Pagi ini, pagi pertamaku melangkahkan kakinya ke suatu tempat. Aku sengaja tidak mengendarai motor. Berjalan kaki, sambil sesekali menyapa tetangga yang tak sengaja aku temui di sekitar kontrakanku. Sampai di ujung jalan besar, aku menuju halte bus di seberang. Tempat yang aku tuju memang sedikit jauh. Mau tak mau, aku harus naik kendaraan umum. Sambil menunggu bus datang, aku menghampiri penjual koran di samping halte. Memilih-milih koran -yang seperti biasa- headline nya hampir sama.
“Beritanya gini-gini aja ya, bang?” Aku membuka percakapan dengan penjual koran yang dari tadi sibuk membaca koran yang dipegangnya.
“Iya nih mas, berita korupsi mulu. Paling-paling ditambahin sama berita artis kawin-cerai atau berita kriminal. Berita-berita aib makin laku dicari orang.” Sahut penjual koran itu.
Sekitar sepuluh menit, bus yang aku tunggu datang. Setelah menyerahkan uang ke penjual koran, aku bergegas menaiki bus. Bus itu telah hampir penuh penumpang. Sebagian besar penumpangnya adalah anak sekolah dan ibu-ibu yang hendak ke pasar.
“Permisi bu.” Aku berkata santun pada ibu-ibu yang duduk tepat di depanku. Ibu itu terlihat sibuk berbincang dengan penumpang lain di kursi seberang hingga tak sadar bahwa cara duduknya menghalangiku yang ingin lewat ke kursi depan.
“Oh, iya mas. Maaf ya mas.” Ibu itu langsung mengubah posisi duduknya.
Masih ada sekitar 5 kursi yang belum terisi. Aku sengaja mengambil tempat duduk di dekat sopir, agar bisa dengan mudah tahu dimana aku harus berhenti. Maklum, aku mengetahui tempat tujuanku hanya dari peta tulisan tangan yang dibuat seadanya. Sekitar lima menit berlalu, bus tak juga berangkat. Kebiasaan sopir bus di kotaku memang begitu. Mereka tidak akan berangkat ketika penumpangnya belum penuh. Bagiku memang tak masalah. Tapi tidak bagi anak-anak sekolah yang duduk dibelakang. Mereka berkali-kali menyeletuk agar sopir bus segera menjalankan bus nya.
“Bang, ayo berangkat, bang. Udah jam enam lima puluh nih. Ntar kami telat, ga bisa masuk kelas!” Teriak anak laki-laki di bagian belakang yang langsung diiyakan oleh penumpang -terutama anak sekolah- lainnya.
Lima menit kemudian, bus berangkat dengan masih menyisakan 4 kursi kosong. Di pemberhentian berikutnya, segerombol anak laki-laki berseragam SMP naik dan langsung berdiri, bergelantungan di dekat pintu. Pemandangan seperti itu telah dianggap lumrah bagi penumpang bus. Tetapi aku yang terbiasa naik motor, tahu betul bahwa yang dilakukan anak-anak itu berbahaya, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi pengendara lain. Setelah setengah perjalanan, penumpang bus sudah berkurang lebih dari setengah. Sopir bus melambatkan laju busnya. Aku sendiri masih sibuk membuka-buka koran yang tadi aku beli. Tiba-tiba, handphone ku bergetar.
“Syid, selamat yaa. Denger-denger kemaren udah selesai pendadaran. Semoga sukses. Ditunggu syukuranya”, seorang teman se-fakultas mengirim pesan singkat.
“Haha. Tau aja. Berkat doa kalian juga nih. Makasih bro. Ditunggu juga syukuran dari kamu. :p” Aku mengetik pesan balasan sambil menyungging senyum.
Sekitar setengah jam kemudian, Aku turun dari bus lalu masuk ke sebuah gang sempit. Aku menyusuri gang itu sambil beberapa kali menganggukkan kepala kepada orang yang aku temui. Untuk sampai ketempat tujuannya, aku harus beberapa kali bertanya pada orang. Peta yang aku bawa kurang membantu karena gang di daerah itu cukup banyak. Empat puluh lima menit berlalu, akhirnya aku sampai di tempat yang aku tuju. Sebuah rumah berukuran sedang. Di depan rumah itu, ada sebuah papan bertuliskan. “Rumah Belajar Pelangi”. Aku melangkahkan kaki ke rumah belajar itu. Sedikit ragu. Aku berhenti. Tiga puluh detik, tiba-tiba dari dalam ada seorang perempuan berjilbab rapi keluar. Kak Nisa.
“Eh, Rosyid? Akhirnya kamu kesini juga.” Kak Nisa sedikit terkejut dengan kedatanganku,
“Masuk, masuk.” Kak Nisa mengajakku masuk ke rumah itu.
Aku masuk sambil secara otomatis mengamati kondisi rumah. Sedikit berlawanan memang antara nama dan kondisi rumah itu. Rumah itu bercat putih yang sudah kusam. Bahkan beberapa tempat, catnya telah mengelupas. Bentuk rumah itu persegi panjang berukuran sekitar 12 x 6 meter. Pintunya terletak tepat ditengah, dengan enam jendela mengelilingi rumah itu. Sepertinya rumah itu memang sengaja dibangun untuk dijadikan aula. Di bagian kiri pintu masuk, terdapat dua rak gantung dan dua rak berdiri. Rak itu penuh dengan buku-buku yang cukup beragam. Mulai dari komik, buku-buku cerita bergambar, majalah anak, majalah remaja, buku pelajaran, bahkan ada juga buku tentang politik dan resep masakan. Di sudut ruangan, tertumpuk beberapa dus yang juga berisi buku. Sepertinya buku itu tidak bisa ditata karena kehabisan rak. Di sebelah kanan pintu, sebuah karpet lusuh terhampar. Aku duduk di karpet itu. Di dinding-dindingnya, ditempel beberapa gambar yang aku menyangka itu adalah hasil karya anak-anak pengunjung rumah belajar itu. Juga sebuah papan tulis berukuran sekitar 120×80 cm dan gambar-gambar seperti table perkalian, pembagian, kamus bergambar, ada juga tata cara sholat serta wudhu. Di sudut karpet, terlipat rapi beberapa sajadah dan mukena. Di depanku, Kak Nisa duduk takzim membiarkanku mengamati rumah belajar itu. Setelah beberapa saat, Kak Nisa membuka percakapan.
“Gimana kabar kamu sekarang, Syid?”
“Alhamdullillah kak. Kakak sendiri gimana? Sibuk dimana sekarang, kak?
“Alhamdulillah baik juga. Kakak sekarang kerja di kantor Pemerintah daerah. Sekitar 15 kilo dari sini. Sama ngurusin rumah baca ini aja nih, syid.”
“Jauh juga ya kak. Sendirian aja ngurusin rumah ini?”
“Haha. Gimana lagi, Syid. Temen-teman kakak yang dulu bareng-bareng ngurusin rumah baca ini udah pada lulus semua. Pada kerja jauh. Tinggal kakak sendiri aja nih. Paling-paling kakak dibantuin sama adek-adek angkatan. Tapi itu juga jarang-jarang. Jadinya gini nih. Kakak kerja di kantor dari Senin-Jumat. Sabtu-Minggu, baru bisa buka rumah belajar ini. Untung kamu datengnya pas rumah ini buka.”
Setelah itu, aku terlibat perbincangan panjang dengan Kak Nisa.
***
Aku mengenal Kak Nisa dari Kak Fadhil. Waktu itu, Kak Fadhil adalah mahasiswa semester tujuh di Fakultas Teknik. Awal perkenalanku dengan Kak Fadhil adalah ketika aku datang ke kota ini sebagai mahasiswa baru. Sebagai alumni pondok pesantren yang sekaligus memperoleh beasiswa yang punya ikatan kerjasama dengan universitas yang aku masuki, aku langsung disambut oleh kakak angkatanku dengan baik. Dicarikan kos, dan lain-lain. Sebulan setelah resmi menjadi mahasiswa baru, diadakan gathering sekaligus penyambutan mahasiswa baru oleh instansi penyelenggara beasiswaku. Acara itu dihadiri oleh seluruh penerima beasiswa, dan disana, aku bertemu dengan Kak Fadhil.
“Dari pesantren mana, dek?” Kak Fadhil menghampiriku yang sedang duduk di kursi sudut ruangan. Tema gathering waktu itu adalah standing party. Hal ini memungkinkan para tamu untuk saling menyapa dan menghampiri. Aku sedikit gagap menjawab pertanyaan Kak Fadhil. Tidak biasanya aku disapa orang yang tidak aku kenal.
“Dd..dari pesantren Abdurrahmaan, kak”. Jawabku agak gagap.
Kak Fadhil yang tahu kalau aku sedikit canggung, segera mengajakku berbincang banyak. Keramahan dan cara bicara Kak Fadhil yang hangat membuat rasa canggungku segera hilang.
Sejak hari itu, aku banyak berkomunikasi dengan Kak Fadhil. Apalagi tiga bulan setelah pertemuan itu, Kak Fadhil mengajakku mengontrak bersama. Ada sekitar 6 orang penghuni kontrakan itu setelah aku masuk. Setelah mengenal beberapa lama, aku tahu bahwa kak Fadhil adalah mahasiswa yang tidak hanya sibuk kuliah. Dia mengikuti kegiatan ekstrakurikuler bahkan menjadi salah ketua di organisasi mahasiswa di fakultasnya.
Selain itu, Kak Fadhil punya kegiatan diluar sebagai seorang pengajar anak jalanan. Dia dan beberapa temannya mengumpulkan anak-anak yang sedang menunggui orang tuanya bekerja, seperti memulung atau berjualan asongan. Anak-anak itu diajak orang tuanya karena tidak ada yang menjaganya dirumah. Padahal untuk bersekolah, orang tua mereka pun tidak punya biaya. Melihat kondisi itu, Kak Fadhil dan teman-temannya mengumpulkan uang dan buku-buku bekas sumbangan dari teman-teman kuliahnya. Dari sumbangan itu, dibelikan papan tulis dan peralatan menulis seperti polpen, buku, dan lain-lain.
Kak Fadhil memulai kegiatan itu dengan mengajak dan menawari mereka belajar dengan iming-iming buku dan alat tulis gratis. Sebagian besar anak-anak itu sangat antusias ketika diajak. Kak Fadhil memilih tempat belajar di pinggir tanah kosong dekat pemukiman mereka. Awalnya memang agak sulit. Melihat kondisi anak-anak yang sebagian sangat nakal dan susah untuk diatur. Akan tetapi, Kak Fadhil tidak menyerah. Dia dengan tekun mengajari anak-anak itu belajar. Selain mengajar anak-anak jalanan itu, kak Fadhil beserta teman-temannya terus mengusahakan tambahan dana untuk mengelola rumah belajarnya.
Kak Fadhil dan teman-temannya memanfaatkan jaringan yang mereka punya. Tapi, karena program yang dijalankan Kak Fadhil dan teman-temannya adalah inisiasi pribadi tanpa payung lembaga atau organisasi, proposal-proposal kerjasama yang mereka ajukan ke perusahaan-perusahaan atau instansi banyak yang tertolak. Hanya beberapa perusahaan penerbitan saja yang mau menyumbangkan buku-buku mereka, itupun kebanyakan bukanlah buku dengan segmentasi anak-anak. Sebagian besar penyumbang justru dari teman-teman kuliahnya. Tetapi, mereka tidak menyerah karena keterbatasan itu.
Aku pernah diajak Kak Fadhil ke tempat mengajarnya. Menurutku, tempat yang sangat tidak kondusif lah yang membuat anak-anak itu semakin sulit diatur dan akhirnya mereka semakin lama semakin malas belajar. Bayangkan saja, tempat belajar mereka berada disudut lapangan, dengan suara lalu lalang kendaraan dan tanpa atap. Ketika matahari terik, mereka kepanasan, sedang ketika hujan, mau tidak mau belajar mereka dihentikan. Kegiatan belajar sendiri hanya berlangsung selama dua sampai tiga jam. Selebihnya, mereka dibiarkan membaca-baca buku yang dibawa oleh Kak Fadhil dan teman-temannya.
Semakin lama, aku semakin akrab dengan Kak Fadhil. Bagiku dia sudah seperti kakakku sendiri. Begitu juga kak Fadhil. Dia bahkan tidak sungkan untuk menceritakan keadaannya, kuliahnya, keluarganya, dan lain-lain. Kami sering berdiskusi banyak hal. Walaupun kami sangat dekat, aku sangat jarang membantunya mengajar. Kegiatan akademikku yang sangat padat membuatku tidak memiliki banyak waktu luang. Selain itu, aku juga mengikuti kegiatan ekstrakurikuler Silat yang memang sudah sangat aku minati sejak di pondok, dan juga terdaftar sebagai anggota aktif di Himpunan mahasiswa jurusan di fakultasku.
***
Keakrabanku dengan Kak Fadhil hanya terjalin sekitar satu tahun. Hari itu, tidak biasanya hujan deras turun. Bahkan disertai angin yang cukup kencang. Aku sedang bersiap untuk kuliah pagi ketika tiba-tiba handphone ku bergetar. Kak Nisa mengirim pesan singkat. “Fadhil kecelakaan. Sekarang sedang dalam perjalanan ke rumah sakit Asy-Syifa. Rosyid segera menyusul yaa.. bisa?”
Sms itu segera ku jawab “oke”.
Aku langsung menyambar tas dan segera mengeluarkan motorku. Walaupun sms Kak Nisa tidak bernada tegang, entah mengapa perasaanku sangat tidak nyaman. Aku tiba-tiba ketakutan. Aku terus-menerus berdoa memohon ketenangan kepada Allah, dan mohon keselamatan untuk kak Fadhil. Sesampainya di Rumah Sakit, aku langsung menuju Instalasi Gawat Darurat. Kak Nisa tadi mengirimkan pesan lagi dan menyuruhku langsung menuju IGD. Sesampainya aku disana, terlihat beberapa teman kak Fadhil yang aku kenal.
Dua orang perempuan –yang aku juga mengenalnya sebagai teman Kak Fadhil- berpelukan sambil menangis tergugu. Perasaanku semakin tidak karuan. Seorang dokter sedang sibuk berbicara dengan teman Kak Fadhil yang lain. Kak Nisa yang melihat kedatanganku, langsung menghampiriku.
“Fadhil masih ditangani dokter. Rosyid berdoa terus yaa untuk Fadhil.” Kak Nisa berkata lirih. Terlihat air mata menggenang disudut matanya. Walaupun begitu, Kak Nisa terlihat yang paling tegar diantara teman yang lain. Padahal setahuku, Kak Nisa adalah salah satu teman terdekat dari Kak Fadhil.
Aku mengangguk lemah. Entah mengapa, aku sangat malas mengeluarkan suara. Setelah itu, aku duduk di kursi dekat pintu IGD. Mengeluarkan Al-Qur’an yang memang selalu aku bawa kemana-mana. Aku bertilawah untuk menenangkan diri.
Sekitar satu jam, belum ada perkembangan dari Kak Fadhil. Menurut keterangan dokter, kepala Kak Fadhil mengalami benturan keras sehingga ada darah yang masuk kedalam otaknya. Upaya operasi sedang dilakukan untuk mengeluarkan darah itu. Suasana Rumah Sakit agak ribut. Teman-teman Kak Fadhil banyak yang datang. Riuh, tapi aura duka benar-benar terasa. Diantara mereka, ada yang membaca Al-Qur’an sepertiku, ada pula yang berbincang-bincang dengan orang disampingnya. Keluarga Kak Fadhil datang tepat disaat akhirnya pintu ruang operasi berbuka. Semua orang yang ada ditempat itu langsung menghampiri dokter yang mengoperasi Kak Fadhil.
“Kami telah berusaha sekuat tenaga. Tapi, darah telah terlanjur masuk ke dalam otak pasien. Pasien tidak dapat tertolong, Pak. Bu. Mari Diikhlaskan.”
Seketika itu, suasana riuh. Suara tangis pecah seketika. Suasana kalut dan duka bercampur. Kak Fadhil Meninggal. Terlihat teman-teman Kak Fadhil menangis. Bahkan, ibu Kak Fadhil sudah dibopong oleh beberapa teman Kak Fadhil karena pingsan.
Aku sendiri, langsung berhampur ke dalam ruangan. Didalam, terlihat tubuh kak Fadhil yang telah kaku. Aku benar-benar ingin memeluknya waktu itu. Tapi disaat yang sama, aku serasa terbang. Aku tak menangis. Tapi juga serasa tidak mendengar suara apapun. Kak Nisa mengajakku mendekati jenazah Kak Fadhil. Entah mengapa kakiku terasa sangat berat. Aku memaksa diri untuk mendekat. Wajah kak Fadhil terlihat biru lebab di beberapa tempat. Tapi entah mengapa, wajahnya tetap saja terlihat teduh.
Aku langsung memeluknya Kak Fadhil, mengguncang-guncangkan tubuhnya. Seketika, tangisku pecah. Aku menangis sejadi-jadinya. Berteriak dan memohon agar Kak Fadhil bangun. Rasa tidak percaya bercampur tidak rela membuatku kalap hingga tak bisa berfikir rasional. Yang telah mati, tidak mungkin hidup lagi. Semua ini serba mendadak. Bahkan aku belum sempat mengucapkan terima kasih atas semua kebaikan Kak Fadhil. Beberapa orang akhirnya membimbingku keluar ruangan. Mencoba menenangkanku.
Setelah itu, keluarga Kak Fadhil membawa jenazahnya pulang. Rumah asal Kak Fadhil yang hanya berjarak satu jam perjalanan memungkinkan banyak teman ikut mengantar jenazahnya sampai ke rumah. Aku mengikuti seluruh proses pemakaman sampai kak Fadhil dikuburkan. Masih terlihat isak tangis kehilangan di semua proses pemakaman Kak Fadhil. Hujan gerimis mengiringi seluruh proses pemakaman itu. Pelangi, terlihat memudar saat jenazah kak Fadhil diturunkan ke liat lahat.
***
Hari ini, tepat 4 tahun sejak meninggalnya Kak Fadhil. Aku memutuskan untuk datang ke tempat ini. “Rumah Belajar Pelangi”. Empat tahun yang lalu, Kak Fadhil mengalami kecelakaan ketika pulang dari tempat ini. Tempat ini awalnya adalah aula milik warga di komplek perumahan tak jauh dari pemukiman tempat Kak Fadhil mengajar anak jalanan. Pagi itu, pengurus komplek perumahan yang telah mengetahui aktivitas Kak Fadhil menghubunginya dan menyuruh Fadhil menemuinya.
“Fadhil, bapak sudah membicarakan ini pada warga. Kami sepakat untuk meminjamkan aula di pojok komplek yang sana itu, untuk tempat kamu dan teman-temanmu mengajar anak-anak jalanan itu.” Jelas bapak pengurus komplek itu panjang lebar.
“Benar pak? Waaah, terima kasih banyak, pak. Anak-anak pasti seneng banget pak. Saya harus buru-buru ngasih tahu mereka nih pak. Sekali lagi, terima kasih pak. Semoga kebaikan bapak dan warga bapak dibalas sama Allah.”
Percakapan itu adalah percakapan terakhir yang dilakukan oleh Kak Fadhil. Sepulangnya dari rumah itu, Kak Fadhil mengalami kecelakaan. Sebuah truk menabraknya dari belakang yang membuat tubuh Kak Fadhil terpental 10 meter dari motornya.
***
Setelah kematian kak Fadhil, aku memang tidak lagi mengikuti perkembangan rumah belajar ini. Sampai sekitar sebulan yang lalu aku bertemu dengan Kak Nisa di sebuah toko buku terkenal di dekat kampus. Dia mengajakku untuk ke tempat ini. Aku sedikit ragu awalnya. Tapi akhirnya, hari ini, tepat empat tahun setelah kematian kak Fadhil, aku menginjakkan kaki ke tempat ini, bercerita banyak hal dengan kak Nisa. Ketika sedang asik ngobrol, tiba-tiba dua anak berusia tujuh tahunan datang.
“Assalamu’alaikuuum”, mereka mengucapkan salam serentak, lantas menghampiri Kak Nisa dan mencium tangannya.
“Wa’alaikumsalam” Sambut kak Nisa.
“Kak, kami boleh baca buku cerita yang di rak sebelah sana? Dua anak kecil yang selanjutnya aku tahu bernama Sari dan Romi bertanya dengan sopan kepada Kak Nisa.
“Boleh. Ambil aja. Trus dibaca bareng yaa. Nggak usah rebutan.” Jawab Kak Nisa sambil tersenyum.
Dua anak kecil itu langsung berlarian menuju rak buku. Mengambil buku yang mereka maksud dan membacanya di hamparan karpet. Sebuah pemandangan ganjil menurutku. Mengingat empat tahun yang lalu, anak-anak didik kak Fadhil sangat nakal dan sulit diatur. Beberapa lama kemudian, segerombolan anak laki-laki datang dan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Sari dan Romi. Kak Nisa seakan dapat membaca keherananku.
“Di rumah belajar ini, anak-anak itu tidak hanya diajari membaca, Syid. Mereka juga diajari akhlak dan sopan santun. Kakak juga rutin setiap tiga bulan sekali, mengundang trainer untuk menyampaikan motivasi kepada anak-anak itu agar tidak menyerah belajar dalam kondisi ekonomi mereka yang sekarang. Tentu saja, trainer yang diundang adalah teman-teman kuliah kakak dulu. Lulusan Psikologi kan banyak yang jadi trainer. Syukurlah. Banyak diantara mereka yang rela mengisi training tanpa dibayar.” Jelas Kak Nisa
“Selama ini, pembiayaan rumah belajar ini siapa yang nyari, kak? Tanyaku
“Untuk memenuhi kebutuhan rutin seperti buku tulis dan alat tulis untuk anak-anak itu, ya dari uang pribadi kakak. Kakak sudah tidak punya waktu untuk membuka posko sumbangan atau mengirimkan proposal kerjasama ke perusahaan-perusahaan seperti dulu.”
Setelah beberapa lama bercengkerama, aku pamit pulang. Di rumah, entah mengapa bayang-bayang Kak Fadhil dan anak-anak itu terus saja menggelayuti pikiranku. Terenyuh, tidak tega dan merasa bertanggung jawab membuatku akhirnya mengambil sebuah keputusan.
Pagi harinya, aku kembali ke rumah belajar itu. Aku mengutarakan rencanaku pada Kak Nisa, dan langsung disambut Kak Nisa dengan gembira. Setelah itu, aku langsung pergi menuju sebuah toko bangunan. Membeli beberapa kaleng cat. Lalu, membeli rak buku berukuran sedang dan membeli segulung karpet. Aku sengaja membeli karpet berwarna cerah.. Ya. Aku memutuskan untuk membangun kembali rumah belajar ini bersama Kak Nisa. Tabunganku aku alokasikan untuk merenovasi rumah baca ini. Aku tidak keberatan. Walaupun baru tiga hari yang lalu aku selesai ujian pendadaran, aku telah menjadi asisten tetap di salah satu lab di fakultasku sejak dua tahun yang lalu. Seluruh honornya aku tabung karena memang uang beasiswaku aku rasa telah mencukupi kebutuhanku. Sekembalinya ke rumah belajar, telah berkumpul segerombol anak-anak dengan wajah sumringah. Setelah aku pergi untuk membeli cat tadi, Kak Nisa langsung mengabari mereka dan mengajak mereka berkumpul untuk membangun kembali rumah belajar mereka.
“Kak Rosyid dataaaaaaaaaaang!” teriak mereka riang. Anak-anak itu langsung menyambutku dan membantuku menurunkan barang-barang dari mobil pick up yang sengaja aku sewa. Setelah itu, kami memulai pekerjaan kami. Mengecat rumah belajar itu dengan tema warna pelangi.
Kami akan menjadikan rumah belajar itu menjadi pelangi yang sesungguhnya. Aku bertekad meluangkan waktuku untuk mengembangkan rumah belajar ini. Seperti kak Fadhil dan kak Nisa. Kematian Kak Fadhil benar-benar menyisakan duka mendalam bagi semua orang yang mengenalnya. Namun aku yakin, kematiannya bukanlah hal yang sia-sia. Rumah belajar ini adalah saksi dari semua perjuangan Kak Fadhil dan akan menjadi amal Jariyah yang akan memberatkan timbangan pahala di hari akhir kelak. Aku akan meneruskan perjuangannya. Bukan hanya demi Kak Fadhil, tapi juga demi masa depan anak-anak itu.
Oleh: Rahajeng Mufid Nuliawati