Korupsi itu cara bertindak, bukan tujuan. Moda, bukan motif. Ini soal berbuat menyelisihi norma atau aturan sebagai cara untuk menangguk keuntungan yang tidak bisa diperoleh jika bertindak lurus-lurus saja.
Maka, bisa saja korupsi dihiasi “alasan yang luhur”. Seorang ibu-ibu pegawai negeri mengkorupsi waktu dengan berbelanja ke mal pada jam kerja, mungkin punya tujuan mulia: mencarikan barang-barang yang dibutuhkan keluarganya tanpa mengurangi waktu pribadinya sepulang kerja.
Saya pribadi sulit mempercayakan apa pun kepada sebuah organisasi politik tertentu dan orang-orang yang (pernah) menjadi kadernya –selama belum bertobat– karena orpol itu telah selama puluhan tahun dijadikan saluran strategi koruptif oleh penguasa otoriter. Setelah menjalaninya sekian lama, langgam korupsi tentunya sudah mapan sebagai unsur “budaya korporasi” dalam organisasi itu. Dalam mengelola segala urusannya, korupsi menjadi pilihan strategi dan taktik yang diunggulkan. Maka, begitu seseorang menjadi kader orpol itu, ia segera diperkenalkan pada “ketrampilan unggulan” tersebut. Dan perjalanan karirnya ke depan didasarkan pada ukuran-ukuran “meritokrasi kemahiran berkorupsi”. Harap diingat juga bahwa untuk segala tindakan koruptifnya, penguasa otoriter dulu mendengungkan alasan: “demi bangsa dan negara”.
“Tujuan mulia”, apalagi jika dihiasi pembenaran agama, memang bisa memicu obsessi berlebihan sampai-sampai segala cara dirasa halal demi tujuan itu. Bom bunuh diri yang membabi-buta adalah contoh ekstrimnya. Dulu pun saya pernah menjadi kader sebuah organisasi pergerakan yang punya nuansa seperti itu.
Di seberangnya, ada organisasi seperti NU yang tujuan-tujuannya tidak terumuskan “secara operasional”. Selama ini, orang bergabung dalam NU –dan anak-anak turunnya– lebih karena kesamaan latar belakang atau afiliasi “budaya keagamaan” ketimbang kesepahaman untuk meraih “tujuan-tujuan operasional” tertentu. Ini menjadi salah satu tema otoritik yang paling utama yang dilontarkan Gus Dur sejak awal kiprahnya di PBNU. Demi memperjelas “rumusan tujuan” itulah perjuangan Gus Dur dan kawan-kawannya sampai pada formula “Khittah NU 1926”. Sesudah itu, beliau dan kawan-kawan terus-menerus mengupayakan penyadaran seluruh jajaran NU akan “cita-cita organisasi” yang menuntut gerak dinamis.
Pada suatu kesempatan, Gus Dur membandingkan organisasi saya dengan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, salah satu “anak NU” walaupun belakangan tidak mau ngaku).
“Apa bedanya organisasimu dengan PMII?” Gus Dur beretorika kepada saya yang waktu itu menghadap beliau bersama MUhaimin Iskandar, mantan Ketua Umum PMII. Kami pun menunggu beliau menjawab sendiri.
“Organisasimu itu berprinsip TUJUAN MENGHALALKAN CARA!” kata Gus Dur kemudian. Saya agak tersinggung dituduh Machiavellian seperti itu, tapi tak kuasa membantah karena diam-diam mengakuinya sebagai fakta.
Gus Dur tidak segera melanjutkan jawaban, rupanya menunggu kami menggungat atau mengejarnya. Muhaiminlah yang duluan terpancing,
“Kalau PMII, Gus?”
Gus Dur menyeringai,
“NGGAK NGERTI TUJUANNYA!” (teronggosong)