[Cerpen] Hijrah Bersama Langkah Ilmu

0
1044

Senja terbaring lelah pada ranjang langit di ufuk barat, diiringi senyum lelah pada wajah seorang gadis setengah baya “Ibu, masak apa hari ini?” suara mungil muncul dari kamar yang rapuh di dalam satu ruangan yang tak jauh lebih rapuh.Aku yang sedari tadi duduk di samping ibu merasakan pilu yang amat.Ingin kubendung air mata ini.Namun tak sengaja air itu terpakasa mengalir pada pipiku karena memang ibu tidak memasak apa-apa selain tahu goreng.Ada garis bulat tak sedap dari bibir si kecil, Rifa, adikku yang baru berusia 6 tahun.Kubujuk dia agar mau makan tanpa meminta yang macam-macam.

Semenjak ayah direnggut oleh sang Maha Memiliki, aku ingin mengangkat derajat keluargaku. Memberikan cahaya pada gelapnya keluargaku. Aku tak mau adikku terpuruk, begitupun dengan ibu.
***

Angin menagyunku untuk membersihkan halaman ruamh yang sudah dipenuhi rumput liar, mungkin sebagian tetanggaku ada yang mengolok-olok tentang keluarga kami, tapi bukan malas yang melatarbelakang rumput-rumput dihalaman tak pernah di potong, tapi aku sibuk dengan membnatu ibu mencari nafkah.
“Kifa”, suara lantang terdengar dari belakang. Ku balikkan badanku dan ternyata Ustadzah Amira, guru mengajiku yang baru pulang dari Ibadah Haji. Kucium tangan kanannya yang lembut sebagai bentuk Ta’dzim. Ada senyum merekah dari wajahnya yang menawan.

Dengan lembut ia menarik tanganku yang kosong lalu berkata “Ini ada rezeqi buat Kifa dan keluarga. Salam untuk ibumu, maaf ibu belum sempat ke rumahmu.Insya Allah besok pagi ibu berkunjung ke Rumah”. Aku tersenyum dan mencium lagi tangannya. Ku ucapkan terimakaih. Sosok itupun lenyap diiringi bayangan yang tersorot matahari tepat saat matahari tegak di tengah bumi.
***

Malam yang mendung ditemani lampu temaram dan dinginnya angina malam, tepat di halaman rumahku, kulihat ada satu bintang yang masih berkedip, memoar itu memaksa aku untuk mengingatnya, saat aku duduk dipangkuan ayah kiranya aku berumur 9 tahun, “nak, kamu lihat bintang itu”, aku yang telah mengerti segera melihat kelangit, hanya ada  4 bintang “bintang itu semakin lama akan meredup nak, apalagi jika mendung menghantam”, aku tak mengerti, kala itu aku berfikir secara to the point, padahal mungkin maksud ayah kala itu keindahan itu mudah meredup, mudah di hantam dengan kesulitan juga kesedihan begitupun kesulitan mudah di hantam dengan juga dengan kesanangan, hidup itu rotasi, air mata ku mengalir bersamaan dengan turunnya hujan, bau tanah menemani perasaanku, gemercik air yang jatuh semakin nyaring terdengar kala air itu menerpa atap rumahku.

***
Suara ketukan pintu terdengar nyaring pada jam 09.00. Si kecil yang sigap segera membuka. Dan benar saja tebakanku, bahwa Ustadzah Amira-lah yang datang. Ku persilahkan bu Amira duduk pada hamparan tikar yang sudah kugelar sejak subuh tadi. Ibu yang baru selesai Shalat Dluha pun segera mendekati Ustadzah Amira. Ada lirihan do’a untuk Ustadzah Amira yang baru pulang dari ibadah hajinya. Doa yang terlontarkan semoga menjadi hajah yang mabruur.

Sambil membawakan teh hangat, aku kembali lagi mendekati bu Amira. Dengan wajah yang tersipu, Ustadzah Amira memberanikan untuk bilang “Ibu, kalau boleh, saya mau membimbing Kifa untuk tinggal di Pesantren Ayah, saya sudah ceritakan kabar kecerdasan Kifa pada Ayah”. Ayah beliau adalah K.H. Muhammad Ali Ghofur, pendiri pesantren salaf di Tanggerang.

Kulihat wajah ibu meredup, Nampak sendu. kebimbangan mencekam ibu untuk berpikir cepat dan bertindak  bijak, Dengan tegar ibu menjawab “Bismillah ! Bu Ustadzah, harta saya tak punya, tapi keinginan saya untuk mencerdaskan anak-anak lebih dari apapun. Saya percaya Allah ingin mengangkat derajat keluarga saya melalui bu Ustadzah Amira. saya titip Kifa bu”.

Aku kaku. Bukan tak ingin belajar di pesantren, tapi siapakah yang akan mengurus ibu saat sakit, di usianya yang merapuh?. Tak lama berbincang aku pun segera berkemas.
***
pesantren, sejenak aku diajak berimajinasi untuk kreatif, aku terus menspesifikasikan akan apakah akuu nanti disana?, apakah aku akan sesukses seperti bu ustadzah Amira?, aku ingin merubah hidupku menjadi manusia yang lebih baik dan bermanfaat, di iringi niat yang menggebu ku tekadkan maksud dan cita-citaku.

Sebelum aku pergi ke pesantren, ibu menyiapkan bekal apa adanya. Tak kulihat apa-apa yang ibu masukkan pada bekalku, keculai Al-quran dan beberapa potong baju juga mukena. Kutatap wajah ibu semakin dalam. Dikecuplah keningku.

“Nak, ikutilah segala peraturan di sana. Hormatilah segala yang ada di pesantren. Semoga kamu pulang dengan keadaan yang lebih baik lagi. Doakan selalu kami. do’a ibu mendekap pada dirimu”.

Ku peluk erat badan yang kurus itu, kami pun tenggelam dalam sendu di waktu senja. Kudekati mobil yang akan menghantarku ke pesantren bersama kesenduan Rifa dan ibu. Awal perjalananku dimulai. Semoga ini menjadi hijrah yang mengubah.
***
Pesantren membuat aku lebih tegar. Memberikan penerang pada gelap yang telah lama ingin ku terangi. Sejuk rasanya lalu-lalang hari yang terlampaui di tempat ini. Berkutat dengan ilmu-ilmu agama adalah sarapan terindah di waktu fajar.

Empat tahun berlalu, aku rindu pada ibu. Hanya ada suaranya yang pilu setiap aku telepon ibu. Usia ku tepat 22 tahun. Ku tafakuri usiaku yang semakin ranum. Aku masuk ke ruang Ustadzah Amira, hendak izin sejenak untuk melihat kondisi ibu dan Rifa. Ustadzah Amira pun mengizinkanku.
***
Setibanya di Rumah kulihat ada banyak tamu. Perlahan ku telusuri dinding yang dekat dengan ruangan rumahku. Semua mata menyorot padaku. Kulontarkan salam dan senyum sapa kepada para tamu. Aku pun duduk di dekat ibu dan para tamu. Tanpa basa-basi ibu langsung berbicara “Nak, ini Bu Ifa. Suami beliau adalah pendiri pesantren modern di Yogya. Sebelum suaminya wafat, beliau pernah berwasiat bahwa seluruh lahan kosong yang ada di pesantren akan dibuatkan lembaga pendidikan anak usia dini. Namun belum tercapai karena beliau jatuh sakit disaat dananya baru terkumpul. Dan beliau bilang bahwa lembaga itu ingin dipimpin olehmu”.

Aku terenyuh sesaat. Bagaimana mungkin sosok orang yang aku kenal bisa mewasiatkan amanah yang begitu besar padaku?. Ini bukan ketidak sengajaan, tapi ini adalah taqdir Allah yang dahsyat.

Tiba-tiba ibu membuyarkan lamunanku, “Bagaimana nak?, apakah kamu siap memimpin?” Ku yakinkan seluruh tamu dan ibuku “Bismillah ! ini adalah amanah. Niat yang baik harus terlaksanakn dengan mulus”. Semua mengucapkan syukur dan Bu Ifa bilang “Kalau sudah ada yang memimpin, insya Allah pelatakan batu pertama akan di mulai lusa”.

Sehari sebelum pergi ke Yogya, Kudatangi pesantren salaf yang di pimpin oleh K.H. Muhammad Ali Ghofur. Aku ceritakan pada beliau tentang amanah ini. Beliau tersenyum dan berpesaan “Bangunlah surga baru pada negeri lama yang telah tandus”.

Aku terharu. Aku pamit kepada semua lembaga yang ada di pesantren ini, terutama kepada K.H. Muhammad Ali Ghofur dan Bu Ustadzah Amira. Semua menangis.

Usai shalat subuh, kami sekeluarga beserta Bu Ifa berangkat menuju Yogya, kota dimana aku mulai merealisasikan ilmuku. Ibu merasa sangat bahagia. Terlihat dari pupil matanya yang mengembang dan senyumnya yang merekah. Semalam ibu juga bilang “Berkat didikan Agama, derajat keluarga kita terangkat. Memang benar nak, orang yang berilmu itu ditinggikan derajatnya oleh Allah, ibu percaya itu,” ucap ibu penuh syukur.

Tibalah kami di Yogya. Pesantren modern yang sangat mewah itu membuatku tertegun. Terulas lagi wasiat itu, mengapa bisa Almarhum memberikan wasiatnya padaku? Semakin penasaran aku akan perihal ini. Mencoba menggali kebesaran ini, alunan burung seakan menyambut riang kedatangan ku dari langit sana.

Kutemani Bu Ifa yang sedari tadi kulihat sedang terpaku. Kulihat arah matanya, ternyata foto almarhum suaminya lah yang menjadi sasaran matanya. Setelah sadar bahwa aku di sampingnya, Bu Ifa tersenyum

“Ada satu hal yang belum kamu ketahui nak, ada satu wasiat lagi”. Tanpa ada lagi kata yang terucap ibu mengayun tanganku, membawaku pergi pada sebuah ruangan. Bu Ifa menarik sebuah laci dan mengeluarkan buku yang sedikit berdebu. Ditawarkan lah aku pada buku itu. Ku ambil buku itu dan kubuka. Ternyata ayah adalah sahabat dekat dari almarhum suami Bu Ifa, yang sama-sama ingin mendirikan yayasan Islam. Namun ayah telah wafat terlebih. Dan hal itu sempat membuat suami Bu Ifa menyerah. namun karena niat yang baik, Allah pun mempermudah segala urusan.

Oleh: Rasikhah, Bekasi Jawa Barat

Tinggalkan Balasan