Dia pintar, terlalu pintar, malah. Dia baik, dalam arti sebenarnya, dalam hal apapun. Dia taat beragama, saking taatnya, sampai-sampai ia memandang lantai jika berbicara pada lawan jenis.
Aku pintar, lebih pintar darinya. Aku baik, secara umum, lebih karena alasan kesopanan daripada ketulusan. Aku beragama, kutunjukkan dengan beribadah, tapi tak sedalam keyakinannya pada agama kami. Sayangnya di sinilah kami terpisah. Atau dipisahkan. Aku dan dia.
Dia dipilih oleh angkatanku sebagai ketua organisasi keagamaan fakultas. Jabatan yang menakjubkan sekaligus menegaskan segala hal. Bahwa ia rohaniwan sejati, imannya kuat, menjaga pergaulan, dan tentu saja: tidak boleh menjalin hubungan dengan lawan jenis. Pernyataan terakhir tak pernah menggangguku awalnya. Memangnya aku bakal melirik dia? Mahasiswi urakan seperti diriku dengan calon suami idaman seperti dia? Terlalu kontras untuk menyatu, bahkan disatukan paksa sekalipun. Sampai saat ini, sampai detik yang seakan terus meneriakkan namanya di kepalaku.
Sesederhana itu jalan pikiranku. Kami hanya dua orang yang kebetulan bertemu di jurusan yang sama, dalam angkatan yang sama. Ya, kami hanya teman.
Aku mencintai musik, tanpa syarat, tanpa alasan. Musik telah mengalir dalam nadiku, bercampur dengan darah itu sendiri. Entah takdir apa yang mengalirkan dia ke dalam nadiku juga, melalui musik.
Dia jenius, tapi aku selalu meledeknya autis. Otaknya seimbang, ilmu pengetahuan membuatnya bergairah, matematika membuatnya hidup dan musik adalah napasnya. Napasnya yang disisipkan ke dalam hatiku.
Saat itu hujan, kami, aku dan teman-teman seangkatan, terjebak di dalam kelas di lantai 5. Tak ada keinginan untuk turun dan pulang menerobos hujan, kami meramaikan kelas. Dia duduk di pojok, mengobrol dengan yang lain. Aku, si anti sosial, menelungkupkan kepala di meja, berharap bisa menghilang dari keriuhan kelas yang terlalu…mengganggu. Lalu dia keluar kelas, aku tak melihat pasti, tapi aku merasakan gerakannya dari ekor mataku. Aku penasaran, kuikuti langkahnya. Langkah awalku di kisah ini.
Gedung ini dihubungkan ke gedung seberang dengan sebuah jembatan. Dia berdiri di situ, bersenandung pelan. Aku mendekat, merasa mengenali irama yang dilagukannya. Ia menyadari kedatanganku dan menyapa. Kutebak lagunya, ia tertawa. Tak kusangka selera musiknya bagus, menurutku. Sebab musik yang ia mainkan adalah panutanku, favoritku sepanjang masa. Diiringi hujan, aku dan dia berbincang seru. Lupa waktu hingga hanya tetesan air yang tertinggal dan hanya tas kami berdua di dalam kelas.
Dia tak menjaga jarak denganku. Saat berbicara, matanya tertuju ke mataku. Hal ini sering membuatku malu, sebab matanya begitu jernih seakan semua yang dilihat, didengar dan diucapkan olehnya adalah kebenaran. Ya, matanya sangat tulus. Saat kutanya kenapa ia tak menjaga jarak denganku, ia tersenyum dan menjawab “Aku menghormatimu.”. Kenapa hanya aku?
Kami sering berdiskusi, kebanyakan di perpustakaan, tempat pilihannya. Di perpustakaan ramai, begitu alasannya, dan aku tak menolak. Dapat bersamanya saja aku sudah girang. Ia tak pernah membawa-bawa masalah jabatan atau urusan organisasi yang dipimpinnya. Ingin memahamiku, katanya, tapi dapat kulihat beban dan pengorbanan setiap kali bersamaku. Tak seharusnya ia begini. Aku dan dia.
Semudah itu, mengalir bagaikan air dan aku bertanya-tanya kapan kami akan terhanyut. Akan ada saat dimana kami harus menghentikan ini. Tapi aku dan dia tak bergeming, saat pertama seperti ini terlalu indah untuk dihentikan sekarang. Kami sepakat untuk bersahabat. Tapi aku dan sahabatku terlalu dekat. Masihkah kami dianggap bersahabat? Saat ikatan diantara kami begitu kuat hingga membuat sesak.
Saat itu ujian semester dan dia sakit. Flu parah, batuk terus menerus hingga harus naik turun tangga di perpustakaan untuk ke toilet. Aku memberinya obat, mengantarkan bubur ke tempat kosnya. Kuingatkan dia untuk istirahat, sebab ujian tak akan berbelas kasihan sekalipun flu menyerangnya. Aku mulai menyadari satu hal, aku menyayanginya. Bukan sifatku untuk merawat dan mempedulikan orang lain. Tapi aku melakukannya. Untuk dia.
Dia dihujat anggota organisasi, karena aku. Aku mendengar selentingan bahwa ia terancam dicopot karena nekat dekat dengan lawan jenis. Aku gamang, secepat inikah badai datang?
Aku yakin dia kuat, meskipun banyak pihak yang menentangnya. Ia membela diri bahwa kepemimpinannya tak berhubungan dengan kehidupan pribadinya. Selama organisasi yang dipegangnya berjalan lancar, tak ada yang perlu mengusik kami. Aku terharu mendengarnya, seberapa besar arti diriku untuknya?
Dia tak pernah menyentuhku, bahkan untuk sekadar memegang tanganku. Alasannya cukup idealis, perasaannya padaku sudah cukup menodai iman kami berdua. Ia tak ingin mencoreng lebih jauh lagi. Cukuplah kami bersama, ditemani obrolan ringan dan diskusi nyaman. Berdua. Aku dan dia.
Hal yang kutakutkan akan memisahkan kami, benar-benar terjadi. Ironisnya, ialah yang mengambil keputusan pahit itu. Di tahun ke-2 perkuliahan, permohonan beasiswa yang kuajukan ke Australia mendapat tanggapan positif. Aku pun ditawari program internasional, untuk melanjutkan studiku di sana. Tawaran yang cukup, bukan, sangat menggiurkan. Keluargaku bukanlah keluarga berada, sehingga sekolah di luar negeri cukup mustahil untuk terjadi padaku. Dua gelar sarjana, dari universitas negeri terbaik di negeri ini dan gelar internasional dari Australia. Siapa yang tidak tergiur?
Dia menyarankanku untuk pergi. Aku menolak dengan alasan yang picisan sekali. Tak ingin berpisah dengannya. Ia terdiam, akhir-akhir ini ia sering diam mendadak. Sejak sidang pertanggungjawaban jabatannya yang penuh konfrontasi, kami semakin jauh. Tiba-tiba ia berdiri. Kamu harus pergi, karena kita selesai di sini, ucapnya. Tajam, setajam pecahan tabung reaksi yang menusuk jariku kemarin, ah lebih tajam dari itu sepertinya. Tidak ada yang menahan kamu lagi, jadi kamu harus pergi, ulangnya. Bukan kata-kata selesai dan tak ada yang menahanku lagi yang membuatku sakit. Dia mengulang ‘kamu harus pergi’, seakan-akan ia tidak menginginkanku lagi. Mungkin memang begitu, memang aku harus pergi. Darinya, dari dia.
Perpisahan yang datar, tanpa air mata. Oh air mataku sudah tumpah banyak semalam dan malam-malam sebelumnya. Berharap dengan banyak menangis, ia akan menahanku untuk tidak pergi. Semua teman-teman seangkatan mengantarku sampai bandara, beberapa teman perempuan memelukku. Senang pernah kenal denganku, kata mereka. Aku juga senang, kali ini tulus. Dia bersikap sama seperti yang lainnya. Tak ada yang istimewa, seakan tak ada yang terjadi antara aku dan dia. Seakan dua tahun sebelumnya aku hanya bermimpi lalu kemudian terbangun di sini, tanpa dia.
Dua tahun di negeri orang terasa singkat. Aku sudah bertekad untuk membuka diri di sini. Kehidupan sosialku di negeri sendiri sudah cukup parah, kesempatan apa lagi yang kubutuhkan kalau bukan di sini? Bukan, bukan membuka diri terhadap banyak lawan jenis, aku masih membatasi diri, juga masih karena dia. Belajar gila-gilaan, targetku tak tanggung-tanggung, yang terbaik di universitas ini. Tapi aku tetap bergaul, hang-out bersama teman-teman asing yang hobi berpesta. Sampai saat ini, aku masih tak suka dengan keramaian, dia tahu itu. Aku akan menarik diri bila keadaan sudah tak terkendali, diam-diam keluar dari keramaian yang memusingkan.
Sosoknya tak pernah hilang di hatiku. Tak pernah terlihat, karena kutaruh di kotak rapat di sudut hatiku, entah kapan akan terbuka lagi. Aku tak berharap dapat bertemu dengannya lagi saat kembali ke negeri ini. Lulus dengan nilai gemilang, magna cum laude, aku memilih untuk pulang, sebelum menjalani kontrak dengan perusahaan konstruksi di Australia. Tak pernah berharap banyak, sungguh, aku hanya ingin melihatnya, sekalipun mungkin ia tak tahu aku melihatnya. Apa dia berubah? Sejauh apa perubahannya? Masihkah kukenali? Sebab aku menyadari sebuah pola di lingkup pergaulannya. Sudah banyak seniorku yang seperti itu. Mereka yang telah menyelesaikan sarjana, akan langsung mencari jodoh, bahkan ada yang tiba-tiba sudah menikah. Dengan siapa? Dengan siapa dia menikah ya? Aku sudah siap-siap menyingkirkan kotak itu bila memang ia telah bersama orang lain.
Aku tahu, dia juga lulus dengan brilian, temanku yang memberitahu, saat kutanya bagaimana kelulusan angkatan kami? Ha, pertanyaan yang secara tak langsung membuat temanku mengerti bahwa dia yang kutanyakan. Dia menjadi asisten dosen, aku tak heran. Dulu dia bercerita tentang cita-cita, mimpi, dan keinginannya, menjadi asisten dosen hanyalah sebagian kecilnya.
Di sinilah aku, dua hari sejak kedatanganku ke tanah air, memojokkan diri di sebuah toko buku. Dua hari sebelumnya, aku ditarik ke sana kemari oleh orangtuaku. Anak kami jadi sarjana juga, akhirnya. Aku paham perasaan mereka, jadi kuikuti saja. Lagipula aku tak kan lama di sini. Just say hello and i’ll go back.
Dan takdir mempertemukan kami lagi. Di antara tumpukan buku-buku, aku melihatnya menghampiriku. Wajah yang sama, aura kelembutan yang sama, senyum menyejukkan yang sama. Semuanya terasa membeku, seperti adegan di film-film yang sering membuatku tak sabar. Dia mengenaliku, bahkan dari jarak yang tak pernah kukira. Suaranya masih sama, dalam dan menenangkan. Kami terdiam beberapa saat, hingga satu kata maaf terurai darinya. Bukan ‘apa kabar’, bukan ‘kapan kamu datang’, atau pertanyaan basa-basi lainnya. Ini satu hal yang kusukai darinya. Tak pernah basa-basi, apa yang ia katakan adalah apa yang dipikirkannya. Kejujurannya.
Aku menatap matanya, maaf untuk apa? Kemudian kotak di hatiku terbuka dengan cepat. Semua kenangan, suara, tawa dan hari-hari penuh cerita yang pernah kami lewati berdua berhamburan keluar. Menyerbuku dengan perasaan aneh itu lagi.
Karena membiarkanmu pergi, jawabnya.
Karena membohongimu dengan mengatakan bahwa hubungan kita telah selesai.
Karena pernah menyakitimu, pernah membuatmu merasa tak diinginkan lagi.
Karena tak pernah menghubungimu selama dua tahun ini.
Karena bahkan berpura-pura bahwa kebersamaan kita selama ini tak pernah terjadi.
Karena tak menjemputmu di bandara.
Karena baru menemuimu hari ini.
Karena pernah berpikir untuk mencegahmu meraih mimpimu di sana, untungnya tak kulakukan.
Karena pernah berusaha untuk melupakanmu, meski nyatanya aku tak bisa.
Karena membiarkanmu dua tahun tanpa penjelasan.
Karena tak ada bersamamu pada dua tahun belakangan ini.
Karena mungkin telah membuatmu menangis.
Karena tak pernah menyatakan apa yang kurasakan padamu, sehingga membuatmu merasa tak ada cukup ikatan untuk mendorongmu mencariku.
Banyak sekali pengakuanmu, ucapku. Dia tertawa, ah tawa yang sangat kurindukan. Apa dimaafkan? Tanyanya. Tentu saja, bagaimana bisa aku tak memaafkanmu, jawabku. Ia tersenyum, aku terlalu baik, selalu baik, ujarnya.
Dia masih se-religius dulu, dapat kulihat itu. Tapi sikapnya padaku tak berubah, semua yang kurindukan darinya masih ada. Namun aku belum menanyakan hal yang penting.
Dengan siapa kamu menikah?
Dahinya mengerut tak mengerti. Aku menjelaskan pola itu. Bukankah tipe laki-laki seperti dirinya akan langsung menikah setelah lulus kuliah? Lagi-lagi, ia tertawa.
Bagaimana aku bisa menikah jika wanita yang ingin kunikahi baru bisa kutemui sekarang?
Dan aku luluh, begitu saja, menyerah pada kata-katanya. Air mata mengkhianati pendirianku dengan meluncur mulus di wajahku. Malunya aku, dia malah mengambil tisu dan mengelap pipiku. Sentuhan pertamanya di wajahku. Kami tertawa, tawa cair dan lega. Lalu ia berdeham.
Maukah kau menjadi istriku?
Air mataku sudah menjawab segalanya.
Oleh: Septy Aprilliandary, Depok Jawa Barat