[Cerpen] Jalannya itu Hanya Nikah

0
644

Aku mengenal Ibrahim al khaifan sejak sekolah menengah atas. Dengan sosok tinggi kurus yang acak-acakan adalah ciri khasnya, penuh amarah dan selalu mengeluh. Menganggap semua pekerjaan adalah hal yang berat dan menyebalkan, entahlah apa yang pikirkannya saat itu hanyalah bermain dan bersenang-senang. Aku tidak mempedulikan dia atau mengenggap hubungan bersamanya adalah serius, aku juga tidak berfikir kalau dia akan menjadi suamiku. Yang terfikir hanyalah dia seorang anak manusia yang tidak memiliki hubungan kekerabatan sama sekali denganku. Namun seiring waktu berjalan semuanya telah berubah, ia menjadi manusia yang idealis, menggunakan waktunya tanpa kesia-siaan, itu menurutku. Mulai memikirkan masa depan dan kecerdasan yang kadang membuatku kesal, ia juga berhasil mencuri hati ini dan membuatnya menjadi “klepek-klepek” kalo bahasa alaynya.

Ngomong ngomong tentang keluarga, aku adalah henny wilya anak pertama dari 3 bersaudara, adik perempuan nomer 2 adalah teman curhat setia dan sekaligus musuh di rumah. namanya suci rizkiana, seorang periang dan selalu tersenyum dengan tingkahnya yang menggemaskan. Sedangkan adik laki-laki bernama sasori kuchiki, nama yang kontrofersial ini sering membuatnya terganggu ketika keluar rumah. Hahaha, aku selalu menjelaskan panjang lebar ketika ada seorang menanyakan namanya. Aku terlahir di keluarga sederhana, Bapak adalah seorang pedagang toko kecil di kampung kami, dusun kekalik jaya ia sering disapa dengan nama pak narto. Ibu seorang ibu rumah tangga yang baik hati dan adil dalam kasih sayang menurutku. para tetangga sering menyapanya dengan nama kecilnya bu hur.

 

********

Kehidupan sederhana dan rumah tangga yang damai yang aku rasakan dalam keluarga kecil ini. Tentang pengenalan GenRe (Generasi Berencana) yang disosialisasikan BkkbN menurutku inilah dia, dengan keluarga yang harmonis dan bahagia, walau anaknya 3, lebih 1 kan gak papa, hehe. mengawali hari dengan memasak air panas untuk 5 gelas teh hangat dan menggoreng beberapa ubi yang diberikan papuk (baca nenek) uti, tetangga sebelah. Liat papuk uti, ia tua renta namun penuh dengan senyuman yang membuatku selalu bahagia dan mencium pipinya jika berjumpa, seraya menunggu air matang, time for imagination :D, membuat percakapan dalam kepala sendiri dan merenungi apa yang sebenarnya tak ku butuhkan.

“lihat ia, tua, renta namun penuh senyum, dan selalu memberi tanpa mengharap imbalan, sedangkan kau? Muda dan penuh rasa mengeluh.”

“Hey itu bukan aku, mas baim yang mengajarkannya.!”

“kamu yakin kalau baim yang mengajarkannya? Apa mungkin kamu yang membuat baim selalu mengeluh?”

“tidak-tidak, dia selalu bahagia jika bersamaku, tapi. . .”

“ya, tapi baim tak pernah mengeluh jika ia tidak bersama kamu.”

“Ttttttuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuutttt. . .”

“anih? ini suara kentutmu apa suara air mendidih sih?”

“kamu ni suci, ganggu orang menghayal aja, bantu tu, buatin semuanya teh.”

“giliranmu week… :P” sambil memukul bokongnya ke hadapanku.

Seraya melempar sendalku ke arahnya, “ii…. Dasar adik durhaka.”

Pagi yang gaduh itu serasa damai dalam hatiku, dengan 5 gelas teh hangat di meja ruang inti, perbincangan keluarga yang begitu hangat, aku serasa tak ingin meninggalkan mereka. Apa kelak aku harus meninggalkan ini semua? Apakah aku harus meninggalkannya untuk seorang pria? Apakah ia? Aku tak mau. Aku ingin ini untuk selamanya. Di pangkuan ibu yang begitu hangat dan belaian ayah yang begitu nyaman dan celotehan adik-adikku yang begitu riang “anak manja :P” walau kata sindiran yang keluar dari bibir mereka tapi aku tahu hati mereka sebenarnya iri.

“kamu sudah berumur 21 tahun nak, kelak setelah menikah kau akan meninggalkan kami.”

Kata yang tiba-tiba diucapkan ibu membuat suasana gaduh menjadi sepi, semua memandang kepadaku dan akupun terbangun dari pangkuan ibu, mengapa mata itu seperti ingin mangusirku, mata-mata itu, mereka semua melihatku. Apa yang barusan ibu ucapkan?

“ibu bilang apa tadi?”

“kan bentar lagi kamu nikah.” Suci menyaut.

“eh? Ngawak anak ini, siapa ngajarin nyantut?”

“ia itu katanya ibu tadi.” Sasori memperjelas, aku tahu kali ini aku tak salah dengar dan percaya, ia masih begitu polos, mana mungkin ia berbohong.

“benarkah bu? Tapi henny gak mau, biar dah henny 10 tahun lagi hidup seperti ini, hhmmmm.”

“kamu mau jadi perawan tua nak?”

“bapak ini lagi, kalo udah datang jodoh henny, henny nikah dah.”

*******

“baiklah, sampai sini dulu materi perkuliahan kita hari ini, ada pertanyaan sebelum minggu depan kita ujian? Ya kamu lia.”

“begini pak, sebelumnya assalamu’alaikum warahmatullah wabarokatuh, terimakasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya, saya ingin menanyakan tentang materi yang sebelumnya. . . . “

Lia Yuliatin, sahabatku dari kami masuk kuliah, begitu cerdas dalam berbicara, kritis dan pintar dalam berdebat, melihatnya memberikan pertanyaan kepada dosen kami membuatku semakin kagum akan kecerdasan berbicaranya, lulusan pondok pesantren dan aktivis Lembaga Dakwah Kampus membuatnya semakin terlihat anggun dihadapanku. Jilbab yang terurai panjang dan warna gamis biru putih favorit yang ia kenakan hari itu menambah pesona para ikhwan, ku yakin itu. Hehe, keteguhannya untuk tidak pacaran yang kadang membuatku malu mengenalkan mas baim padanya. Scara mas baim kan pacar gue. ia sudah tahu kalau kami pacaran, ia kadang menggodaku, atau . . . . ? tepatnya menceramahiku kali ya, menceramahiku untuk tidak berpacaran lagi, tapi entahlah, rasanya hati ini tidak kuat untuk berpisah dengan mas baim.

“Apa jawaban dosen tentang pertanyaanmu tadi?”

“beliau bilang, kalau kamu punya anak langsung saja praktikan teori itu.”

“hahaha, ii.. dosen aneh, jadi inget kata ibu tadi pagi.”

“emang ibumu bilang apa?”

“saya nikah bentar lagi katanya, mmm, gak mau saya, kan saya masih pingin manja-manja sama ibu.”

“ya bagus sih, siapa bilang setelah nikah kamu gak bisa manja-manja sama ibumu? Lagian. . . .  daripada kamu pacaran gak jelas sama baim kayak gini, emang baim udah ngelamar kamu?”

“adu lia. . . . please deh, kita kan masih kuliah, loe pikir nikah bisa segampang itu?”

“insyaAllah dimudahkan loh, kalo kita niatnya baik itu, coba tanya baim cepet. Siapa tahu dia udah siap, cie cie yang mau nikah.”

“apa cobak.” Pipiku mulai memerah sembari menepuk bahunya.

Menghabiskan waktu di kos lia sambil belajar mengaji dan memperbaiki tartil bacaan Qur’an yang masih morat-marit seperti bayi yang baru belajar berbicara, jika mas baim mengibaratkan memperbaiki tartil ucapan arab seperti belajar fonologi, terkadang ia terus mengoceh tentang matakuliahnya yang tidak aku mengerti sama sekali, ia mengambil kaca spion motornya dan memberikannya padaku dan mulai menguliahiku

“Liat bibirnya, bilang “ba” ,yang mana mendekati yang mana?”

“bibir bawah itu gerakannya ke atas deketin bibir atas.”

“nah itu, yang bergerak namanya artikulator dan yang diam namanya titik artikulasi dan huruf bilabial itu jika blab la bla. . . . .”

Membosankan ketika ia mulai mengembangkan pembicaraan tentang kecerdasannya, sebenarnya aku ingin mengucapkan “mas, saya nggak ngerti, udah apa, lainan diomongin.” Namun melihatnya bahagia dan membuatnya merasa cerdas adalah kebahagiaan buatku. Mungkin benar yang dikatakan shahrukh khan dalam film rabb ne bana de Jodi “cinta tak memiliki rasa sakit.” Inilah yang aku rasakan, sakit akan kebosanan tak terasa juga walau harus berjam-jam mendengar kuliah dari mas baim tentang kebanggaannya yang sering ia sebut Linguistik.

“kho. Khakhikhu bakh, khukhan khanikhakhnaminalmukhni makhikhan khanikhakha.”

“bukan seperti itu nik, gini, suara tenggorokan bagian atas.”

“khoo ohk ohk,”

“bukan suara batuk, kamu gak bisa serius ah, males saya ngajarin.”

“ayo apa lia, janji dah saya serius, mas baim gak terima istri gak bisa ngaji kayak saya, kamu mau saya batal nikah?”

“ele, alesannya, makanya sekarang telfon baim bilang lamar saya baru saya mau ngajarin lagi.”

“eh? Mana bisa, kita kan masih kuliah, masih semester 6 lagi.”

“gapapa, emang ada aturan kampus bilang “DILARANG MENIKAH BAGI MAHASISWA!”?”

“mmmm, , , saya cobak aja ya? Hehe, menurut lia kalo saya nanyain nikah sekarang ke mas baim apa responnya dia?”

“kalo dia cowok dia pasti bilang “YA”, tapi kalo dia bencong dia bilang “kita pacaran dulu”.”

“kamu ni, gak ada tawaran lain apa selain saya putus sama baim?”

“itu kan nikah sayangku yang imyuutt.” Seraya mencubit kedua pipku.

“iii… sakit tau,”

“cie. . . . merah pipinya yang mau nikah.”

“bukan ini bekas cubitan.” Menutup pipiku yang memerah menahan malu.

Berselang beberapa detik, dering cerrybelle yang waktu itu popular tiba-tiba terdengar dari ponselku, aku tersenyum nyengir melihat gelengan lia yang heran mendengar dering itu. Sekali lagi aku melihat betapa cantiknya sahabatku ini, kadang aku iri, namun ayolah seseorang di sana menunggu jawaban telfonku jadi tak ada waktu untuk iri saat ini.

“mas baim?”

“angkat hen, siapa tau yang kita bicarakan telah tiba,ayo angkat!”

“baik, tapi, ambilin minum, saya gugup ni.”

assalamu’alaikum warahmatullah wabarokatuh, mas, tumben nelfon ada apa? Ia, kenapa? Adek gak salah denger kan mas? Mas? Mas yakin dengan keputusan ini? Ia kalau begitu itu keputusan terbaik yang mas buat saya terima, assalamu’alaikum warahmatullah wabarokatuh.

Mungkinkah telah tiba langit yang terpecah? Apakah matahari terbit dari barat? Air mataku tak terasa mengalir deras, seakan tak ada kehidupan setelah aku menutup telfon tadi, melihat sekelilingku seperti efek blur air yang ada di program edit foto, samar dan hitam, aku tak memikirkan apapun bahkan tak mengerti apa yang aku tangisi, mencekam, seperti fonis hukuman mati yang dibacakan hakim kepada terdakwa dalam pengadilan, menyesal dan terluka, lumpuh tak berdaya. Lia yang kembali dari dapur meloncat menepuk bahuku sembari berkata.

“hey, gimana de. . . kamu kenapa nangis?”

Aku hanya bisa menggeleng dan memeluknya dengan erat, menangis sejadi-jadinya. Aku tak menyangka hal ini yang akan terjadi, apa salahku selama ini? Kenapa mas baim begitu kejam kepadaku, aku tahu ia tak sejahat itu, aku tahu ia mencintaiku, tapi itu yang aku tahu, ternyata banyak yang ku tak ketahui tentangnya.

Terisak-isak aku menjawabnya sambil terus melelehkan cairan dari hidungku “kami, ka-mi, lia, kami. . . . kami putus. PUTUS LIA.!!”

Ruangan sebesar 3×3 meter itu serasa semakin menyempit oleh perasaan sempit yang ada dalam hatiku, rasanya selama 2,5 tahun kami pacaran tak menghasilkan apa yang baik, yang dihasilkan hanyalah kedustaan, yang ku rasakan hanya penyesalan di hati, yang ku rasakan hanyalah sakit, sakit hati yang begitu mendalam, serasa menusuk ke setiap sendi, membuatku lumpuh dan tak berdaya, dan saat ini yang ku punya hanyalah lia, ya Lia, ia yang ku peluk erat yang menjadi penyanggaku disaat aku seperti ini, dengan kata-katanya yang begitu menyejukkan hatiku.

“sudah sayang, kamu seharusnya bahagia, Allah menyayangimu dengan menunjukan sifat asli baim sebelum ia menjadi pendamping hidupmu untuk selamanya, seandainya Allah tak menyayangimu maka ia kan menjadi suamimu dan setelah kalian menikah kamu akan dicampakkan seperti ini, segala sesuatu memiliki hikmah, yang sabar ya. Sekarang tegakkan kepalamu, saya ingin melihat henny wilya yang periang itu, mana dia?” menarik pipiku dan memaksaku membuat senyuman untuknya.

Bersyukur akan membuat segalanya lebih baik, aku kembali mengingat kata motivasi itu. Memang efek lunglai yang terasa di badan masih ada, fikiran pun masih membayangkan betapa bodohnya aku bisa pacaran. Padahal, selama masa SMA aku bersikukuh pada diri sendiri untuk tidak pacaran, sekarang apa? Yang ku nikmati hanyalah ratapan arti kata “PUTUS”, sekarang aku merasakannya, dulu teman-teman mengatakan putus aku selalu mengejek mereka dengan kata “ngapain nangisin orang? Suamimu juga bukan.” Mengingat itu aku tertawa sendiri. Ya, kadang pembuktian akan segera didatangkan atas apa yang kita ucapkan. Allahku maha adil.

*************

“Matamu kenapa bengkak?”

“diem kamu anak kecil.”

“ayo, abis kelai sama mas baim ya?”

Anak ini banyak tanya (gerutuku dalam hati), “pergi sana, tutup pintu kamar itu.”

“ndak mau ayok, critain kita makanya.”

“SUCI RIZKIANA!!! PERGI!!”

Pukul 14.30 aku pulang dari kos lia dengan mata bengkak, makan siang ku tunda untuk mengistirahatkan badan ini, kasian adikku menjadi tempat pelampiasan perasaan kesal gara-gara anak manusia yang pernah sangat dekat denganku 2,5 tahun belakangan ini, 2,5 tahun, oh sudahlah, sampai kapan aku harus meratapi hal ini. Imam syafi’I pernah mengatakan sebuah pesan yang kurasa bukan hanya untukku yang sedang patah hati tetapi untuk semua umat islam seluruh dunia ini “jika kau tidak disibukkan dengan perkara kebaikan, maka kau kan disibukkan dengan perkara keburukan.” Dan mari kita buat simpulan, memikirkan baim sama dengan sibuk dengan keburukan, Pegang teguh itu henny!

“nak, sudah makan?”

Melihat ke arah pintu terlihat sosok berwibawa yang ku idolakan selama ini, dengan jumlah uban yang semakin bertambah di sela-sela rambutnya yang lurus dan hitam. Bapak mendekatiku, mengelus jilbabku yang belum ku lepas dari pulang tadi.

“jika ada seseorang yang menyakitimu saat ini. Cerita sama bapak.”

“bapak sok tau ni.”

“bapak kan pernah muda, gimana kalau saran dari bapak? Boleh?”

“mmmm.. . emang sarannya apa?”

“kamu focus kuliah, jangan pacaran sampe wisuda, dan 1 lagi.”

“bapak, ni saran apa aturan sih pak?”

“hehe, kamu ini, ia kalo kamu mau jadikan aturan boleh, tapi kalo mau jadi saran juga boleh.”

“hmmm ia aturan aja dah ya, henny capek sakit hati.”

“tu kan ketahuan lagi sakit hati sama cowok, anak bapak udah bisa pacaran ya.”

“mmm udah gak kok pak, henny janji sama bapak juga, mulai sekarang sampe henny nikah henny gak akan pacaran lagi, trus yang satunya lagi apa pak?”

“jadi anak bapak yang solehah.”

“ii… bapak ini, emang henny kurang solehah dari mana ayo? Jilbab udah panjang, sholat ma puasa kan rutin.”

“mana ada orang sholehah ngaku nak, kamu ni. ngajimu itu diperbaiki, bapak kasi kamu nginep di kos lia, yang penting kamu belajar ngaji di sana, bapak percaya sama kamu. Siapapun yang menyakiti kamu saat ini kalau dia jodoh kamu maka trimalah dia, karena jodoh adalah ketetapan Allah, pahami itu anakku.”

Lihatlah hai dunia. Allah begitu menyayangiku dengan memberikanku ayah yang begitu bersahaja, ibu yang begitu lembut dan saudara-saudaraku yang begitu pengertian, aku bangga pada mereka semua, sahabatku Lia yang begitu cantik dan bersemangat dengan dakwahnya. Aku adalah hamba Allah yang beruntung. Pemikiranku perlahan mulai terbuka untuk melupakan hal bodoh yang dinamakan “pacaran” itu, menggantinya dengan hal yang bermanfaat, mengikuti kajian islami bersama sahabatku, membaca buku dan hal menarik lainya yang tak pernah ku rasakan ketika dalam belenggu pacaran.

Pulang kuliah biasanya aku dan mas baim pulang bersama, menghabiskan waktu di taman belakang rektorat universitas mataram, melihat para akhwat likoq dan mendengar komentar mas baim tentang mereka, ia sering ucapkan hal yang sama ketika melihat kawanan akwhat itu, aku ingat betul.

“kamu seharusnya seperti itu, tapi ingat. Di tiap-tiap mereka memegang mahzab mereka masing-masing, ambil yang baik dan tinggalkan yang buruk, fanatik terhadap mahzab dan tak menerima mahzab orang lain adalah kesalahan. Perbedaan dalam islam adalah rahmat, tak ada yang kekal di dunia ini kecuali iman dan amal sholeh. Jangan terlalu banyak berharap sama saya. Karena kelak saya juga pasti kan meninggalkan kamu.”

Dan sekarang kata-katamu terbukti mas. Aku telah kau tinggalkan dan sekarang aku bergabung likoq dengan mereka, begitu banyak ilmu yang aku dapatkan, dari fiqh perempuan dan kemuliaan akhlak untuk perempuan, kebanggaan dari Rahim yang melahirkan pejuang-pejuang Allah. Memikirkan hal ini, sebenarnya aku benci-benci tapi rindu, mengingat keputusan hari itu yang sebenarnya adalah hal terbaik untuk aku dan mas baim. Sakitnya rasa putus, namun lihatlah hikmah dibalik rasa sakit. Inilah yang ku lakukan sepulang PPL di SMAN 3 Mataram, dan juga di semester akhir sewaktu KKN dengan para ukhti-ukhti di posko dan tentunya bersama sahabatku lia yuliatin.

Sudah 1 tahun  lebih waktu berjalan setelah aku putus dengan mas baim, kami berdua wisuda di waktu yang bersamaan, 22 agustus 2015, aku fikir mengapa ia yang cerdas menunda wisudanya, padahal wisuda bulan april ia bisa, masa bodoh, memangnya dia siapa? Siapanya saya juga bukan. Hehe entahlah, mengapa aku memikirkannya saat hari wisudaku? Ia karna dia menjadi pusat perhatian penyebab dari predikat cumlaude, berpidato dan bla bla bla. Tapi hey?

“henny wilya yang duduk di sebelah sana.”

Mengapa orang-orang melihat padaku? Dan kenapa ia menyebut namaku? Apa maksudnya ini? Apa dia mau pamer kecerdasannya kepadaku? Atau mempermalukanku dihadapan semua audien yang ada di auditorium M.Yusuf Abubakar ini? Beribu kemungkinan, oh bukan, berjuta pertanyaan yang muncul dari sepersekian detik dari efek tuturan si jenius itu. Makin aneh lagi jika kekuatan konteks yang ia timbulkan dari ucapannya berdampak langsung ke orang-orang sekitarku yang langsung memberi tepuk tangan ke arahku. Apa sebenarnya yang terjadi, saat itu ibu yang duduk di sampingku langsung memelukku bahagia, dan juga bapak melepas togaku dan mencium keningku. Semakin aneh dan apa sebenarnya terjadi di sini, aku merasa dipermainkan.

“apa yang terjadi ibu? Pak?”

“kamu baru saja dilamar oleh baim di sini.”

“apa? Orang itu? Aku tak sudi menikah dengannya!”

“apa kamu ingat tentang apa yang ayah katakan waktu kalian putus? “Siapapun yang menyakiti kamu saat ini kalau dia jodoh kamu maka trimalah dia.” Apa kamu masih ingat nak?”

“tapi bapak gak tahu apa masalahnya.”

“kamulah yang tak tahu masalah sebenarnya, baim ke rumah hari itu, dan ketika ia menelfonmu juga ia sedang bersama kami. ia bilang untuk serius melamarmu ketika sudah wisuda, ia memilih untuk tidak pacaran karena merasa bersalah secara agama dan semua, ia merasa kalau pacaran hanya membawa mudhorat untukmu dan untuknya, ia mengatakannya pada bapak dan ibumu langsung, tanyakan saja pada ibu jika kamu tak percaya.”

“benakah bu?”

Dengan mata yang sudah berkaca-kaca ibu mengangguk mengiyakan. Air mata ini. Ini  lagi, bukan! Ini berbeda dari hari itu, ini air mata yang berbeda, jika hari itu air mataku menyempitkan ruang, sekarang air mata ini meluaskan ruangku, mengisi setiap ruang yang ada dalam hati ini, membangun kekuatan di setiap sendiku dan membuat taman bunga dalam hatiku, lia mendekatiku dan  memelukku dengan haru yang hampir sama denganku, aku yakin itu sama. karena ia menangis hampir sama denganku, hihi. Seperti biasa ia bisa saja membuatku tersenyum, betapa tidak, bahkan di suasana sedih ia mampu membuatku tersenyum, apalagi di suasana membahagiakan ini.

“udahan ah nangisnya, kasian udah di make up kayak gini nangis lagi, kan luntur, ntar gak jadi foto-foto.”

“ia, setelah ini kita nangis nangisan lagi yah.”

Lamaran berlanjut ke pelaminan dan beberapa pertanyaan tentang keputusan mas baim satu tahun silam pun telah terjawab seiring waktu. Sebenarnya pacaran yang kami rasakan dulu hanyalah tipu muslihat nafsu dan perbedaan cinta dan nafsu terasa jelas  ketika kami merasakan cinta yang halal penuh berkah dan cucuran rahmat dari yang maha pengasih. JALANNYA ITU HANYA NIKAH. Tidak ada jalan lain selain menikah untuk membagi cinta kepada pasangan. Pacaran melahirkan kekecewaan menikah melahirkan cinta dan keturunan. J wallahu’alam bi ash-shawab.

Oleh: Singgih Wiryono, Lombok Barat

Tinggalkan Balasan