggu orang itu melanjutkan bicaranya.
“Bagaimana hasil lomba kemarin? Aku yakin, kau tidak mendapatkan apa-apa, dan yang pasti, mustahil kau mendapatkan apapun dari perlonmbaan bergengsi itu. Betul tidak, teman-teman?” orang itu meminta persetujuan kepada teman-temannya yang biasa menjadi ekor bagi-nya.
“Betul, Raka!” teriak teman-temannya mengiyakan lalu menertawakan Agung.
Agung hanya diam mati kutu dipermalukan oleh segerombolan geng sekolahan itu.
“Aku penasaran dengan kemampuan yang dimiliki oleh Agung, sampai dia percaya diri ikut serta dalam kompetisi itu. Coba aku selidiki. Agung, coba kamu sebutkan warna kain ini!” seru orang yang dipanggil Raka itu.Tampaknya Raka mulai mencoba memojokkan Agung lagi.
“Bos!” seru salah seorang teman Raka sambil mengerutkan dahi. “Dia tidak mungkin bisa menjawab.”
“Lho, memangnya kenapa?” tanyanya bersandiwara.
“Dia kan buta warna, hahaha!” jawab Raka dan teman-temannya kompak dilanjutkan dengan tertawa lepas menghina.
Agung hanya tersenyum, seolah tulus menerima cemoohan itu. padahal hatinya panas bagai terbakar api. Ingin rasanya Agung membalas, tapi ia tidak bisa melakukan apapun. Baik me-lawan secara fisik ataupun perkataan, dia pasti akan kalah kalau melakukan keduanya. Karena serba salah, ia memilih diam lalu pergi memasuki ruang kelas dengan mata yang kemerah-me-nahan menahan tangis –Ia sudah merasa datang sekolah bukan ide yang bagus.
Agung tidak kuat dengan belenggu situasi yang membuatnya tidak nyaman itu, sehingga seringkali ia memilih menangis sebagai solusi terakhirnya, dari pada harus terus memendam pe-rasaan yang dapat mengganggu aktivitasnya, lebih baik ia melampiaskannya –dengan tangisan, katanya.
Untungnya Agung dapat menahan tangisnya. Kalau tidak, ia bisa dipermalukan dua kali oleh sekelompok orang yang ia sebut “The Ringsek Club” itu dalam hatinya. Karena kekuatannya se-batas pertahanan, akhirnya ia dapat tumbang lagi setelah mendengar percakapan dua orang siswi di kelasnya ketika istirahat sedang berlangsung.
“Kau tahu? Kemarin, aku membaca sebuah artikel di internet berkenaan dengan beberapa kelainan pada mata. Yang paling membuatku menarik adalah tentang buta warna. Di sana di-terangkan bahwa kelainan ini diturunkan, bukan akibat dari infeksi, benturan, dan ataupun sebab lainnya. Dan yang paling mengejutkannya, kelainan ini tidak bisa disembuhkan. Aku benar-benar merasa prihatin, bagaimana orang yang buta warna bisa nyaman dengan keadaan mereka, sedangkan warna cukup penting dalam hidup manusia, betul tidak?” jelas seorang siswi yang bernama Ira pada temannya, Syifa.
“Betul. Aku setuju. Aku juga mendapati banyak sekali pekerjaan yang membutuhkan ke-mampuan melihat yang optimal, termasuk membedakan warna. Beberapa diantaranya adalah pe-kerjaan industri. Apalagi untuk pelukis, kalau tidak bisa membedakan warna, bagaimana bisa membuat gambar yang indah? Jadi, sempit sekali ruang lingkup yang dapat dicapai orang buta warna, tidak bebas.” kata Syifa sambil melahap kue yang biasa dibawa dari rumahnya.
Agung tidak pernah mendengar tentang kelainan yang diidapnya serumit yang Ira dan Syifa diskusikan. Dengan hati yang sedih, ia melangkahkan kakinya lambat menuju keluar kelas.
Ira kekagetan ketika melihat Agung berjalan lemas dihadapannya. “Selama ini Agung ada di kelas?” Tanyanya kepada Syifa.
“Memangnya ada yang tidak beres, ya?” Syifa kebingungan.
Sambil mendekatkan mulutnya ke telinga Syifa, Ira berbisik. “Dia itu buta warna!” ia cukup panik.
“Apa?” Syifa cukup kaget. “Kenapa aku tidak melihat keadaan terlebih dahulu sebelum ber-bicara. Sepertinya dia mendengar pembicaraan kita hingga ia tersinggung . aku merasa bersalah. Bagaimana ini?”
“Kurasa kita harus minta maaf, segera.” Usul Ira.
Syifa setuju dengan usulan Ira. Mereka pun menyusul Agung yang telah berada di luar kelas yang terus berjalan menuju pintu gerbang hendak keluar pergi dari sekolah.
Agung mendengar suara hentakan kaki menghentikan langkah lari Syifa dan Ira dari arah be-lakang disusul dengan suara Syifa yang memanggilnya.
“Ada apa?” Agung menengok ke belakang dengan memasang muka tak sesedih sebelumnya di kelas.
“Apakah kau mendengar pembicaraan kami di kelas tadi?” kata Syifa dengan napas yang ter-sengal dan menundukkan kepala.
“Ehm..Pembicaraan apa, ya?” dusta Agung bertanya dengan wajah yang memancarkan se-nyum ketulusan–yang merupakan kedustaan juga—tanpa memandang wajah kedua perempuan itu.
“Kau benar-benar tidak mendengarnya?” Tanya Ira memastikan sambil menundukkan pandangannya juga.
“Sungguh, aku tidak mendengar apapun. Percayalah!” kata Agung tenang dan meyakinkan.
“Tidak! Kau pasti mendengarkan pembicaraan kami, kan?” Syifa menyelidik dengan wajah yang cemas dan memaksa.
“Iya.” Agung menganggukkan kepala, mencoba bersabar menghadapi mereka berdua..
“Lalu, mengapa kau pergi membawa tas?” Syifa menarik dan melepaskan tas selendang milik Agung yang menggantung. “Apakah kau hendak pergi keluar sekolah, padahal pelajaran belum selesai? Itu berarti kau kabur namanya. Yang aku tahu, kau bukan anak yang nakal.” Syifa memandang Agung tajam. “Ada apa denganmu? Aku yakin, ini semua karena pem-bicaraan kami, kan?” Syifa menundukkan kepala kembali.
Raut wajah Agung berubah seketika, “Sudahlah! Aku rasa tidak ada yang harus dibicarakan lagi. Lagi pula, untuk apa kau menanyakan keadaanku yang sangat baik ini? Untuk apa aku mempermasalahkan apa yang kalian bicarakan, itu tidak akan merubah keadaan, kan?” jelas Agung dengan mata yang mulai kemerah-merahan, dan menahan napasnya agar tetap teratur dan tidak membuat kecurigaan.
“Kalau begitu, maafkan kami. Kami tidak bermaksud menyidir-“ perkataan Syifa terpotong
“Ah.. sudahlah. Aku maafkan.!’ Agung memotong perkataan Syifa sambil memaksakan ter-senyum.
“Oh, iya. Ngomong-ngomong, kami juga turut berduka cita atas kepergian Ibumu. Ingat, Allah bersama orang-orang yang sabar.” Kata Ira senyum dengan dinginnya.
Sontak Syifa memalingkan wajahnya kepada Ira setelah mendengar perkataan bela-sungkawanya Ira, “Kau ini… kenapa… ah.. jangan katakan itu sekarang, Ira!” kata Syifa ber-bisik kepada Ira.
“Memangnya kenapa?”
“Kau belum paham juga? Ya Allah! Sudahlah, minta maaf kepada Agung, sekarang!”
“Eh.. iya .. iya!”
Ketika hendak meminta maaf, mereka mendapati Agung telah berjalan cepat cukup jauh dari tempat mereka berdiri. Sedangkan mereka berdua mengaduhkan kepergian Agung tanpa pamit dan menyesal karenanya juga.
Beberapa saat kemudian, Agung telah berdiri di tengah sebuah padang rumput yang luas. Wajah mendungnya diterpa angin yang berhembus cukup kencang ke arah belakang tubuhnya. Bibir kelunya telah siap menumpahkan kesedihan.
“Seumur hidup, aku belum pernah membahagiakan ibuku. Hingga datang kesempatan itu, namun aku tak mendapatkan apa-apa karena mata ini. Aku kesal.” Matanya mulai membendung air mata, suaranya mulai parau. “ Karena itulah, aku tidak ada ketika saat-saat terakhir Ibu hidup. Bahkan, karena kekurangan itulah aku tidak bisa membahagiakan Ibuku lagi walau se-kecil apapun. Tidak akan pernah bisa lagi, selama-lamanya!” Agung berteriak. “Tak ada ke-sempatan lagi. Sampai kapan dia akan membuatku menderita dan malu? Kenapa dia meng-halangi jalanku? Haruskah aku mencari jalan yang lain? Mungkinkah itu terjadi?” agung pun jatuh berlutut, tertunduk. Air matanya menetes dan terjun ke atas rerumputan. “Ya Allah, tolong aku, maafkan aku!”
***
Setelah dua hari tidak masuk sekolah dengan keterangan sakit—padahal sebenarnya tidak, Agung kembali bersekolah seperti biasanya. Pembawaannya kini lebih diam, sedikit seperti orang yang anti sosial kedaannya sekarang berbeda dengan keadaannya dulu ketika sebelum Ibunya meninggal, lebih ramah dan bersahabat serta selalu mengawali segala perbincangan. Sekarang, ia hanya diam seribu kata, sehingga beberapa orang merasa aneh dan menanyakan ke-adaannya. “Aku tidak apa-apa. Aku hanya sedang tidak enak badan.” Begitulah jawabannya ketika ada yang bmenanyakan kabar.
Waktu belajar mengajar pun selesai. Berbeda dengan siswa lainnya, Agung merasa belum ingin meninggalkan sekolah dengan alasan ia merasa bosan di rumah. Suatu ketika di sore harinya, ia melihat sebuah pengumuman di majalah dinding sekolah. Pengumuman itu berisi tentang perlombaan melukis yang di selenggarakan oleh Pemda Kabupaten Bandung dalam rangka memnysemarakkan hari raya Idul Fitri, dan mengambil perwakilan dari tiap sekolah dengan hirarki tertentu. Kegiatan itu memiliki slogan ‘Buatlah warna yang berbeda di hari ke-menangan ini!’, sehingga menimbulkan kesan tersendiri bagi Agung.
“Bagaimana aku bisa membuat warna yang berbeda? Sedangkan beberapa warna yang se-harusnya berbeda, menjadi sama di dalam penglihatanku. Menurutku, ganti saja slogannya men-jadi ‘Warna yang berbeda adalah Warna yang sama’, itu lebih menarik dan …. Melankolis.” Sahutnya dengan suara se-melankolis yang ia dapat.
“Aku tidak setuju.” suara perempuan itu mengejutkan Agung hingga ia menoleh ke arah suara itu. “Menurutku, kau harus menggantinya dengan slogan ‘Warna yang sama adalah warna yang berbeda’, itu lebih optimistis penuh semangat.” kata Syifa didampingi oleh kakaknya, Rudi—yang merupakan kakak kelasnya juga.
“Itu sama saja. Apa yang kau lakukan di sini? Apa yang akan kau dan kakakmu lakukan ke-padaku?” Tanya Agung suudzhon.
“Jangan panik seperti itu, kami hanya ingin mengajakmu buka bersama di rumah. Kebetulan, Ibu membuat makanan terlalu banyak. Dari pada mubazir, lebih baik di shodaqohkan, bukan?” jelas Rudi dengan intonasi yang ramah.
“Ehm…. Kenapa harus aku? Masih banyak yang lain, kan?” Tanya Agung menyelidik.
“Sebenarnya, kami tidak sengaja bertemu denganmu, karena tidak ada orang lain lagi, kami mengajak kamu saja. Tapi, kalau kau tidak mau, tidak apa-apa, kami tidak memaksa kok.” Kata Rudi lagi.
Wajah ceria Syifa yang berbinar-binar seketika mengkerut setelah kakaknya menyatakan ke-tidakmemaksaannya.
“Eh…. Tapi, boleh juga. Sebenarnya dua hari ini aku melum makan makanan berat, hanya menyantap ta’jil yang disediakan oleh pengurus mesjid dekat rumah. Sedangkan warga yang ada di sekitarku tidak beda jauh keadaannya denganku. Ditambah lagi aku sendirian sekarang, tak ada orang lagi di rumah. Biasanya dulu, aku menyantap makanan yang Ibuku….” Seketika Agung menghentikan bicaranya, dan seketika itu pula memori tentang Ibunya yang telah me-ninggal pun memenuhi kepala Agung. Tak lama kemudian wajahnya memurung, matanya mem-bendung air mata, dan napasnya mulai sedikit tidak teratur.
“Ya sudahlah kalau begitu, lebih baik sekarang kita pergi jalan-jalan ngebuburit, sambil me-nunggu waktu berbuka. Bagaimana?” Syifa meminta persetujuan dari kedua orang itu dengan wajah berubah menjadi senyum manis ketika sebelumnya menunjukkan keprihatinan mendengar cerita Agung.
Waktu berbuka pun tiba. Mereka bertiga menyantap menu berbuka setelah shalat maghrib di-tunaikan. Lalu, dilanjutkan dengan melaksanakan shalat Isya dan tarawih. Setelah melaksanakan beberapa rangkaian kegiatan, mereka pun duduk berbincang di pelataran masjid yang sudah kosong, hanya tinggal mereka bertiga saja.
“Itu berbeda, Agung.” Ucap Rudi mengawali pembicaraan
“Bagaimana bisa itu berbeda? Bisakah kau terangkan kepadaku apa bedanya?”
“Bedanya sudah sangat jelas. Sloganmu mencerminkan dirimu yang pesimis, kau menerima begitu saja kenyataan tanpa ada usaha untuk merubahnya. Misalnya, Kau tahu beberapa warna itu berbeda, tapi kau menghentikan langkahmu dengan keadaan dirimu yang tidak bisa mem-bedakannya. Kau menyerah, tapi kau menganggap dirimu sedang bersabar, benar-benar menipu.
“Sedangkan sloganmu yang Syifa perbaiki itu, sudah ia katakan sendiri, menunjukkan ke-optimisan. Maksudnya, kau sudah tahu bahwa kau tidak bisa membedakan beberapa warna, tapi kau berusaha meyakini dirimu sendiri bahwa beberapa warna itu berbeda, dan kau ingin me-ngetahui kebenaran itu. Kau ingin mencari, berjuang dan berusaha. Itulah bedanya. Kau dapat memahaminya, kan?” kata Rudi menjekaskan dan memastikan.
“Ya, aku mengerti” kata Agung mengangguk. Merenungi perkataan Syifa.
“Kalau begitu, Bagaimana kalau aku membeli minuman untuk kita? Aku yakin, tenggorokan kalian kering selepas shalat qiyamur ramadhan.” Sahut syifa menawar.
Syifa dan Agung terkekeh dengan tingkah Rudi yang dramatis. Akhirnya, di pelataran mesjid hanya ada ada Agung dan Rudi setelah Syifa pergi ke warung.
“Aku tidak menyangka, kau akan seberuntung ini.” Rudi memecah keheningan.
“Aduh, dari tadi, perbincangan kita selalu membuatku bingung. Maksud Kang Rudi apa, ya?” Agung menggaruk kepala.
“Sebenarnya, banyak hal yang tidak kau ketahui di balik pertemuan kita sekarang. Tapi yang menjadi alasan kuat adalah, Syifa menyukaimu. Mendengar keadaanmu yang baru ia ketahui, Syifa cukup khawatir. Sehingga ia ingin membantumu, dengan bantuanku.”
“Jadi …. Ah, apabila bokeh jujur juga, aku menyukainya. Tapi, sekarang bukanlah waktunya, dan pacaran bukanlah cara yang baik. Seandainya Allah mengizinkan dan apabila ia memang bersungguh-sungguh, aku akan menunggu hingga datang waktunya. Karena belum tentu ia adalah pendamping hidupku.”
Rudi menyengir, “Wow, kau lebih dewasa yang aku kira.” Tertawa.
Agung pun tertawa.
Di sisi lain yang tidak terlihat dari jangkauan Rudi dan Agung, Syifa tersenyum mendengar pernyataan Agung, sang pujaan hatinya, menambah kekagumannya pada Agung.
***
“Aku harus optimis!” batin Agung memotivasi dirinya sendiri sambil mengingat per-bincangannya dengan Rudi kemarin malam, tentang slogan dan …. Syifa. Senyumnya me-ngembang dan langkahnya pun semakin cepat menuju ruang kelas. Namun, seperti biasa, ada pencegatan dari “The Ringsek Club” di depam kelas.
“Apakah kau sudah melihat maddng? Aku harap kau tidak akan pernah ikut perlombaan itu. Seharusnya kau sadar diri dengan keadaanmu, lagi pula, tandinganmu itu jauh lebih hebat di-bandingkan dengan dirimu. Kau tahu siapa? “ kata Raka mencancam dengan muka sinis. “Siapa teman-teman?” teriak Raka menoleh kepada teman-teman di belakangya.
“RAKA!!” teriak teman-temannya kompak. The Ringsek Club pun tertawa lepas. Sedang Agung tak merasa tersinggung sama sekali, justru ia terlihat tenang dan menunggu mereka selesai berbicara. “Sabar bukan berarti menyerah.” Katanya dalam hati.
“Terimakasih banyak.” Tanya Agung menunggu.
Seketika itu pun tawa The Ringsek Club terhenti. Bingung melihat Agung yang tampak dingin.
“Berkat tindakan yang selalu kalian lakukan ini, aku belajar banyak hal dan mengutkan pen-dirianku. Sekarang, tinggal kalian saja yang harus mengambil pelajaran dari apa yang kalian lakukan agar kalian tidak lebih ‘ringsek’ dari nama geng kalian.
“Sayangnya juga, aku akan mengikuti lomba itu. Raka, kau tidak perlu banyak bicara sekarang, karena kau akan mengetahui siapa yang menjadi terbaik dalam perlombaan ini, nanti. Tapi yang jelas, pemenang bukanlah yang mendapatkan hasil sempurna, tapi seorang pemenang adalah yang dapat menjalankan proses dengan ideal.” Katanya singkat, sambil memancarkan senyum optimis.
Wajah Raka memerah, “Kau ini, berani sekali, das—“
“Hush. Seorang muslim dilarang berkata kasar dan jorok.” Ucap Agung memotong pem-bicaraan Raka, tersenyum lebar, melambaikan tangan lalu pergi masuk ke dalam kelas. Sedang-kan Raka yang kesal hanya dapat menggigit jari dan mengendus gelisah bagai kerbau yang hendak menubruk pemiliknya.
“Dengarkan itu!” kata Syifa yang datang secara tiba-tiba ke segerombolan The Ringsek Club. Semakin panaslah hati dan kepala si Sesepuh The Ringsek Club, Raka. Hingga akhirnya ia ber-teriak dengan sangat keras. “AAAAA!!” hampir saja meruuntuhkan bangunan gedung sekolah-nya.
***
14 Hari kemudian …
“Dan juara pertama kita pada tahun ini adalah … Agung Ihsanuddin,” teriak pembawa acara Final perlombaan melukis se-kabupaten Bandung. Teriak dan tepuk tangan dari penonton tumpah ruah memenuhi gedung perlombaan tersebut.
Dinaikinya panggung dan diterimanya tropi serta sertifikat yang diberikan oleh ketua pe-laksana perlombaan. Agung menangis terharu, bangga dengan kemenangan telak yang di-usahakannya. Bagaimana tidak? Dia memiliki kelainan buta warna yang dapat menghambat ter-capainya impian yang ia tekadkan. Tapi, sekarang ia dapat meraih mimipinya sebagai pelukis.
Raka, yang dikalahkan oleh Agung pada saat seleksi tingkat sekolah, ikut larut dalam suka cita kemenangan Agung. Bahkan, ia memberanikan diri menaiki panggung, berjabat tangan dan memeluk Agung menandakan keakraban mereka dalam hiruk pikuk kemeriahan pertunjukkan band dan penyanyi lainnya.
Di bangku penonton, Syifa yang ditemani kakaknya menganis terharu dengan kemenangan dan keberhasilan telak yang diraih oleh Agung.
“Kau tahu? Prediksiku dahulu benar, Agung akan menang telak.” Kata Rudi sambil melihat Agung di panggung.
Syifa menyeka air matanya seraya berkata, “Aku mengerti, maksudnya adalah kemenangan memperjuangkan proses, kan? Aku bisa lihat dari kesungguh-sungguhannya. Tapi yang paling aku kagumi adalah ia dapat bangkit secepat itu dari keterpurukan yang kita rasa mustahil dapat kita selesaikan, dan dia mudah menerima kritikan, sehingga perubahan sikapnya begita terlihat dan signifikan. Sabar dan optimis.”
“Ya, kita belajar banyak sekali tantang banyak hal darinya,” ucap Rudi seraya menghela napas.
Setelah beberapa saat kemudian, ruangan pun sepi. Tinggal ada Rudi, Agung, Syifa, Ira, Raka dan teman-temannya. Terlihat sedang berjalan menuju pintu keluar ruangan itu.
“Idemu memberi label nomor pada tiap warna tinta yang berbeda itu sederhana namun cemerlang. Tak pernah terpikirkan sama sekali olehku. Kau memang hebat!” puji Raka kepada Agung.
“Ahh…. Sepertinya itu biasa aja kok, pujianmu trlalu berlebihan.” Agung tersenyum.
“Tidak. Aku bersungguh-sungguh. Memangnya kau tidak ingat denan perkataanmu empat hari yang lalu di depan kelas? Dampaknya kita menjadi akrab lima hari kemudian setelah seleksi itu.” Jelas Raka mengingatkan, lalu tertawa lepas diikuti Rudi, Agung, Syifa dan teman-teman-nya.
Oleh: Wildan Darissalam, Cangkuang Bandung.
Img: wallpapersdesign